Pernyataan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini soal ekspansi kebun sawit kemudian menyusul ucapan Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan mengenai rencana membuka 20 juta hektar hutan guna memenuhi kebutuhan pangan dan energi memicu reaksi para pihak, termasuk kelompok akademisi. Apakah tepat untuk memperoleh lahan dengan melakukan deforestasi atau penggundulan hutan, perlu bijak menyikapinya.
Mungkin bisa ambil contoh tanaman sawit. Tiga tahun lalu, sejumlah pihak berupaya mengklasifikasikan sawit sebagai “tumbuhan hutan.” Padahal, hutan sejatinya asosiasi ribuan spesies pohon dan non-pohon. Hutan alami memiliki berbagai bentuk hidup, termasuk yang menempel, memanjat ataupun merambat di tegakan pohon. Semua saling berinteraksi satu sama lain hingga terbentuk komunitas yang sangat kuat atau lenting.
Apakah sawit akan lebih baik pada lahan hutan yang terdeforestasi? Menurut ilmu pengetahuan terbaru adalah sebaliknya. Dalam penelitian publis di jurnal terkemuka Nature terbukti bahwa keberadaan “pulau pepohonan” justru meningkatkan daya tahan perkebunan sawit, sekaligus kelentingan lanskap (Zemp dkk 2023).
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa penanaman sawit dalam skema hutan kebun atau agroforestry akan memberikan nilai tambah, baik secara ekonomi dan ekologi. Ketika sawit ditanam pada lahan hutan, ternyata tandan cenderung lebih subur, dan keanekaan flora dan fauna lebih kaya (Zemp dkk 2019).
Jadi makin jelas, pertanian terfokus pada satu komoditas tanaman sudah usang. Kekinian pertanian berkelanjutan adalah “pertanian regeneratif”
Pertanian regeneratif (PR) berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Perhatian berimbang diberikan pada kesehatan tanah, pengelolaan sumber daya, dan layanan ekosistem termasuk ketahanan pangan dan regulasi iklim. PR juga mencakup manfaat sosial-ekonomi, seperti kesehatan manusia dan kemakmuran ekonomi. Semua memerlukan kerangka implementasi yang seragam (Schreefel dkk 2020. Global Food Security).
Bagaimana dengan energi? Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa sumber energi nabati tak harus dari sawit. Sawit bukanlah tanaman yang selaras dengan alam Indonesia. Sawit adalah tanaman introduksi dari Afrika. Sawit juga sangat berperan menguras unsur hara dari tanah, hingga memiskinkan tanah.
Biaya dampak pertanian monokultur seringkali terabaikan. Ketika tanah rusak karena monokultur seperti sawit akan perlu sejumlah besar biaya pemulihan ekosistem. Untuk mengembalikan kesuburan tanah melalui rekayasa ekologi atau restorasi ekosistem perlu biaya sangat tinggi, berkisar US$260-US$2,880 per hektar (Rahman dkk 2018. Food Energy Security).
Pembangunan sawit di ekosistem hutan gambut juga sangat berisiko baik ekologi atau ekonomi. Diperkirakan 85%izin sawit ada di hutan dengan kondisi tanah atau iklim tidak akan mendukung. Untuk mereduksi emisi gas rumah kaca pada konsesi sawit yang telah sesuai (adaptif) terhadap kondisi tanah maupun iklim perlu biaya US$39 per unit emisi. Bila sawit tanam di daerah dengan kondisi tanah dan iklim tidak sesuai akan timbul biaya tujuh kali lipat, mencapai US$265 per unit emisi (Graham dkk 2017).
Sisi lain, Indonesia memiliki berbagai flora hutan alami yang dapat jadi sumber energi. Beberapa dipastikan turut menyuburkan tanah, seperti kaliandra (Calliandra spp), aren (Arenga pinnata), dan nyamplung (Callophyllum inophyllum).
Kaliandra, tumbuhan polong-polongan yang mampu mengikat nitrogen, memiliki biomassa yang dapat digunakan untuk co-firing biodiesel. Teknologi co-firing diterapkan pada pembangkit listrik yang masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai salah satu upaya pemerintah mempercepat bauran energi nasional.
Untuk manfaat luar biasa aren terungkap pada UN Forum for Climate Change Conference of Parties (UNFCCC ke 29, Baku, 11-24 Nov. 2024). Di Pavillion Indonesia ahli lingkungan dunia dari Indonesia, Willie Smits dalam presentasinya yang berjudul ”Kekuatan Alam” mengatakan, aren memiliki kemampuan produksi 12,5 ton per hektar per tahun.
Jumlah ini hampir tiga kali lipat sawit, dengan kapasitas produksi hanya 4.5 ton per hektar per tahun.
Pohon-pohon bioenergi ini dapat ditanam dalam skema hutan kebun. Alih-alih menggunduli hutan, mereka sangat berperan terhadap restorasi ekosistem hutan.
Aren ini merupakan tanaman multi-guna sejati. Aren menyediakan jantung palem, buah yang manis, pati, serta larutan manis. Bahkan pohon aren yang sudah mati masih menyediakan habitat mikro yang mengundang lebah madu dan berbagai larva serangga.
Kayu dan serat aren juga secara ekonomi sangat bermanfaat. Kayu aren selain bernilai dekoratif juga ternyata memiliki lima kali kekuatan kayu pohon eik. Ijuk aren pernah ditemukan sebagai bahan kapal yang sudah berusia 1.300 tahun. Gorong-gorong bisa bertahan di lumpur 50 tahun (Smits 2024)
Seiring dengan meningkatnya perhatian global terhadap dampak lingkungan dan sosial dari industri sawit, makin terbuka peluang bagi bioteknologi untuk menyediakan substitusi sawit.
Salah satu inovasi yang menjanjikan adalah pengembangan ragi oleh perusahaan rintisan C16 Biosciences, yang dapat mengubah gula menjadi lemak. Teknologi ini memanfaatkan mikroorganisme untuk memproduksi asam lemak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pengganti minyak sawit (Dinneen 2022).
Pengembangan tanaman energi dapat bersinergi dengan efisiensi lahan. Bahkan dapat diterapkan dengan upaya memulihkan lahan terdegradasi (Hoogwijk dkk 2005; Ruijven 2012).
Pengembangan tanaman energi sangat baik bila dilakukan pada lahan lahan non-hutan. Misal di lahan pertanian yang memasuki masa bera, mosaic lahan tak terpakai dalam lanskap pertanian, lahan tidur yang yang baru ditinggalkan, padang ilalang yang baru ditinggalkan, bahkan pada lahan terkontaminasi.
Hingga kini, belum pernah menemukan kaidah ilmiah dalam membangun tanaman energi, atau pangan perlu membuka hutan tropika humida (ekosistem alami).
Kebalikan dari deforestasi di Indonesia adalah mengubah gurun menjadi lahan berhutan, seperti Green Wall Project di Afrika. Sejak tahun 2018, pemerintah dari berbagai negara (Mauritania, Burkina Faso, Chad, Mali, Niger; Afria Barat dan Tengah) bekerja sama dengan World Food Programme melakukan aforestasi.
Praktiknya, dengan rekayasa ekologi, gurun jadi hutan. Hutan inilah yang menyediakan pangan bagi masyarakat, termasuk pakan untuk berbagai hewan ternak
Upaya mengubah wilayah Sahel menjadi vegetasi berhutan membuahkan hasil nyata. Pada akhir 2024, tercatat 300.000 hektar lahan tidur berhasil “dihidupkan” kembali Tidak kurang dari 4 juta masyarakat menerima manfaatnya. (Madjianga dkk 2024)
Pada akhirnya, untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan lahan berkelanjutan perlu perencanaan tata ruang terkoordinir. Inisiatif Kebijakan Satu Peta yang dikembangkan sejak 2011 dan penguatan pada tahun 2016 ternyata sangat membantu (Mulyani & Jepson 2023). Kebijakan ini terbukti membantu penggunaan lahan secara lebih inklusif hingga lebih berkelanjutan (Indrawan dkk 2024)
Pertanian berkelanjutan perlu pengetahuan dasar dan iptek. Kalau tidak, akan sia-sialah hutan alami terbabat untuk pengembangan pangan dan energi. Untuk Indonesia bisa jadi macan di belantara pembangunan berkelanjutan perlu pendekatan bijaksana dan berkelanjutan pula.
*Penulis adalah peneliti ekologi pada Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia, dan pengajar pada Dept Geografi, FMIPA UI. Tulisan ini merupakan opini penulis.
*******