- Proyek panas bumi di Gunung Gede-Pangrango terus memunculkan penolakan warga. Kali ini, warga mengusir orang yang hendak melakukan pengukuran dan pemasangan tiang-tiang penanda proyek.
- Penolakan warga beralasan, salah satunya, karena khawatir kebun pertanian mereka lenyap ataupun terpengaruh produksinya.
- Hasil perkebunan warga jadi penopang kedaulatan pangan di Sukabumi, Bekasi, dan Jakarta. Di Kampung Gunung Putri saja, setiap hari 20 mobil pickup lalu lalang mengantarkan hasil panen warga.
- Panas bumi Gunung Gede Pangrango bukan barang baru. Jatam mencatat, ada upaya utak-atik regulasi demi memuluskan eksploitasi kawasan konservasi yang jadi favorit pendaki Jabodetabek.
Warga Desa Cipendawa, Cianjur, Jawa Barat, resah karena kehadiran tiga orang tak dikenal di wilayah mereka di jam salat Jumat, awal November. Mereka tampak lalu lalang sambil mengukur kebun dan jalanan umum, juga terkesan menghindari warga.
“Orang mau Jumatan, dia malah mengukur. Jadi mengambil kesempatan di saat warga pada balik Jumatan,” kata Dadang, warga Cipendawa, pada Mongabay.
Belakangan, warga mengetahui ketiga orang itu merupakan utusan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), perusahaan yang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) tugasi untuk mengeksplorasi panas bumi di Gunung Gede-Pangrango.
Perusahaan bakal memperluas jalan Desa Cipendawa untuk akses alat berat eksplorasi panas bumi. Warga kompak menolak rencana itu. Mereka tidak mau desanya jadi penopang aktivitas panas bumi.
“Warga menolak akses itu dijadikan jalan untuk geothermal. Warga mengusir mereka (petugas pengukuran).”
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Khawatir pertanian
Protes warga terhadap proyek panas bumi bukan tanpa alasan. Salah satunya, kekhawatiran hilang dan terganggunya lahan pertanian yang selama ini jadi gantungan hidup mereka. Sayur dari daerah itu merupakan pemasok kebutuhan sayuran Sukabumi, Bekasi, hingga Jakarta.
Dadan, petani yang mengelola lahan 2.000 meter persegi di Kampung Gunung Putri, Desa Sukatani, salah satu pemasoknya. Dia kelola lahan orangtuanya itu secara tumpang sari untuk menanam pakcoy dan brokoli.
Mongabay mengunjungi lahannya Agustus lalu. Saat itu, dia sedang panen brokoli. Sayuran itu akan berbuah dalam waktu tiga bulan. Pemanenannya bertahap.
Dia jual brokoli Rp4.000 per kg. “Sekarang lagi murah. Biasa Rp8.000-Rp10.000 ker kilogram,” katanya.
Untuk pakcoy, cuma butuh 25-30 hari untuk panen. Harga pun lebih murah, Rp500, Rp1.000, hingga Rp2.000 per kg.
Hasil panen itu dia kemas ke dalam plastik ukuran 15 kg. Dia juga membeli hasil panen petani lain di sekitar rumah, lalu menjualnya ke pengepul.

Kecamatan Pacet, termasuk di antaranya Desa Sukatani dan Desa Cipendawa, terkenal dengan pertanian sayuran. Sama dengan Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas yang juga terdampak.
Menurut rencana, DMGP akan membangun wellpad atau tapak pengeboran di Sindangjaya-Sukatani, sementara Cipendawa menjadi akses muat alat-alat operasional.
Padahal, desa-desa ini merupakan kebun pertanian yang menghasilkan pakcoy, brokoli, bawang daun, kembang kol, kubis, cabai, tomat, sawi, terong, dan seledri. Di Kampung Gunung Putri saja, 20 mobil pick up atau truk mondar-mandir mengangkut sayuran dengan kapasitas 1-3 ton setiap harinya.
Andri, petani Kampung Pasir Cina, mengelola lahan 4.000 meter persegi. Dia bagi lahan itu jadi petak-petak dengan berbagai komoditas, seperti cabai rawit, sawi putih, dan kol.
Cabai rawit panen dalam waktu tiga bulan. Dia biasa petik cabai-cabai itu secara bertahap tiga kali sekali, dan hasilkan 20 Kilogram dari lahan 400 meter persegi.
Dia lalu menjualnya Rp24.000 per kg ke pengepul.
“Cabai itu gak langsung panen semua. Bertahap ada yang udah matang, ada yang belum,” ucap pria 33 tahun itu.
Dia juga tanam sawi putih di lahan seluas 400 meter. Sekali panen hasilkan 1 ton dalam waktu dua bulan saja. Harga jual Rp2.000 per kilogram.
Semua harga sayuran fluktuatif, tergantung peredaran di pasaran. Semakin banyak komoditas di pasaran, maka harga lebih murah. Sebaliknya, makin langka, maka harganya lebih mahal.
Dadan dan Andri khawatir hadirnya aktivitas pembangkit panas bumi akan berdampak pada sumber pendapatan mereka, antara lain, ancaman pasokan air yang kurang.
Dari pengalaman mereka, saat musim kemarau saja, petani harus berebutan air untuk mengairi lahan mereka. Sering pula terjadi cekcok antar petani dan tetangganya.
“Enggak ada geothermal saja kurang air, apalagi ada geothermal nanti,” ucap Dadan.
Di banyak wilayah, panas bumi sebabkan sumber air tecemar hingga merusak kebun warga. Di Sokoria, Nusa Tenggara Timur (NTT), misal, sumber air berubah warna dan bau.
Ekosistem air tawar di sana pun rusak, budidaya kepiting, ikan, dan udang hilang. Warga kehilangan akses air bersih. Mereka kini mesti membeli air untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Marissa Anugrah, Head of Corporate Communications, PT Dian Swastika Sentosa, Induk DMGP, dalam keterangan tertulisnya pada Mongabay bilang perusahaan paham pertanian merupakan sumber penghidupan utama masyarakat.
Sejak awal melakukan kajian dampak terhadap kualitas tanah, air, dan udara untuk memastikan aktivitasnya tidak mengganggu produktivitas lahan pertanian.
“Pengalaman di banyak daerah lain menunjukkan panas bumi dapat hidup berdampingan dengan pertanian tanpa masalah, selama operasi mengikuti standar keselamatan lingkungan yang berlaku. dan itu yang kami jalankan.”
Dia bilang membuka ruang untuk pemantauan bersama dengan masyarakat dan pemerintah daerah.
“Jika ada keluhan terkait hasil pertanian, kami siap mendiskusikan dan menindaklanjuti secara transparan.”

Asal-usul proyek
Analisis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), proyek panas bumi Gunung Gede Pangrango bukan wacana baru. Pemerintah Jawa Barat pernah melelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gunung Gede Pangrango, bersamaan dengan lelang WKP Gunung Ciremai dan Gunung Papandayan tahun 2010.
Lelang sepi peminat. Bahkan, perusahaan plat merah seperti PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan PT Geo Dipa Energi enggan ikut.
Pemerintah lalu menarik perusahaan swasta berinvestasi panas bumi di ketiga WKP tersebut, khususnya Gunung Gede-Pangrango.
Pada 3 Juni 2014, Jero Wacik, Menteri ESDM saat itu, menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2778/K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi di Daerah Gunung Gede Pangrango.
Kepmen itu menetapkan wilayah kerja pertambangan panas bumi Gunung Gede Pangrango 92.790 hektar yang meliputi tiga kabupaten di Jawa Barat, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.
Sebagian besar dari cakupan wilayah kerja berada di dalam kawasan konservasi seluas 25.380,49 hektar. Sisanya hutan produksi 9.459,249 hektar dan hutan produksi terbatas 1.826,294 hektar.
Produk hukum itu menabrak UU 41/1999 tentang Kehutanan, serta mengabaikan UU 27/2003 tentang Panas Bumi, yang masih mengategorikan panas bumi sebagai kegiatan pertambangan.
UU Kehutanan mengklasifikasi hutan menjadi tiga fungsi, konservasi, lindung, dan produksi. Regulasi ini mengamanatkan pemanfaatan hutan harus sesuai dengan fungsi dan pokoknya.
Hema Situmorang, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, kawasan konservasi sangat rentan eksploitasi sumber daya alam. Apalagi, proyek panas bumi berpotensi menimbulkan deforestasi, langsung maupun tidak langsung.
“Konservasi harusnya dijaga dengan libatkan warga. Bukan dengan konservasi yang memanfaatkan untuk panas bumi, yang sudah terbukti mengakibatkan berbagai permasalahan lingkungan,” katanya.

Catatan Jatam, Gunung Gede Pangrango berstatus taman nasional, yang memiliki fungsi pelestarian dan perlindungan sumber daya alam sejak 1980, dan sudah menjadi zona inti Cagar Biosfer ditetapkan UNESCO pada 1977.
Pasal 24 UU 41/1999 melarang pemanfaatan hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pasal 38 menyatakan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan–termasuk tambang, hanya boleh di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung.
Hal itu pun harus lebih dulu mendapatkan persetujuan izin pinjam pakai dari menteri dengan pertimbangan batasan luas dan jangka waktu tertentu, serta kelestarian lingkungan.
Hanya tiga bulan pasca penerbitan SK Menteri ESDM, pemerintah merevisi UU 27/2003. Mengeluarkan panas bumi dari kategori kegiatan pertambangan, lalu mengubahnya jadi pemanfaatan jasa lingkungan.
UU 21/2014 tentang Panas Bumi yang Presiden Susilo bambang Yudhoyono teken itu mengakomodir pengusahaan panas bumi di kawasan hutan produksi dan lindung melalui mekanisme izin pinjam pakai.
Sedangkan pemanfaatan panas bumi di kawasan hutan konservasi cukup melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan.
Di era Presiden Joko Widodo, ruang penambangan panas bumi di hutan konservasi makin lebar. Siti Nurbaya Bakar, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup kala itu, menerbitkan Peraturan Menteri LHK 46/2016 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam dan pembaruannya di Permen LHK 4/2019.
Tahun 2022, Direktorat EBTKE KESDM melelang Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) di daerah Cipanas kepada perusahaan swasta.
Arifin Tasrif, Menteri ESDM saat itu, kemudian menunjuk DMGP sebagai pelaksana PSPE Cipanas seluas 3.180 hektar dengan potensi cadangan 85 MWe, untuk durasi tiga tahun dan bisa perpanjang dua kali, masing-masing setahun.
Mongabay berupaya mengonfirmasi dugaan otak-atik regulasi demi ambisi panas bumi itu pada Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal EBTKE KESDM.
“Ada inspektur panas bumi yang di lokasi. Inspektur panas bumi melakukan tugasnya,” katanya merespons, 10 September.
Pesan itu jadi yang terakhir dia kirim ke Mongabay.
Gigih Udi Atmo, Direktur Panas Bumi KESDM sama sekali tidak merespons upaya konfirmasi kami.
Pertanyaan ihwal kekhawatiran masyarakat pun tidak terjawab. Arief Mahmud, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, justru meminta upaya konfirmasi langsung ke KESDM.
“Kajian yang melakukan ESDM, kami hanya ketempatan, ya. Yang berwenang menjawab teman-teman ESDM.”

*****