- Pada 2045, Indonesia punya target miliki wilayah konservasi laut sekitar 97,5 juta hektar atau 30% dari luas laut. Tersisa waktu 20 tahun bagi Indonesia untuk mewujudkan target itu. Sampai sekarang, luas kawasan konservasi laut baru 29,9 juta hektar atau 9%.
- Kementerian Kelautan dan Perikanan membentuk Komite Nasional Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan sebagai wadah koordinatif dan adaptif antar pemangku kepentingan.
- Koswara, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP menyebut, target pada 2045 itu bisa tercapai dengan sinergi bersama para pihak terkait. Termasuk, komunitas yang memiliki kontribusi besar dalam pelestarian ekosistem laut.
- Dina D Kosasih, Direktur Yayasan Pesisir Lestari mengatakan, masyarakat adalah aktor utama mendorong keberhasilan jangka panjang perlindungan kawasan. Keterlibatan masyarakat itu, termasuk lembaga adat, kelompok perempuan, dan komunitas pengelola lokal. Pendekatan yang menghargai nilai sosial dan budaya akan menciptakan rasa kepemilikan dan keberlanjutan.
Pada 2045, Indonesia punya target miliki wilayah konservasi laut sekitar 97,5 juta hektar atau 30% dari luas laut. Tersisa waktu 20 tahun bagi Indonesia untuk mewujudkan target itu. Sampai sekarang, luas kawasan konservasi laut baru 29,9 juta hektar atau 9%.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang mengupayakan berbagai cara, termasuk, menggandeng para pihak yang memiliki kemampuan untuk berkontribusi.
Firdaus Agung, Direktur Konservasi Ekosistem Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, KKP mengatakan, target 30% bertujuan melindungi keanekaragaman hayati, mewujudkan perikanan berkelanjutan, dan menghadapi perubahan iklim.
Untuk mencapai target itu, KKP bersama mitra LSM, universitas, dan pakar konservasi laut menyusun dokumen visi kawasan konservasi dan other effective area-based conservation measures (OECM) 2045 sebagai panduan strategis mencapai tujuan.
Target 97,5 juta hektar pada 2045 atau 30 by 45 (30×45) tak hanya dari perluasan kawasan konservasi laut saja juga, perlindungan perairan berbasis masyarakat berpotensi lain (OECM).
KKP membentuk Komite Nasional Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan sebagai wadah koordinatif dan adaptif antar pemangku kepentingan.
“Dengan terbentuknya komite ini, diharapkan tercipta tata kelola konservasi laut yang inklusif, partisipatif, dan berkeadilan sehingga menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama,” katanya belum lama ini di Bogor, Jawa Barat.
Dia menyebut, tugas komite untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi formal, seperti kawasan konservasi laut daerah (KKLD), taman wisata alam laut (TWAL), atau OECM.

Komite juga bertugas mendukung upaya pemerintah pusat dan daerah dalam menyusun kebijakan, membangun kapasitas, serta mengakses dukungan global dan sumber daya lain untuk mewujudkan target konservasi nasional.
Menurut Firdaus, fungsi utama juga mencakup diseminasi informasi konservasi secara luas, penguatan koordinasi lintas sektor, serta penyediaan data dan dukungan teknis bagi kegiatan monitoring dan evaluasi kawasan konservasi dan OECM.
Dia akui target mewujudkan 97,5 juta hektar bukanlah pekerjaan mudah, namun pemerintah sudah memetakan upaya melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Strategi yang KKP siapkan, katanya, dengan membagi target pada lima tahapan. Mulai dari periode 2022-2024 dengan 29,2 juta hektar, 2025-2029 dengan 32,5 juta hektar, 2030-2034 seluas 56,8 juta hektar, 2035-2039 dengan 81,3 juta hektar, dan 2040-2045 mencapai 97,5 juta hektar.
Seluruh target itu, terbagi ke dalam tiga klaster, yaitu, kawasan konservasi untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut, perlindungan perikanan berkelanjutan, dan perlindungan ekosistem karbon biru.
Dia bilang, target 32,5 juta hektar melalui penetapan 567 kawasan. Dari jumlah itu, hanya 21,5 juta hektar efektif. Selebihnya, masih belum karena berbagai faktor.
“Potensi karbon biru belum dimanfaatkan, monitoring zonasi dan ekosistem masih terbatas, serta belum disusun neraca sumber daya laut,” katanya.

Konservasi berbasis masyarakat
Khusus OECM di luar kawasan konservasi, kata Firdaus, pengembangan tidak akan mudah tetapi pemerintah sudah petakan area potensialnya.
Kalau OECM, merupakan pendekatan transformatif dalam konservasi keanekaragaman hayati laut berbasis masyarakat, berada di luar konservasi konvensional. Selain memperkuat perlindungan laut, OECM juga akan meningkatkan konektivitas ekologis.
“Serta akan menyediakan climate refugia, dengan 54 persen area memiliki terumbu karang tahan perubahan iklim,” katanya.
Adapun, area indikasi OECM di perairan Indonesia hingga April 2025 terdeteksi pada 650 kawasan seluas 9, 763 juta hektar. Jumlah itu dari area kandidat OECM seluas 3, 884 juta hektar dan berpotensi 5, 879 juta hektar.
Perbedaan OECM dengan status kandidat adalah masuk dalam periode pertama, yaitu, 2025-2030. OECM dengan status berpotensi itu masuk jangka panjang dan menengah, periode 2031-2045.
Selain status kandidat dan berpotensi, teridentifikasi juga wilayah potensi OECM perairan Indonesia yang tumpang tindih dengan target kawasan perlindungan laut (MPA) untuk target 30×45. Total, luasan tumpang tindih itu 2, 653 juta hektar.
Hendra Yusran Siry, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekologi dan Sumber daya Laut mengatakan, perluasan kawasan konservasi laut terbagi dalam enam zona mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan.

Peran komunitas
Koswara, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP menyebut, target pada 2045 itu bisa tercapai dengan sinergi bersama para pihak terkait. Termasuk, komunitas yang memiliki kontribusi besar dalam pelestarian ekosistem laut.
Selain melalui kawasan konservasi laut (marine protedted area/MPA), dia yakin, OECM menjadi salah satu inovasi penting dan strategis mewujudkan target 2045. OECM, katanya, memungkinkan pengakuan atas kawasan yang tidak ada penetapan formal sebagai kawasan konservasi.
Sisi lain, OECM bisa tetap berkontribusi signifikan terhadap perlindungan keanekaragaman hayati, baik melalui kearifan lokal, pengelolaan adat, atau praktik perikanan berkelanjutan.
Dia bilang, MPA atau OECM, sama-sama bagian integral dari kebijakan ekonomi biru yang bisa menghasilkan tiga keuntungan sekaligus. Selain bisa mewujudkan kesehatan laut, ekonomi biru bisa menjaga kekayaan laut dan kemakmuran laut.
Kesehatan laut, katanya. akan memastikan kualitas dan kesehatan lingkungan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil terjaga dari ancaman-ancaman. Termasuk, persoalan degradasi dan tekanan sektor ekonomi di pesisir.
Kekayaan laut akan memastikan ketersediaan produksi pangan tanpa memberi tekanan ekstra bagi ekosistem laut. Di tengah kebutuhan makin meningkat, melalui penangkapan terukur dan peningkatan produktivitas budi daya yang berkelanjutan.
Dia yakini juga kemakmuran laut akan mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi di pesisir guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat kelautan dan perikanan.
Rili Djohani, Executive Director Coral Triangle Center (CTC) menyatakan, pembentukan komite dan forum menunjukkan komitmen Indonesia menghadapi tantangan konservasi laut melalui pendekatan inklusif dan kolaboratif.

Melalui kerja sama dan pengelolaan berbasis data, katanya, Indonesia tak hanya akan memperluas cakupan perlindungan laut juga meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan. “Bisa berdampak bagi keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat pesisir.”
Hari Kushardanto, Wakil Presiden RARE Indonesia menyatakan, pemahaman terhadap pendekatan OECM di Indonesia masih terbatas. Hingga selama ini, pencapaian target konservasi 30% banyak bergantung kawasan konservasi formal.
Padahal, katanya, OECM memiliki peran penting, dengan potensi kontribusi hingga sekitar 10 juta hektar. OECM bisa memastikan berbagai inisiatif konservasi yang masyarakat jalani dengan berkelanjutan.
Berdasarkan riset RARE, sejumlah wilayah dengan nilai konservasi tinggi masih belum tercakup dalam skema kawasan lindung formal. Sejumlah wilayah itu, berpotensi besar sebagai OECM.
“Melalui panduan OECM yang tengah digodok, harapannya muncul lebih banyak lagi model konservasi berbasis komunitas, termasuk wilayah adat dan kearifan lokal yang selama ini telah berperan penting dalam menjaga laut.”
Dina D Kosasih, Direktur Yayasan Pesisir Lestari mengatakan, masyarakat adalah aktor utama mendorong keberhasilan jangka panjang perlindungan kawasan.
“Itu semua bergantung pada keterlibatan masyarakat, termasuk lembaga adat, kelompok perempuan, dan komunitas pengelola lokal. Pendekatan yang menghargai nilai sosial dan budaya akan menciptakan rasa kepemilikan dan keberlanjutan,” katanya.

*****