- Kucing kuwuk merupakan predator alami yang menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
- Secara biologis, satwa yang dikenal juga dengan nama kucing akar ini, merupakan jenis kucing kecil yang paling adaptif di Asia. Mereka menghuni hutan primer, sekunder, agroforestri, bahkan sawah dan perkebunan.
- Persebarannya meliputi Pakistan, India, Tiongkok, Asia Tenggara, sampai Indonesia. Dengan tubuh mungil, berat 3-7 kilogram, dan kemampuan berburu tikus serta burung, kuwuk sering dianggap sebagai ‘ekosistem alami’.
- Di beberapa wilayah Asia Tenggara, populasinya disebut menurun akibat kehilangan habitat dan tekanan manusia. Ironisnya, belum ada survei komprehensif yang mampu memotret jumlah individu secara akurat.
Kucing kuwuk atau kucing hutan merupakan predator alami yang menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
September 2025 lalu, penyelamatan tiga anak kucing kuwuk di Bali Barat jadi perhatian. Dua individu masih dirawat intensif di pusat rehabilitasi Umah Lumba, Buleleng, setelah ditemukan warga dalam kondisi memprihatinkan. Sementara kasus lain, seekor kucing kuwuk bernama Chiki yang diselamatkan di Bogor, kini dalam perawatan di Cikananga Wildlife Center, Sukabumi, Jawa Barat.
“Kondisinya semakin bagus, semakin liar dan agresif,” terang Meidi Yanto, Manajer Konservasi In-Situ Yayasan Cikananga Konservasi Terpadu (YCKT), Rabu (12/11/2025).
Sebuah kajian ilmiah di IUCN Red List of Threatened Species 2022 berjudul “Prionailurus bengalensis, Mainland Leopard Cat” membuka ruang analisa baru.
Laporan ini memetakan distribusi, ancaman, serta strategi penyelamatan kucing kuwuk di seluruh Asia, termasuk Indonesia. Dari sana, terbaca bahwa kasus di Bali maupun di Bogor bukan peristiwa terisolasi, melainkan bagian dari pola besar yang tengah melanda spesies ini.
Secara biologis, satwa yang dikenal juga dengan nama kucing akar ini, merupakan jenis kucing kecil yang paling adaptif di Asia. Mereka menghuni hutan primer, sekunder, agroforestri, bahkan sawah dan perkebunan.
Persebarannya meliputi Pakistan, India, Tiongkok, Asia Tenggara, sampai Indonesia. Dengan tubuh mungil, berat 3-7 kilogram, dan kemampuan berburu tikus serta burung, kuwuk sering dianggap sebagai ‘ekosistem alami’.
Tetapi, status persebarannya sering menipu. “Kita mengira populasinya stabil karena masih sering ditemukan, padahal banyak kawasan terjadi penurunan signifikan,” ungkap kajian tersebut.

Menurun di beberapa wilayah
Di beberapa wilayah Asia Tenggara, populasinya disebut menurun akibat kehilangan habitat dan tekanan manusia. Ironisnya, belum ada survei komprehensif yang mampu memotret jumlah individu secara akurat.
“Dedicated survey untuk kucing kuwuk belum ada sepertinya,” jelas Erwin Wilianto, pendiri Yayasan SINTAS Indonesia dan anggota IUCN-SSC Cat Specialist Group, Rabu (12/11/2025).
Sebagian besar data bersifat anekdot, berasal dari laporan masyarakat atau temuan insidental. Ketiadaan data inilah yang jadi celah besar konservasi. Bagaimana menyelamatkan spesies, jika jumlah dasar populasinya belum jelas?
Kajian juga menjelaskan, di Asia Tenggara, hutan hilang tiap tahun, diganti sawit, karet, hingga kompleks wisata. Perburuan dan perdagangan ilegal juga jadi soal.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia: grup Facebook dan marketplace kerap jadi medium jual-beli terselubung. Berikutnya adalah hibridisasi dengan kucing domestik. Ancaman ini jarang disorot, namun berpotensi merusak kemurnian genetik kuwuk. Kawin silang ‘hybrid cat’ yang diminati pasar, mengaburkan garis evolusi spesies liar.
“Praktik ini berbahaya. Satwa liar kehilangan jati diri, sementara masyarakat makin sulit membedakan mana yang liar dan hasil persilangan,” tegas Femke den Haas, pendiri Jakarta Animal Aid Network, baru-baru ini.
Kasus tiga anak kucing kuwuk di Desa Penjarakan, Buleleng, adalah ilustrasi nyata bagaimana ancaman global termanifestasi ditingkat lokal. Mereka diduga terusir dari habitat akibat aktivitas manusia di sekitar hutan.
Seekor induk lenyap, menyisakan tiga anak yang hampir menjadi mangsa anjing. Femke jelaskan, satu anak tertolong, sementara dua lainnya kini dirawat intensif.
“Kami berusaha keras supaya mereka tetap liar. Jika terlalu dekat dengan manusia, mereka akan sulit dilepasliarkan.”
Disisi lain, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali mencatat fenomena lain: dugaan kepemilikan satwa liar oleh warga asing. Sumarsono, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bali, mengatakan, pihaknya pernah menemukan kucing kuwuk hingga lutung di vila-vila tertutup milik ekspatriat.
“Tahun lalu, ada warga negara Prancis kedapatan membawa kucing hutan tanpa dokumen resmi. Ia dideportasi,” tuturnya.

Minim kajian ilmiah
Meski tercatat dalam Appendix II CITES dan dilindungi di banyak negara, upaya konservasi kucing kuwuk kerap kesulitan data. Survei kamera jebak jarang secara khusus menargetkan jenis ini.
“Ketika survei fokus pada satwa besar seperti harimau atau macan tutul, rekaman kuwuk dianggap data sampingan. Padahal, kita butuh data spesifik,” tulis laporan itu.
Kajian ilmiah menyarankan langkah yang lebih struktural. Survei sistematis dengan kamera jebak dan analisis genetik, penegakan hukum untuk memutus perdagangan ilegal, edukasi masif agar masyarakat memahami peran ekologis kuwuk, perluasan kawasan lindung untuk mencegah fragmentasi habitat, dan mitigasi konflik dengan memberi insentif pada warga yang melapor, dapat dilakukan.
Refrensi:
Ghimirey, Y., Petersen, W., Jahed, N., Akash, M., Lynam, A. J., Kun, S., Din, J., Nawaz, M. A., Singh, P., Dhendup, T., Marcus, C., Gray, T. N. E., & Phyoe Kyaw, P. (2022). Prionailurus bengalensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2022: e.T18146A212958253. International Union for Conservation of Nature. https://www.researchgate.net/publication/362309134_Prionailurus_bengalensis_The_IUCN_Red_List_of_Threatened_Species_2022
*****