- Pada 16 Oktober lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana berubah dalam UU Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Sawit Watch ajukan permohonan ini.
- Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, putusan itu sebagai kemenangan rakyat yang penting bagi perlindungan hak masyarakat atas hutan.
- Gunawan, penasehat senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), menilai, putusan MK ini dapat menjadi dasar penguatan reforma agraria, terutama dalam penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan.
- Negara/pemerintah daerah harus berhenti memandang rakyat sebagai penghalang investasi. Justru dari kebun tradisional, hutan adat, dan cara hidup masyarakat adat, terbangun keberlanjutan sejati.
Fajar baru menyingsing di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan pagi itu. Sahrah menggenggam seikat singkong untuk pelengkap santapan pagi. Di piring, sudah tersaji nasi umbal terbungkus daun pisang, dimasak dalam potongan bambu. Aroma khas menyeruak. Semua hidangan ini berasal dari kebun hutan.
Sejak dulu orang Meratus bebas mengelola hutan. Alam menyediakan sumber pangan melimpah, dari umbi-umbian, sayur mayur, hingga buah-buah liar yang tumbuh di sekitar. Juga sungai yang mengalirkan sumber air juga protein dari biotanya.
“Mengambil hasil kebun hutan ibarat perjalanan mencari rezeki,” ujar Sahrani, pemuda Meratus, warga Desa Hinas Kanan, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah.
Dia lega ketika mendengar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan masyarakat adat membuka kebun tradisional di kawasan hutan tanpa izin pemerintah, selama tidak bersifat komersial.
Bagi pria yang masih menempuh pendidikan di Fakultas Hukum itu, walaupun praktik lapangan sesungguhnya sudah turun-temurun, tetapi, paling tidak, kini ada kepastian hukum jelas.
Pada 16 Oktober lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana berubah dalam UU Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Sawit Watch ajukan permohonan ini.
Suhartoyo, Ketua MK, menyatakan, Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai.
“Dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.”
Selain itu, Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 UU 6/2023 juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sama. Yakni, memberikan pengecualian kepada masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan tujuan komersial.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah menyoroti pengecualian sanksi pidana terhadap orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan, atau di sekitar kawasan hutan paling singkat lima tahun secara terus-menerus. Itu sebagaimana dalam Pasal 12A Pasal 37 angka 4 dan Pasal 17A Pasal 37 angka 6 UU 6/2023.
Begitu pula, pengecualian atas sanksi administrasi bagi masyarakat yang menempati dan mengelola lahan di dalam atau sekitar kawasan hutan dengan luas paling banyak lima hektar, serta dengan tujuan nonkomersial. Itu sebagaimana dalam Pasal 110B ayat (2) Pasal 37 angka 20 UU 6/2023, dianggap sebagai bentuk keberpihakan terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan hutan.
Mahkamah menilai, pertimbangan itu selaras putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014, dimana perlindungan hukum kepada masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan dan tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan komersial.
Menurut Mahkamah, larangan perkebunan di kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat sebagaimana dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b tidak boleh berlaku terhadap masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan.
Seharusnya, larangan itu kepada pelaku usaha yang melakukan kegiatan perkebunan berskala komersial.
Pasal itu, disertai ancaman sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah. Ia memiliki irisan esensi dengan putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014, yaitu, pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas ruang hidupnya di kawasan hutan.
Mahkamah juga menegaskan, yang dimaksud dengan “kepentingan komersial” adalah perkebunan masyarakat yang bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan hasilnya.
Sedangkan kegiatan masyarakat yang menanam atau mengelola lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pangan, sandang, dan papan, tidak bisa kena pidana maupun sanksi administratif.
Dengan demikian, Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 UU 6/2023 sebagai norma primer harus dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak untuk kepentingan komersial.
Artinya, masyarakat adat atau masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari hasil hutan tidak wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Perizinan berusaha hanya berlaku bagi pelaku usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan tujuan komersial.
Perlindungan masyarakat adat
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, putusan itu sebagai kemenangan rakyat yang penting bagi perlindungan hak masyarakat atas hutan.
“Putusan ini melindungi hak masyarakat atas hutan. Kami memaknai yang dimaksud masyarakat juga termasuk petani kecil perkebunan sawit yang beraktivitas di kawasan hutan, sehingga mereka terbebas dari sanksi administratif yang sebelumnya dikenakan lewat UU Cipta Kerja,” katanya dalam keterangan kepada media.
Seharusnya, kata Rambo, putusan itu menjadi bahan evaluasi bagi aturan pelaksana atau turunan UU Cipta Kerja, terutama yang berkaitan dengan penataan kawasan hutan dan berdampak pada masyarakat di dalamnya.
Saat persiadangan, Sawit Watch menghadirkan ahli dan saksi masyarakat terdampak. Grahat Nagara, sebagai ahli, memberikan pandangan akademis yang mendukung dalil gugatan.
Kesaksian faktual warga Desa Ujung Gading Julu, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, yang menggambarkan kesulitan dan dampak nyata yang mereka alami.
Senada, Gunawan, penasehat senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), menilai, putusan MK ini dapat menjadi dasar penguatan reforma agraria, terutama dalam penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan.
“Putusan MK harus menjadi landasan penguatan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dalam kerangka reforma agraria.”
Skema penataan hutan, katanya, tidak harus hanya melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), juga bisa melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Sawit Watch bersama IHCS akan memantau pelaksanaan putusan MK ini. “Kami juga akan mengajukan pengaduan konstitusional jika putusan ini tidak dijalankan.”
Kawal putusan
Raden Rafiq S.F.W, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalsel juga berpendapat, putusan itu adalah kemenangan moral dan konstitusional. Ia penting sebagai bagian dari jawaban gugatan terhadap UU Cipta Kerja.
Mesi begitu, katanya, putusan harus dikawal ke dalam kebijakan daerah, dan terwujud di lapangan, tempat konflik dan perampasan ruang hidup masih menjadi kenyataan sehari-hari.
Saat ini, katanya, negara sudah terlalu lama mengabaikan realitas sosial masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan.
Padahal, bertani dan berkebun bukanlah pelanggaran hukum, melainkan bentuk peradaban ekologis yang menjaga keseimbangan alam.
“Mirisnya, masih banyak aparat pemerintah dan korporasi yang memaknai hutan sebatas komoditas ekonomi, bukan ruang hidup.”
Kalimantan Selatan, misal, wilayah adat seperti Pegunungan Meratus terkepung konsesi tambang batubara, perkebunan sawit, dan proyek infrastruktur yang terus menggerus hasil hutan serta sumber air.
Ketika negara lebih sigap melayani kepentingan korporasi ketimbang rakyat, fakta menunjukkan arah keberpihakan yang timpang.
Data menunjukkan, sekitar 94,8% dari 53 juta hektar lahan saat ini sudah dalam kuasa korporasi. Hanya 2,7 juta hektar teralokasi bagi rakyat. Konflik agraria pun meningkat.
Deforestasi dan ekspansi sawit ilegal menjadi penyumbang terbesar krisis ekologis Kalimantan. Sementara, luas hutan adat yang negara akui baru 75.783 hektar.
“Angka yang sangat kecil dibanding potensi yang ada,” katanya.
Dia berharap, pemerintah daerah tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut menjadi pelaksana dalam memastikan hak-hak masyarakat adat berjalan. Kalau tidak, putusan akan kehilangan makna bila tidak ada tindak lanjut di daerah.
Pejabat, baik gubernur maupun bupati/wali kota, katanya, memiliki tanggung jawab moral dan administratif untuk menetapkan Perda Pengakuan Masyarakat Adat, dan pemetaan partisipatif wilayah adat. Juga, meninjau izin tambang, perkebunan sawit, dan HGU yang tumpang tindih dengan ruang hidup warga, serta menjalankan resolusi konflik berbasis keadilan ekologis.
Kemenangan ini, kata Raden, harus jadi momentum politik untuk memperkuat solidaritas antar komunitas adat dan organisasi rakyat.
Dia bilang, tak cukup serahkan keadilan ekologis pada tafsir hukum, tetapi mesti diperjuangkan melalui tekanan sosial dan politik.
“Seharusnya, negara berpihak pada penjaga hutan, bukan pemilik modal. Masyarakat adat bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang menjaga kehidupan.”
Dia mengusulkan, negara dan pemerintah daerah harus berhenti memandang rakyat sebagai penghalang investasi. Justru dari kebun tradisional, hutan adat, dan cara hidup masyarakat adat, terbangun keberlanjutan sejati.
“Masyarakat sipil harus terus mengawal implementasi putusan MK, menagih tanggung jawab pemerintah daerah, dan mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai dasar hukum yang adil bagi seluruh penjaga hutan di negeri ini.”
Rubi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan, menyambut baik permohonan agar masyarakat adat tidak memerlukan izin pemerintah pusat untuk berkebun di kawasan hutan.
Putusan ini, katanya, dapat memperkuat posisi mereka dalam memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari tanpa khawatir kena kriminalisasi.
Praktik berladang secara turun-temurun seperti berhuma, katanya, tidak dapat disamakan dengan aktivitas korporasi perkebunan maupun pertambangan.
Hak ulayat masyarakat bersifat tradisional dan lestari, berbeda dengan izin komersial yang sering berdampak pada kerusakan lingkungan.
Meski begitu, untuk memastikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat dia tetap mendorong dan mendesak pemerintah maupun DPR mempercepat pengesahan RUU Undang Masyarakat Adat.
“Sebab, RUU itu penting sebagai payung hukum yang kuat dan komprehensif bagi pengakuan serta perlindungan hak masyarakat adat, termasuk hak atas wilayah adat.”
Oktarina Sarare, dari Biro Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan AMAN Kalsel menambahkan, permohonan uji materi ini berangkat dari frasa “setiap orang” dalam pasal pidana perusakan hutan berpotensi mencakup masyarakat adat yang sudah lama hidup di kawasan itu.
“Kalau di satu sisi ada aturan yang mengakui masyarakat adat, namun sisi lain ada pasal yang bisa mengkriminalisasi mereka, itu sebuah paradoks.”
Pemerintah, beralasan penguatan sanksi hukum untuk menciptakan kepastian investasi dan mencegah pihak luar yang mengaku sebagai warga setempat melakukan perusakan hutan.
Akhirnya, MK memutuskan frasa “setiap orang” yang dapat dikenai hukuman dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak memiliki tujuan komersial.
“Putusan ini mempermudah masyarakat adat memanfaatkan lahan dan hutan untuk kebutuhan hidup, namun tetap memberi batasan,” ujar Okta.
*****