- Setelah 11 suami mereka ditangkap karena menolak tambang nikel PT Position di Halmahera Timur, para perempuan Maba Sangaji membangun solidaritas baru: mereka mengolah sagu lempeng bahan dasar dari pohon sagu dan minyak kelapa tradisional dan untuk bertahan hidup.
- “Kelompok Perjuangan Perempuan Maba” menjadi simbol perlawanan ekonomi dari dapur — menolak tunduk pada tambang yang merusak tanah dan sungai mereka. Sungai Sangaji yang dulu jernih kini berubah cokelat, sagu berhenti diproduksi, dan kerang bia lenyap dari pesisir akibat aktivitas tambang.
- Komunitas internasional mendesak pemerintah segera membatalkan vonis terhadap 11 anggota Komunitas Adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara itu. Climate Rights International (CRI) menilai vonis tersebut melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan berekspresi. Brad Adams, Direktur Eksekutif CRI menyebut vonis tersebut sebagai hal memalukan.
- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut, narasi transisi energi tak boleh menjadi dalih mengorbankan ruang hidup. Kalau ‘energi bersih’ lahir dari air keruh dan tanah ulayat yang compang-camping, itu kontradiksi yang tak bisa dirasionalisasi
Di bawah atap daun rumbia yang menghitam karena asap, perempuan-perempuan Maba Sangaji sibuk menyiapkan adonan sagu. Di dapur kayu berdinding papan, Nurmiyanti Kailul menabur tepung putih di atas wadah anyaman bambu. Sementara Jumiyanti Lakamori dan Siti Mahmud menyalakan tungku dengan kayu bakar dari kebun belakang. Asap tipis mengepul, menyatu dengan aroma khas sagu bakar yang memenuhi udara.
Nurmiyanti Kailul adalah istri Yasir Samad. Jumiyanti Lakamori, istri Awaluddin. Suami mereka terjerat hukum gara-gara protes tak mau tambang nikel merusak hutan adat mereka.
Mereka tengah membuat sagu lempeng, makanan pokok yang terbuat dari sagu tumang—hasil parutan batang pohon sagu (Metroxylon sagu). Bahan pangan ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maluku dan Papua selama berabad-abad lalu.
“Kalau belum makan sagu, rasanya belum makan,” kata Nurmiyanti tertawa pelan.

Sagu adalah simbol kemandirian dan kehidupan. Tamanan ini tumbuh di rawa-rawa dan tepian sungai, tempat yang dulu menjadi ruang produksi utama bagi perempuan Maba. Namun kini sungai yang mereka andalkan telah berubah warna.
“Air sungai sekarang coklat, banyak lumpur,” ujar Nurmiyanti. “Kalau kami pakai untuk olah sagu, sagunya cepat basi.”
Nurmiyanti bilang, air keruh itu datang dari hulu, tepat tambang nikel PT Position berada. Sejak perusahaan beroperasi di wilayah adat mereka, Sungai Sangaji tak lagi jernih. Lumpur tambang meresap ke aliran air, membuat warga sulit bertani dan mengolah sagu seperti dulu.
“Kami dulu olah di pinggir sungai, dekat kebun. Sekarang harus jauh, dan harus sewa orang angkat batang sagu ke darat. Mahal sekali,” keluh Nurmiyanti.
Kerusakan sungai tak sekadar soal pangan juga menghancurkan budaya.
Dulu, warga beramai-ramai untuk mengolah sagu. Mereka bernyanyi sambil menumbuk batang sagu hingga menghasilkan tepung halus. Kini, pekerjaan itu berubah menjadi pekerjaan berat yang penuh biaya.
“Kalau dulu sagu itu sumber kekuatan, sekarang kami harus berjuang keras untuk dapat sedikit saja,” ujar Suriyati Haji Kota, istri Udin, salah satu dari sebelas warga yang kini mendekam di tahanan Tidore karena menolak tambang.
Untuk bertahan hidup, mereka membentuk Kelompok Perjuangan Perempuan Maba, sebuah inisiatif sederhana: mengolah kelapa menjadi minyak dan juga sagu bakar. Setiap minggu, mereka memproduksi beberapa liter minyak, lalu menjualnya ke pasar desa atau menitipkannya lewat jaringan komunitas yang ikut memperjuangkan nasib mereka.
“Istri dari sebelas orang itu semua tulang punggung keluarga,” ujar Siti Mahmud, anggota kelompok.
“Kalau ada bantuan, jangan uang atau sembako saja. Kami butuh alat produksi—mesin pemeras, atau alat masak besar—biar bisa jalan terus.”

Kelompok perempuan, berdaulat bersama
Kelompok Perempuan Maba Sangaji adalah kumpulan istri dari 11 pria korban kriminalisasi karena menolak tambang pada Mei 2025. Mereka menciptakan ekonomi tanding, sistem bertahan yang lahir dari kehilangan.
Setiap minggu, mereka memproduksi minyak kelapa, kopra, dan sagu lempeng untuk dijual di pasar desa atau dititipkan ke jaringan solidaritas di Sofifi, Tobelo, dan Ternate.
Selain di dapur, mereka juga menjaga kebun kolektif. Di ladang yang berada di pinggir kampung, mereka menanam cabai, serai, lengkuas, daun bawang, dan berbagai sayur mayur. Hasil panen mereka bagi untuk kebutuhan rumah tangga, sebagian mereka jual ke pasar.
“Kami tanam apa saja yang bisa tumbuh, biar dapur tetap ngebul,” kata Nurmiyanti.
Inisiatif kelompok ini berawal dari penangkapan 27 warga Maba Sangaji pada Mei 2025 setelah melakukan ritual adat di lokasi tambang nikel Position.
Para perempuan; istri, adik, dan ibu dari mereka lalu mengambil alih peran sebagai penopang rumah tangga, sekaligus wajah perlawanan.
Mereka menyebut usaha mereka “ekonomi hidup” Bukan semata mencari uang, tetapi mempertahankan martabat dan eksistensi.
“Kami tidak mau diam menunggu belas kasihan,” ujar Suriyati. “Kami lawan dengan cara kami sendiri: bekerja, hidup, dan terus bersuara.”
Kelompok ini bukan hanya menghasilkan minyak atau sagu, juga membangun jaringan solidaritas baru.
Mereka berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil dan komunitas pendamping yang memberi pelatihan kewirausahaan kecil, teknik produksi bersih, hingga pemasaran daring.
Bagi para perempuan Maba Sangaji, keberanian adalah modal utama.
Ketika malam tiba, rumah-rumah kayu di Maba Sangaji tetap terang oleh cahaya lampu minyak kelapa buatan mereka sendiri. Di luar, suara jangkrik bersahut dari kebun cabai, diiringi desis air sungai yang kini keruh.
“Air itu dulu tempat kami mandi dan ambil minum,” kata Nurmiyanti. “Sekarang kalau hujan turun, airnya merah.”
Mereka bertahan. Bagi perempuan Maba Sangaji, hidup adalah perlawanan paling tenang namun paling keras. Dari sagu, kopra, dan kebun kecil mereka, lahirlah kekuatan yang tak bisa polisi penjarakan.
“Selama kami masih bisa menyalakan api di dapur, kami akan terus melawan,” ujar Suriyati sambil memutar sendok di wajan berisi minyak kelapa hangat.

Di balik spanduk putih
Malam itu, setelah mengolah kopra, mereka duduk di lantai rumah kayu. Lima perempuan berjejer di belakangan bentangan kait putih sepanjang lima meter bertuliskan “Bebaskan 11 Masyarakat Adat Maba. Cabut IUP PT Position. Tolak Tambang!”
Tulisan sederhana itu menyimpan kesedihan, suami-suami mereka mendekam di tahanan, kebun terbengkalai, dan Sungai Sangaji—sumber air dan hidup mereka—pelan-pelan berubah warna.
“Harapan kami itu, kasih bebas saja,” kata Suriyati Haji Kota pelan, tapi tegas.
Jumiyanti yang menggenggam ujung spanduk berujar dengan mata berkaca. “Anak ada tiga, satu kuliah, satu SMA, satu SD. Semua butuh biaya. Kalau suami tidak ada, kami bingung.”
“Kebun itu sumber hidup. Bukan tambang yang besarkan anak-anak kami,” timpal Nurmiyanti.
Cerita bermula dari kedatangan warga ke lokasi tambang PT. Position untuk sampaikan keberatan, memasang plang “Tolak Tambang”, dan bermusyawarah terbuka.
“Polisi bilang mau koordinasi dengan perusahaan. Kami dirikan tenda karena hujan. Malamnya mereka minta bertemu, kami tolak—bukan waktunya,” kata Amin Yasim.
Perusahaan sepakat bertemu pagi. Situasi berubah saat warga mulai gelar ritual awali pertemuan itu. Barisan orang-orang berseragam mengepung.
“Kami disergap saat tangan kosong,” kata Amin. “Barang bukti yang dipakai itu parang dan tombak di tenda—yang kami titip sendiri atas permintaan mereka.”
Malamnya, mereka sudah di Polda Maluku Utara, Ternate. Dari 27 orang, polisi lepas 16 orang dan menahan sisanya.
Di luar proses hukum, keluarga mengaku mendapat tekanan tawar-menawar. “Pemerintah desa, Polsek, dan pihak perusahaan tawarkan pembebasan asal kami tanda tangan: tidak ganggu aktivitas tambang,” ujar Nurmiyanti.
“Kami mau bebas tanpa syarat.”

Sungai makin keruh
Air sungai yang dulu jernih berubah keruh kecoklatan kuat dugaan dampak tambang nikel hingga tak lagi bisa warga gunakan. Kondisi ini, memaksa para petani sagu menambah biaya produksi, menyewa orang untuk membantu mengangkat batang pohon sagu dari rawa ke darat, lalu mengolahnya jauh dari sungai.
Tak hanya proses produksi sagu terganggu, kerang bia yang biasa warga tangkap kini mulai hilang. Bahkan, buaya acapkali muncul ke daratan karena habitatnya terganggu.
Dulu, untuk ke kebun, warga cukup andalkan air sungai untuk minum. Tapi, tidak lagi setelah sungai keruh dan tercemar. Mereka harus membawa jeriken air dari rumah.
Meski kesulitan menumpuk, para perempuan ini tidak menyerah. Bagi mereka, perlawanan tak selalu dengan teriakan atau demonstrasi, tapi lewat tangan-tangan yang bekerja dan suara yang tidak padam.
“Suami kami memang dikriminalisasi. Tapi kami tidak mau ikut mati bersama ketakutan. Kami lawan dengan cara kami: bekerja, hidup, dan terus bersuara.”
Setelah membakar sagu di tunggu api, mereka beralih ke dapur sebelah. Di sana, Jumiyanti Lakamori menata batok kelapa di atas bara api, sementara Hawa Sinen sibuk menjemur kelapa parut di tempeh. Inilah proses membuat kopra—kelapa kering hasil asap—bahan utama minyak kelapa buatan mereka.
“Biasanya kami ke kebun dengan suami, sekarang semua harus sendiri,” kata Jumiyanti, istri Awaluddin. Dia sempat kebingungan. Namun, pada akhirnya dia menyadari hidup harus terus berjalan demi anak-anak mereka.

Polemik tali asih
Seiring penahanan, sengketa tanah mengeras di meja tali asih. Warga menuntut Rp20.000 per meter. Namun, perusahaan hanya menawar Rp1.500–Rp2.500. Pertemuan besar di Subaim pada April–Mei untuk negosiasi itu berakhir dengan penolakan warga, meski sebagian keluarga akhirnya menerima karena tekanan dan kebutuhan.
“Modusnya serobot dulu. Kalau ada protes, pura-pura mau ganti rugi. Dibentuk tim tali asih untuk tekan harga. Yang pro diberi, yang kontra dibiarkan—kalau melawan, ditangkap,” kata Eko Cahyono, peneliti senior Sayogyo Institute. Dia turut mendampingi warga.
Ketua tim tali asih disebut berasal dari kalangan politik, sejumlah pejabat daerah ikut hadir dalam negosiasi. Relasi personal antara tokoh desa dan perusahaan kian menambah kecurigaan.
Di luar ruang rapat, Sungai Sangaji menjadi saksi paling jujur. “Air sekarang cokelat. Dulu ke kebun tidak bawa air, sekarang harus bawa,” kata Nurmiyanti.
Pada titik ini, kohesi antara “tanah—air—adat” tampak jelas. Bagi warga, tanah bukan komoditas yang semata bisa diukur meteran. Ia menyatu dengan sungai, kebun, jenis pangan, dan ritus. Ketika satu unsur patah, semuanya goyah.
“Kalau suami dipenjara, tanah rusak, itu tidak adil. IUP harus dicabut,” kata Siti Mahmud.
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, terhadap 11 warga Maba Sangaji lima bulan delapan hari penjara mempertebal dinding antara warga dan negara. Hakim menyatakan warga bersalah karena tidak menempuh jalur gugatan perdata atau laporan pidana, melainkan langsung menghentikan aktivitas pertambangan.
Di ruang pertimbangan, sasi, denda adat, dan ritual penolakan dibaca sebagai “penghalang investasi”.
Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) menyebut putusan ini mengingkari eksistensi tanah adat.
“Hakim hanya berpegang pada IUP, seolah begitu izin keluar semua hak adat selesai,” kata Irfan Alghifari, kuasa hukum.
Hakim tidak menempatkan konteks sosial-kultural sebagaimana mestinya.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memandang Maba Sangaji sebagai bagian dari pola kriminalisasi lebih luas di wilayah-wilayah tambang.
“Yang dihukum bukan perusak lingkungan, melainkan penjaga hutan dan sungai,” kata Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam.
Jatam menilai, hakim abaikan Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permen LHK 22/2018 tentang Perlindungan Pembela Lingkungan, dan Perma 1/2023 Anti-SLAPP. Tak pelak, hukum pun berubah menjadi alat pembungkaman partisipasi publik dan perpanjangan tangan industri.
Menurut Jatam, narasi transisi energi tak boleh menjadi dalih mengorbankan ruang hidup. Nikel, kata Melky, mungkin untuk baterai kendaraan listrik. Akan tetapi, tapi jejaknya tumpah di sungai-sungai, kebun, dan meja makan warga.
“Kalau ‘energi bersih’ lahir dari air keruh dan tanah ulayat yang compang-camping, itu kontradiksi yang tak bisa dirasionalisasi,” kata Melky.

Desakan internasional
Komunitas internasional mendesak pemerintah segera membatalkan vonis terhadap 11 anggota Komunitas Adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara itu. Climate Rights International (CRI) menilai vonis tersebut melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan berekspresi.
“Sungguh memalukan bahwa mereka yang melindungi hutan dan sungai justru dipenjara, sementara perusak lingkungan dibiarkan bebas,” kata Brad Adams, Direktur Eksekutif Climate Rights International, dalam keterangan tertulisnya kepada Mongabay Indonesia, Selasa (28/10/2025).
Menurut Brad, pemerintah seharusnya berdiri di sisi masyarakat adat yang mempertahankan lingkungan, bukan mengkriminalisasi mereka.
PT Position merupakan anak perusahaan PT Harum Energy Tbk (HRUM) milik taipan batubara Kiki Barki, satu dari 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2023. PT Position merupakan pemasok utama nikel ke Kawasan Industri Teluk Weda (IWIP), proyek strategis nasional yang terhubung dengan rantai pasok baterai kendaraan listrik global, termasuk pasar China, Jepang, Taiwan, dan Singapura.
Menurut Trend Asia, organisasi masyarakat sipil yang turut memantau kasus ini, vonis terhadap komunitas Maba Sangaji merupakan bagian dari pola kriminalisasi terhadap pembela lingkungan hidup di Indonesia.
“Putusan ini menambah daftar panjang korban Pasal 162. Sekitar 25 hingga 30 orang kini menghadapi tuntutan hanya karena mempertahankan hutan dan tanah leluhur mereka,” tulis Trend Asia dalam rilis resminya.
Komnas HAM dan organisasi lingkungan mengkritik keberadaan pasar tersebut karena menjadi alat untuk menekan masyarakat penolak tambang. Mereka nilai beleid tersebut melanggar kebebasan berekspresi, hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan hak atas lingkungan hidup yang bersih.
Bersama sejumlah organisasi lingkungan internasional, CRI mendesak pemerintah mencabut pasal tersebut. Selain itu, mendorong parlemen segera mengesahkan undang-undang perlindungan pembela lingkungan (anti-SLAPP) serta menjamin pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dan hak atas wilayah kelola mereka.
Lebih jauh, CRI menyerukan agar pemerintah negara-negara pengimpor nikel Indonesia — termasuk China, Jepang, Korea Selatan, dan perusahaan kendaraan listrik global — meninjau ulang rantai pasok mereka. Mereka harus memastikan tidak ada keterlibatan dalam praktik kriminalisasi masyarakat adat, perampasan lahan, maupun kekerasan terhadap pembela lingkungan.
“Kendaraan listrik memang menjadi bagian penting dari masa depan tanpa bahan bakar fosil,” ujar Brad. Namun nikel untuk transisi energi tidak boleh diperoleh melalui eksploitasi dan penindasan.

***
Malam turun di Maba Sangaji. Spanduk di lantai digulung perlahan. Jumiyanti menatap halaman yang mulai gelap, mengingat jalan setapak menuju kebun yang biasanya ia lalui bersama suami.
“Anak-anak butuh biaya. Saya sendiri di rumah. Pergi kebun tidak bisa sendirian,” ucapnya tanpa jeda panjang.
Di ruang tamu, Nurmiyanti kembali mengulang kalimat yang menjadi inti narasi keluarga-keluarga ini:
“Kalau bisa IUP dicabut. Biar kami aman. Sungai aman. Hidup normal lagi.”
Di teras, Amin merangkum perasaan kolektif kampungnya. Mereka datang dengan nilai dan tradisi adat, tetapi berbalas penangkapan.
“Ini bukan soal uang, ini soal hidup yang adil.”
*****
Menanti Keadilan 11 Warga Maba Sangaji yang Pertahankan Hutan dari Nikel