- Kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea abbotti)merupakan burung endemik yang hanya ditemukan di Pulau Masakambing, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
- Hasil pemantauan BBKSDA Jawa Timur pada November 2024 menunjukkan, populasinya bertambah tiga ekor yang secara keseluruhan berjumlah 29 individu.
- Penurunan kualitas genetik kakatua ini, terjadi karena adanya kawin kerabat dekat. Secara visual, genetik yang buruk terlihat dari bulu di bagian kepala yang tidak bagus, rontok, serta terdapat cacat pada bagian mata.
- Pihak BBKSDA Jawa Timur tengah melakukan uji DNA kakatua kecil jambul kuning di Masakambing dengan spesies kakatua lain di luar Tujuannya, mencari rumus DNA yang cocok agar intervensi genetik dapat dilakukan.
Kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea abbotti) merupakan burung endemik yang hanya ditemukan di Pulau Masakambing, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Statusnya dilindungi di Indonesia dan berdasarkan keterangan Badan Konservasi Dunia (IUCN), kondisinya Kritis (Critically Endangered/CR), atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.
Bagaimana kondisinya saat ini?
Hasil pemantauan BBKSDA Jawa Timur pada November 2024 menunjukkan, populasinya bertambah tiga ekor yang secara keseluruhan berjumlah 29 individu.
Sumpena, Kepala Seksi Konservasi Wilayah IV Sumenep, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, mengatakan ada beberapa penyebab lambatnya pertumbuhan jumlah jenis ini. Paling utama adalah sang induk yang mulai tidak produktif.
“Kondisi ini terbilang bagus, mengingat pada 2013 hanya 15 individu,” jelasnya, Sabtu (28/12/2024).
Pihak balai tengah melakukan uji DNA kakatua kecil jambul kuning di Masakambing dengan spesies kakatua lain di luar pulau. Tujuannya, mencari rumus yang cocok agar intervensi genetik dapat dilakukan.
“Harus sama untuk mempertahankan kemurnian jenisnya. Dengan begitu penyelamatan, perlindungan, dan pengembangan dapat berjalan.”
Menurut Sumpena, ada dugaan kualitas genetik kakatua kecil jambul kuning di Masakambing rendah karena terjadi perkawinan sedarah. Genetik rendah berdampak pada fisik dan kemampuan terbang yang rendah, bahkan terkadang jatuh.
“Kekhawatiran lain adalah jadi mangsa predator,” jelasnya.
Baca: Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing
Perawatan kakatua
Usman Daeng Mangung, Koordinator Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan, Seksi Konservasi Wilayah IV Sumenep, BBKSDA Jawa Timur, mengatakan telah merawat dua ekor kakatua sejak 2024, karena tidak bisa terbang.
“Dokter sudah memberi vitamin. Satu individu sehat dan menunggu waktu tepat untuk dilepaskan,” jelasnya, Minggu (22/12/2024).
Perubahan cuaca juga mengubah perilaku dan jadwal reproduksi kakatua kecil jambul kuning. Siang, mereka bermain di sekitar mangrove dan sore kembali ke pohon randu/kapuk yang dijadikan tempat bersarang. Sebanyak delapan sarang berhasil diidentifikasi.
“Biasanya, akhir September jadwal menetasnya telur. Akan tetapi, dua tahun belakangan justru menetas pada Desember,” jelasnya.
Baca: Pulau Masakambing jadi Kawasan Ekosistem Esensial, Berharap Jambul Kuning Terus Terjaga
Harapan hidup kakatua
Dudi Nandika, Ketua Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia (KKI), memaparkan angka harapan hidup kakatua di Masakambing harus ditingkatkan. Dia telah meneliti spesies ini sekitar sepuluh tahun.
KKI juga pernah membuat sarang buatan untuk Cacatua sulphurea abbotti, tetapi tidak membuahkan hasil. Sarang tidak ditempati kakatua masakambing, sebutan yang diberikan masyarakat setempat.
“Kendati jenis dan desain sarang sama, namun hasilnya tidak sesuai harapan,” jelasnya, Selasa (24/12/2024).
Penurunan kualitas genetik, menurut Dudi, terjadi karena adanya kawin kerabat dekat. Secara visual, genetik yang buruk terlihat dari bulu di bagian kepala yang tidak bagus, rontok, serta terdapat cacat pada bagian mata.
Kondisi ini membuat daya tahan kakatua menjadi rentan.
“Jadi, perlu genetik baru,” ungkapnya.
Baca juga: Hasil Penelitian: Jambul Kuning Itu Memang Nyata di Tanahjampea
Faktor eksternal yang menghambat perkembangbiakan adalah hujan berkepanjangan dan angin kencang. Keadaan ini membuat sarang tergenang air, sehingga telur membusuk.
“Pohon kapuk yang menjadi sarang favorit cepat rapuh dan patah. Biawak sebagai pemangsa harus diwaspadai, meski preferensi kejadiannya sedikit.”
Dudi berharap, semua pihak bisa saling mendukung menjaga kelestarian kakatua kecil jambul kuning.
“Ini aset genetik Indonesia, burung khas yang tidak ada di tempat lain, kecuali di Pulau Masakambing,” paparnya.
Cacatua sulphurea abbotti merupakan satu dari lima sub-spesies kakatua jambul kuning [Cacatua sulphurea/Cs] yang hidup di Indonesia. Ada C.s sulphurea di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau satelit sekitarnya; C.s purvula di Pulau Nusa Penida, Lombok dan NTT; C.s citrinocristata di Sumba; C.s djampeana di Pulau Tanahjampea, Sulawesi Selatan dan Tukang Besi, Sulawesi Tenggara; dan C.s occidentalis di Lesser Sunda.
KEE Masakambing: Pelestarian Kakatua Jambul Kuning Harus Libatkan Masyarakat