- Forum Pertanahan Asia (Asia Land Forum / ALF) 2025, pekan lalu menghasilkan beberapa rekomendasi perbaikan tata kelola pertanahan. Perbaikan ini bertujuan menyasar keadilan penguasaan tanah yang selama ini menimbulkan konflik agraria yang mengorbankan petani, penggembala, nelayan, perempuan, dan masyarakat adat.
- Alice Morris, perwakilan Working Group Women and Land Ownership (WGWLO) India, mengatakan, industrialisasi dan pembangunan menyingkirkan banyak masyarakat Asia dari tanahnya. Tidak sedikit yang mempertahankan ruang hidupnya jadi korban, terusir, bahkan terbunuh.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menambahkan sejumlah seruan aksi ALF 2025. Salah satunya, memastikan negara mengimplementasikan reforma agraria, tanpa menyerahkannya pada mekanisme pasar.
- Anu Verma, Koordinator International Land Coalition (ILC) di Asia, menambahkan, hasil pembahasan di ALF 2025 akan diperjuangkan di level nasional, regional maupun internasional.
Forum Pertanahan Asia (Asia Land Forum / ALF) 2025, pekan lalu menghasilkan beberapa rekomendasi perbaikan tata kelola pertanahan. Perbaikan ini bertujuan menyasar keadilan penguasaan tanah yang selama ini menimbulkan konflik agraria yang mengorbankan petani, penggembala, nelayan, perempuan, dan masyarakat adat.
Alice Morris, perwakilan Working Group Women and Land Ownership (WGWLO) India, mengatakan, industrialisasi dan pembangunan menyingkirkan banyak masyarakat Asia dari tanahnya. Tidak sedikit yang mempertahankan ruang hidup jadi korban, terusir, bahkan terbunuh.
Karena itu, dia mendesak pemerintah negara-negara Asia melindungi kelompok rentan dan menghentikan konflik agraria. Dia juga berharap implementasi reforma agraria efektif, efisien, dan cepat.
Tidak semua negara menjalankan reforma agraria dan reforma pertanahan secara penuh. Di India, misal, amandemen Undang-undang Warisan menjamin hak tanah pada perempuan, namun sebagian besar tanah masih dalam kuasa laki-laki.
“Di India, kami punya struktur sosial yang kuat. Bahkan dengan semua kebijakan yang memberikan tanah pada perempuan, keluarga tidak mau melakukannya. Jadi, perempuan harus memperjuangkan haknya atas tanah.”
Akibatnya, banyak perempuan sekadar jadi buruh pertanian atau kerja di tanah milik orang lain. Padahal, hak tanah untuk perempuan akan memperkuat perlindungan lingkungan, meningkatkan ekonomi keluarga, dan memberi keuntungan bagi komunitas lain.
Alice mengingatkan, pemerintah dan pengusaha menghormati hak-hak komunitas lokal dan masyarakat adat, termasuk dalam kebijakan transisi energi. Harus ada ruang untuk komunitas lokal membuat keputusan, mengerti program yang akan mereka jalankan, memperoleh informasi, serta mendapat keuntungan dari proyek yang sedang atau akan berlangsung.
“Membicarakan perubahan iklim dan ketahan iklim memang bagus. Tapi jangan kesampingkan komunitas lokal. Mereka harus dilibatkan, dan jangan lupakan hak-hak mereka.”

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menambahkan sejumlah seruan aksi ALF 2025. Salah satunya, memastikan negara mengimplementasikan reforma agraria, tanpa menyerahkan pada mekanisme pasar.
Karena itu, delegasi ALF 2025 mendesak negara-negara Asia ikut bertanggung jawab langsung terhadap penguatan hak atas tanah. Juga, penegakan hukum, terutama terhadap sektor swasta yang melanggar hak asasi manusia.
“Termasuk, bagaimana perusahaan harus akuntabel dan memenuhi FPIC (free, prior and informed consent), apabila ada proses pembangunan ataupun bisnis yang masuk di desa,” katanya.
Dewi bilang, keengganan banyak negara implementasikan reforma agraria tidak hanya berdampak konflik, tapi juga menurunkan kepercayaan diri keluarga nelayan dan memicu krisis regenerasi petani.
Untuk itu, penguatan sistem pendukung seperti pendidikan, modal, infrastruktur, dan teknologi pertanian harus dengan redistribusi tanah reforma agraria. “Di beberapa negara, teknologi pertanian tidak berkembang. Sehingga itu memengaruhi minat para pemuda di desa untuk jadi petani. Karena dianggap tidak lagi menjanjikan,” katanya.
Delegasi ALF 2025 juga menyerukan intergovernmental organization (organisasi-organisasi antar pemerintah) untuk ambil peran dalam memastikan tata kelola pertanahan yang berpusat pada kepentingan rakyat.
Hingga kini, organisasi-organisasi internasional itu belum tersambung dengan agenda reforma agraria serta hak-hak masyarakat sipil, seperti petani, nelayan, penggembala, masyarakat adat dan perempuan.
Anu Verma, Koordinator International Land Coalition (ILC) di Asia, menambahkan, hasil pembahasan di ALF 2025 akan mereka perjuangkan di level nasional, regional maupun internasional. Di level nasional, mereka berupaya memastikan penguatan partisipasi dan kesadaran di akar rumput.
Anggota ILC di Asia merupakan bagian dari petani, nelayan, penggembala, perempuan, pemuda dan masyarakat adat, ataupun organisasi yang bekerja langsung dengan kelompok itu. Skema kerja semacam itu akan mewujudkan hak tenurial tanah, reforma pertanahan, dan reforma agraria sejati.
Di level regional, anggota ILC di Asia menyerukan solidaritas untuk masyarakat sipil di Myanmar yang terdampak kudeta militer 2021. Anu bilang, petani dan masyarakat sipil di Myanmar menjadi target represi dan kriminalisasi, hidup dalam ketakutan, serta menghadapi ancaman perampasan tanah.
“Mereka tidak bisa datang, karena isu yang terjadi di Myanmar. Jadi semua anggota ILC di Asia bersolidaritas,” ungkapnya. “Ini adalah beberapa pesan utama yang akan kami bawa ke seluruh dunia, pada semua yang hidup dalam ancaman, keraguan, kami berikan solidaritas untuk mereka.”
Pada level internasional, hasil pembahasan ALF 2025 akan mereka bawa ke Global Land Forum di Kolombia, Juni ini. Pertemuan itu penting karena hadir perwakilan pemerintah, lembaga donor, mitra strategis dan anggota dari region lain.
“Kami sudah mengorganisir dalam tiga tahun di level global. Ada isu yang mirip, seperti yang terjadi di Asia. Jadi kami akan diskusikan pesan ini di Global Land Forum.”
“Pernyataan deklarasi ini (ALF 2025), salah satu seruan aksi, adalah segera bebaskan pembela HAM yang berjuang mempertahankan tanah. Bebaskan mereka dari penjara dan segala tuduhan.”

Bagaimana di Indonesia?
Sebelumnya, ada penandatanganan kesepakatan bersama (Joint Statement) tentang percepatan pelaksanaan reforma agraria antara perwakilan organisasi masyarakat sipil dan perwakilan pemerintah dalam ALF 2025. Forum Agraria Indonesia (FAI) akan mengawal kesepakatan itu.
Wahyu Binara Fernandez, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI) mengatakan, FAI akan jadi forum membahas langkah-langkah strategis, khususnya untuk memastikan pelaksanaan joint statement.
Dia berharap, organisasi masyarakat sipil dapat mengubah advokasi berorientasi kasus, yang melelahkan dan tidak strategis, menjadi lebih struktural dan sistemik. Apalagi, proses penyusunan kebijakan saat ini relatif tertutup.
“Rencana strategis sudah dibikin, kerja advokasi harus menagih itu (joint statement). Itu pekerjaan besar, tapi bagus karena kita mulai di awal pemerintahan Presiden Prabowo,” katanya.
Wahyu berharap, advokasi reforma agraria dapat mengoreksi rencana perluasan kawasan konservasi hingga jutaan hektar serta mengantisipasi Undang-undang Konservasi yang punya kecenderungan mengklaim wilayah-wilayah di luar kehutanan, termasuk hutan adat.

Imam Hanafi, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengatakan, joint statement harus ada tindak lanjut lewat pembuatan strategi, peta jalan reforma agraria, hingga mempertemukan pembuat kebijakan dengan pemangku kepentingan.
“Penting menerjemahkan joint statement jadi peta jalan bersama dan memilih prioritas mana yang akan didahulukan. Ini masih dalam rumusan di fase berikutnya, pasca ALF,” katanya.
Dia menilai, kebijakan satu peta, dari Wakil Menteri ATR/BPN Ossy Dermawan dalam pembukaan ALF 2025, tidak memberi dampak signifikan dalam menyelesaikan konflik agraria. Karena, sekadar praktik menyelaraskan peta antar lembaga.
Kebijakan itu, katanya, harus ada perbaikan dengan pelibatan masyarakat dalam pengumpulan data, menempatkan desa sebagai ujung tombak penyedia data dan informasi. Pemerintah juga mesti jadikan peta partisipatif masyarakat adat sebagai peta indikatif atau acuan dasar kebijakan satu peta.
“Data yang sudah ada, silakan diserap oleh setiap wali data sesuai bidang dan kewenangan, itu yang kemudian diintegrasikan sebagai salah satu acuan ketika melakukan proses sinkronisasi (kebijakan satu peta).”

*****