- Vonis lima tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, pada Aman Faisal Tambunan karena memburu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan putusan tertinggi dalam kasus satwa liar.
- Iding Achmad Haidir, Ketua Forum Harimau Kita, menyebut, hal ini menunjukkan kejahatan satwa liar semakin mendapat perhatian penegak hukum. Apalagi dengan revisi Undang-undang Konservasi jadi Undang-undang 32/2024, setelah belasan tahun masyarakat sipil tunggu.
- Adre W Ginting, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumut, mengatakan, tingginya angka perburuan ilegal terhadap hewan dilindungi ini perlu perhatian serius. Hukuman berat terhadap pelaku harus bisa menghasilkan efek jera.
- Rudianto Saragih Napitu, Direktur Pencegahan dan Pengamanan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, mengatakan, kejahatan perburuan serta perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar masih terus terjadi. Penting, katanya, memutus mata rantai jaringan perdagangan satwa liar dilindungi, mulai dari pemburu di lapangan hingga ke pemakai akhir yaitu para kolektor.
Vonis lima tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, pada Aman Faisal Tambunan karena memburu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan putusan tertinggi dalam kasus satwa liar.
Iding Achmad Haidir, Ketua Forum Harimau Kita, menyebut, hal ini menunjukkan kejahatan satwa liar semakin mendapat perhatian penegak hukum. Apalagi dengan revisi Undang-undang Konservasi jadi Undang-undang 32/2024, setelah belasan tahun masyarakat sipil tunggu.
“Kita mengapresiasi majelis hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal yang memegang perkara ini karena telah memberikan vonis cukup tinggi terhadap pelaku pemasangan jerat harimau sumatera di sana. Sepengetahuan saya, hukuman ini yang paling berat dalam kasus kejahatan satwa liar dilindungi di Indonesia,” katanya pada Mongabay, Kamis (10/4/25).
Dalam putusan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 40 A ayat (1) huruf d jo. Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Nomor 32/2024 tentang perubahan atas UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Majelis hakim juga mendenda Aman Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Putusan menyebut, Aman melakukan perbuatan pidana 9 September 2024, pukul 14.14 WIB di Desa Hutarimbaru SM, Kecamatan Kotanopan, Mandailing Natal. Jupri Wandy Banjarnahor, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Madina, menyebut, barang bukti berupa satu harimau mati, empat kawat baja, empat batang kayu penyangga jerat.
Ada juga satu handphone yang pelaku Aman gunakan untuk merekam video harimau Sumatera, satu dokumen hasil forensik dan satu berkas dokumen hasil nekropsi.
Menurut Iding, hukuman tinggi ini tidak berarti tanpa menghadirkan efek jera. Terutama, menyasar aktor utama dari perburuan harimau sumatera.
Berkaca dari kasus yang pernah terjadi, pemburu tingkat tapak biasa hanya menerima uang cukup untuk berburu di hutan. Ketika tertangkap, ekonomi sekeluarga akan lumpuh.
“Makanya yang perlu disasar adalah jaringannya. Jangan hanya fokus pada aktor kecil.”
Adre W Ginting, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumut, mengatakan, tingginya angka perburuan ilegal terhadap hewan dilindungi ini perlu perhatian serius. Hukuman berat terhadap pelaku harus bisa menghasilkan efek jera.
“Tentunya kita mengecam tindakan perburuan dan pembunuhan terhadap satwa endemik yang statusnya sudah terancam punah. Semua yang melanggar hukum harus diproses hukum. Harapannya, hukuman berat bisa membuat tidak mengulangi lagi perbuatan mereka, sekaligus menjadi pembelajaran bagi yang lain untuk tidak melakukan perbuatan serupa.”
Kejahatan terorganisir
Rudianto Saragih Napitu, Direktur Pencegahan dan Pengamanan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, mengatakan, kejahatan perburuan serta perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar masih terus terjadi.
Penting, katanya, memutus mata rantai jaringan perdagangan satwa liar dilindungi, mulai dari pemburu di lapangan hingga ke pemakai akhir yaitu para kolektor.
Senada dengan Iding. Menurut dia, kejahatan satwa liar, termasuk harimau Sumatera, merupakan kejahatan terorganisir yang setali tiga uang dan saling melengkapi dengan perdagangan obat-obatan serta perdagangan manusia.
Penegak hukum, harus bisa membongkar kasusnya sampai ke level tinggi, pemodal, hingga aktor utamanya.
“Selama permintaan masih tinggi di pasar gelap terhadap bagian tubuh satwa terancam punah dan dilindungi ini, maka perburuan dan perdagangannya juga akan masih terus terjadi.”
Dari pemantauan yang mereka lakukan, para pemburu mau menjalankan aksinya karena desakan ekonomi. Kemiskinan jadi satu alasan mereka nekat berburu hewan liar dilindungi, termasuk harimau.
Mereka tergiur dengan uang banyak dari jaringan perdagangan satwa tersebut. Jaringan itu, katanya, menggunakan pemain baru untuk menjadi pion mereka di tingkat tapak.

Untuk itu, perlu juga memikirkan solusi ekonomi masyarakat supaya tidak lagi tergiur iming-iming uang dari jaringan perdagangan satwa liar. “Ini merupakan tantangan bagi semua pihak.”
Di Sumatera, bagian tengah dan selatan, ada pelibatan mantan pemburu jadi tim pelestari hutan. Mereka masuk dalam tim penjaga kawasan hutan atau Smart Patrol. Meski, tidak semua pemburu bisa langsung sadar dan ikut serta dalam program ini.
Tetap harus ada batasan dalam cara ini. Iding bilang, 8-10 tahun lalu, residivis pemburu yang diajak jadi tim Smart Patrol di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) justru tertangkap tangan beraksi memburu satwa dalam kawasan. Juga, di Sumatera Barat, yang tertangkap memperdagangkan bagian tubuh satwa liar dilindungi.
Saat program terhenti karena kendala di donor, mantan pemburu yang sudah mempelajari serta mengetahui sistem dan konsep aturan dalam kawasan hutan pun bisa kembali menjalankan aksi mereka. Maka antisipasi dan perekrutan ketat perlu jadi perhatian.
Di satu sisi, katanya, pemerintah menggaungkan konservasi di tingkat tapak lewat Inpres 1/2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Namum, dia skeptis ini sudah berjalan, karena konservasi bukan tanggung jawab Kementerian Kehutanan semata, juga pemerintah daerah, serta perusahaan-perusahaan yang beraktivitas di sekitar kawasan.
“Ini semua perlu dikawal serta harus mendapat pemantauan yang ketat.”

*****