Emas naik daun. Banyak orang memburu sebagai ajang investasi mengingat pergerakan harga dalam beberapa tahun ini terus merangkak. Kini, harga emas murni per gram lebih Rp2.000.000! Kondisi ini makin mendorong penggalian bumi untuk mendapatkan logam mulia itu. Di Indonesia, tambang-tambang emas rakyat atau skala kecil makin marak berkelindan dengan kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, konflik sosial, bencana hingga ancaman kesehatan bagi warga. Kondisi makin mengerikan ketika untuk mendapatkan emas-emas ini menggunakan zat-zat berbahaya, seperti merkuri. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyebutkan, rata-rata penggunaan merkuri di satu titik tambang emas ilegal mencapai 62-85,63 kilogram per tahun atau 13,94-192,52 ton per tahun dari 2.646 titik tambang emas ilegal di Indonesia. Sebenarnya, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Minamata pada 2017 sebagai komitmen menghapuskan penggunaan merkuri secara bertahap. Sayangnya, realitas lapangan jauh panggang dari api. Warga hanya jadi pelaku tapak yang sekaligus menghadapi bahaya kesehatan, sedang para pemain dan penikmat keuntungan sesungguhnya dari tambang-tambang emas ‘rakyat’ ini adalah para pemodal yang tak jarang bekelindan dengan oknum-oknum aparat maupun oknum penguasa. Dampaknya, kehancuran alam di mana-mana. Kerusakan lingkungan seperti deforestasi ketika tambang-tambang itu merambah hutan-hutan penting, termasuk kawasan konservasi, maupun pencemaran sumber air dari sungai sampai laut. Namun, bahaya mengerikan adalah keamanan dan kesehatan masyarakat ketika udara, air, tanaman tercemar merkuri. Merkuri bisa jadi pembunuh dalam senyap dan perusak generasi negeri dalam sepi.