- Pemerintah membongkar praktik penggelapan ekspor produk turunan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam 87 kontainer siap kirim ke China, yang diklaim sebagai komoditas fatty matter. Fakta ini makin menguatkan betapa karut marut tata kelola sawit di Indonesia.
- Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TUK Indonesia mengatakan, praktik korupsi sawit dapat berdampak pada kerugian penerimaan negara, lewat pajak maupun bea keluar dalam jumlah ratusan miliar hingga triliunan tergantung modus dan kasusnya. Ia juga berpotensi menjatuhkan kredibilitas komoditi Indonesia dan menghilangkan akses pasar global. Juga berdampak sosial dan lingkungan, seperti pengelolaan lahan ilegal, konflik dengan masyarakat lokal, deforestasi, dan tekanan pada tata guna lahan.
- Petani sawit menjadi pihak yang paling terdampak dari korupsi. Mansuetus Darto, Ketua Umum Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) mengatakan, penggelapan ekspor minyak sawit mentah dapat mengurangi pendapatan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang berujung ke petani.
- Giorgio Budi Indarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan. Ia menegaskan, tata kelola menjadi akar masalah korupsi di sektor sawit. Kasus penggelapan ekspor CPO terbaru yang ditemukan Bea Cukai, menambah sederet bukti yang menunjukkan bahwa perlu perbaikan tata kelola sawit Indonesia.
Pemerintah membongkar praktik penggelapan ekspor produk turunan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam 87 kontainer siap kirim ke China, yang diklaim sebagai komoditas fatty matter.
Ekspor fatty matter yang tidak mengandung nabati, memang bebas bea keluar dan tidak kena pembatasan ekspor.
Fatty matter adalah campuran asam lemak dari produk sampingan industri pengolahan minyak, seperti pemisah gliserin atau proses pengolahan minyak sawit.
Kasus ini terbongkar bermula pada 20-25 Oktober 2025, Ditjen Bea Cukai bersama Satuan Tugas Khusus Optimalisasi Penerimaan Negara (Satgasus OPN) Polri, menggeledah, memeriksa, serta mengecek sampel barang terhadap 87 kontainer milik PT MMS di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Perusahaan mendaftarkan kontainer dalam tujuh dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) sebagai fatty matter, dengan berat bersih 1.802 ton Rp28,7 miliar.
Dari hasil pemeriksaan, barang siap ekspor “fatty matter’ itu mengandung produk turunan CPO, yang mana secara aturan kena bea keluar dan terkena pembatasan ekspor.
Selain kasus 87 kontainer ini, pemerintah juga mengungkap kasus ekspor dengan komoditas serupa terhadap 200 kontainer dengan berat 4.700 ton Rp63,5 miliar di Pelabuhan Tanjung Priok. Juga; 50 kontainer 1.044 ton senilai Rp14,1 miliar di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara.

Budhi Utama, Direktur Jenderal Bea Cukai Djaka mengatakan, pemerintah memproses kasus itu lebih lanjut dengan memeriksa perusahaan, serta pengumpulan bukti.
Dia menyebut, temuan Bea Cukai dalam kasus ini, modus perusahaan menyamarkan barang dengan mendaftarkannya melalui dokumen ekspor (HS misclassification) sebagai komoditas fatty matter.
“Dari hasil analisis awal, kami menemukan adanya potensi kehilangan penerimaan negara sekitar Rp140 miliar akibat selisih harga (under invoicing) antara nilai yang tercantum dalam dokumen ekspor dan harga barang sebenarnya,” kata Budhi dalam keterangan tertulis yang Mongabay, terima.
Dia mengatakan, modus penggelapan barang ekspor ini diduga tak hanya oleh MMS, Bea Cukai tengah mendalami 24 perusahaan lain yang melaporkan ekspor fatty matter selama tahun 2025 dengan total nilai PEB mencapai Rp2,08 triliun.
MMS dan tiga perusahaan afiliasinya: PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN, sedang diperiksa untuk memastikan kebenaran data, kesesuaian nilai transaksi, dan kepatuhan pajak.

Korupsi industri sawit
Praktik korupsi pada industri sawit bukan pertama terjadi, salah satu kasus besar yakni korupsi minyak goreng yang melibatkan perusahaan besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TUK Indonesia mengatakan, kasus korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya sebelumnya itu sampai menyeret Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana.
Korupsi antara Januari 2021-Maret 2022 itu, katanya, berakar dari kebijakan Kemendag mengenai domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang harus perusahaan eksportir penuhi.
“Meski perusahaan-perusahaan eksportir terbukti tidak memenuhi kewajiban DPO dan DMO, mereka tetap berhasil mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah,” katanya kepada Mongabay, November lalu.
Linda membeberkan sejumlah modus yang sering terjadi dalam praktik korupsi sawit. Pertama, penyalahgunaan izin. Izin terbit dengan “cut-and-paste” (salin-tempel), secara retrospektif (terbit setelah kegiatan berjalan), atau untuk peruntukan yang tidak sesuai.
“Modus ini menjadi celah utama penyimpangan baik di tingkat hulu (perkebunan) maupun hilir (pengolahan/perdagangan),” katanya.
Kedua, suap dan kongkalikong. Praktik ini, katanya, melibatkan pejabat dan aparat, dalam proses perizinan, pengaturan kuota, termasuk izin ekspor, bahkan, upaya memengaruhi putusan pengadilan.
Ketiga, pemalsuan dokumen asal. Menurut Linda, praktik ini untuk memalsukan jejak rantai pasok (traceability fraud). Tujuannya, agar produk seolah-olah berasal dari sumber legal atau dari wilayah yang telah memenuhi standar keberlanjutan.
“Modus ini krusial untuk menembus pasar internasional yang sangat ketat dalam mensyaratkan ketertelusuran.”
Keempat, penggunaan perusahaan offshore dan transfer pricing. Linda menjelaskan, praktik ini memanfaatkan struktur afiliasi dan perusahaan di luar negeri untuk mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi berbiaya pajak rendah.
“Modus transfer pricing ini mirip dengan skema yang terungkap dalam kasus besar sebelumnya, bertujuan memindahkan laba ke luar negeri.”
Linda menegaskan, praktik korupsi sawit dapat berdampak pada kerugian penerimaan negara, lewat pajak maupun bea keluar dalam jumlah ratusan miliar hingga triliunan tergantung modus dan kasusnya.
Selain itu, korupsi juga berpotensi menjatuhkan kredibilitas komoditi Indonesia dan menghilangkan akses pasar global.
“Konsumen global menuntut due diligence, EUDR, CSDD, HREDD, dan buyers compliance, sederet aturan itu menyulitkan eksportir yang tidak transparan.”
Dia juga menyebut, korupsi sawit berdampak sosial dan lingkungan, seperti pengelolaan lahan ilegal, konflik dengan masyarakat lokal, deforestasi, dan tekanan pada tata guna lahan.

Petani paling terdampak
Petani sawit menjadi pihak yang paling terdampak dari korupsi. Mansuetus Darto, Ketua Umum Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) mengatakan, penggelapan ekspor minyak sawit mentah dapat mengurangi pendapatan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dia bilang, di sejumlah daerah dana perkebunan sawit mengalami defisit karena ulah pengusaha. Padahal, dana itu seharusnya untuk kesejahteraan petani sawit.
Menurut Darto, dana itu untuk menunjang fasilitas perkebunan sawit rakyat, seperti peningkatan sarana dan prasarana, peremajaan kebun, hingga peningkatan kapasitas petani lewat berbagai pelatihan serta penyuluhan.
“Saya dengar bahwa dana itu sudah defisit. Karena salah satunya akibat dari keculasan pelaku ekspor, yang kemudian berakibat pada mandeknya program untuk penguatan petani,” ujarnya saat dihubungi Mongabay.

Benahi karut marut tata kelola
Linda menegaskan, sebagian besar kasus korupsi sawit mengindikasikan kelemahan tata kelola. Mulai dari kebocoran izin, lemahnya transparansi perusahaan, hingga kapasitas pengawasan yang terbatas memperlihatkan masalah struktural dalam governance sektor sawit.
“Di banyak studi dan laporan investigasi menyimpulkan adanya kombinasi korporasi-state capture dan kegagalan administratif.”
Meski begitu, katanya, saat ini ada upaya perbaikan melalui keterlacakan digital (digital traceability), penguatan ISPO atau sertifikasi nasional. Dia sarankan, pemerintah memperbaiki tata kelola sawit.
Hal pertama perlu perbaikan, katanya, transparansi dan registrasi kepemilikan.
Linda bilang, data pemilik atau manajemen perusahaan dan penerima keuntungan dari bisnis sawit, perlu diungkap ke publik.
Pemerintah juga perlu menerapkan traceability digital dan audit rantai pasok. “Terapkan sistem pelacakan digital dari kebun ke pabrik hingga ekspor, geotagging, dokumen elektronik, dan audit berkala.”
Dia meminta, pemerintah memperkuat penegakan hukum pada sektor industri sawit. Perlu tingkatkan koordinasi antar lembaga seperti Polri, Kejaksaan, dan Bea Cukai.
Hal ini, katanya, untuk membongkar praktik korupsi serupa. Juga perlu penambahan kapasitas pendukung seperti laboratorium pengujian komoditas, forensik dokumen, hingga cross-check data perdagangan.
Dia minta, pemerintah mereformasi aturan teknis dan memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran.
“Perjelas klasifikasi HS untuk turunan sawit, perketat ketentuan bea keluar dan sanksi administratif atau penal untuk mis-reporting, percepat litigasi atau penegakan bila cukup bukti,” ujar Linda.
Serupa Giorgio Budi Indarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan. Dia bilang, tata kelola menjadi akar masalah korupsi di sektor sawit.
Kasus penggelapan ekspor CPO terbaru yang ditemukan Bea Cukai, katanya, menambah sederet bukti yang menunjukkan bahwa perlu perbaikan tata kelola sawit Indonesia.
“Andaikata sebuah kapal, bocornya sudah hampir di seluruh badan kapal. Ketika didiamkan, maka risikonya industri sawit kita akan lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya,” ujar Jojo, sapaan akrabnya, kepada Mongabay.
Dia bilang, kunci utama memperbaiki tata kelola sawit ialah transparansi. Apalagi, katanya, Indonesia mempunyai UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang menjadi modal utama perbaikan transparansi industri sawit.
Jojo mengatakan, sejauh ini UU KIP kerap tidak bertaji jika berhadapan dengan kepentingan industri sawit. Namun, kata Jojo, UU itu masih berlaku, dan perlu implementasi lebih keras.
Dia ingatkan, apabila transparansi tak jalan, jangan bermimpi memperbaiki tata kelola industri sawit.
“Tikus itu senang tempat yang gelap, tertutup dan lembab. Transparansi bisa jadi awal,” katanya memberi perumpamaan.
*****
Berkonflik dengan Perusahaan Sawit Berujung Penembakan Petani Bengkulu