- Aktivitas kapal nelayan pajeko menjaring ikan menggunakan mata pukat yang kecil berkontribusi pada berkurangnya sumber makanan gurita sehingga populasi gurita menurun di Teluk Totikum Selatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah
- Kurangnya populasi gurita membuat sebagian nelayan gurita beralih menangkap ikan di malam hari. Tetapi hasil tangkapan ikan sedikit, tidak cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari rumah tangga
- Kelompok nelayan gurita dibantu pemangku kepentingan berkolaborasi mengelola area buka tutup sementara tangkapan gurita selama tiga bulan untuk mengembalikan populasi gurita
- Pakar Kelautan Universitas Hasanuddin, Syaifudin Yusuf, menyarankan untuk memperpanjang masa penutupan area tangkapan gurita hingga 10 tahun, untuk menjamin keberlangsungan populasi gurita dalam jangka yang panjang.
- Artikel ini merupakan tulisan kedua tentang kondisi nelayan gurita di Teluk Totikum Selatan. Artikel pertama bisa dibaca disini
Sinar matahari terasa terik pada pertengahan siang di pertengahan Oktober di pesisir pantai Desa Kalumbatan, Kecamatan Totikum Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Angin kering menghembuskan uap laut yang panas memicu gelombang laut setinggi satu meter naik memecah di tanggul pantai. Tidak ada nelayan turun melaut, perahu-perahu ketinting dilabuhkan sejauh mata memandang di pesisir.
Tetapi cuaca buruk tidak membuat aktivitas pasar ikan sepi pengunjung. Bahkan dalam sehari pembongkaran ikan dilakukan sebanyak tiga kali: pagi, siang dan malam hari. Kata para nelayan, sebagian ikan yang dijual di pasar merupakan hasil tangkapan ikan dari nelayan lain yang menggunakan bom ikan, pemanah kompresor, dan pajeko.
Pajeko adalah sebutan lokal terhadap kapal penjaring ikan dengan kapasitas diatas 20 GT dari daerah lain. Sekali membentangkan pukat bermata kecil dengan cara membentuk gerak melingkar luas di laut, sanggup menjerat beraneka jenis hewan laut dengan berbagai ukuran.
Dari kesaksian seorang nelayan yang pernah melihat langsung proses pengumpulan ikan dari jaring itu ke kapal, dia memperkirakan dalam beberapa kali melingkarkan jaring, bisa mengumpulkan ratusan box gabus ikan, bahkan bisa berton-ton ikan.
Sebagian dari hasil tangkapan itu, didistribusikan ke pedagang ikan lokal dengan harga miring, banting harga, mengakibatkan penjualan dari hasil tangkapan ikan nelayan tradisional merosot jatuh.
Aktivitas pajeko itu sejak lama diduga menjadi penyebab populasi gurita menurun, lantaran gurita mulai kekurangan makanan karena ikan-ikan kecil dalam rantai makanan di laut menghilang.
“Tidak ada harapan lagi,” kata seorang anggota Pokwasmas (kelompok pengawas masyarakat) laut setempat.
Baca : Laut Rusak, Gurita Menghilang: Nestapa Nelayan Teluk Totikum di Ujung Tanduk
Beralih Bekerja Serabutan
Siang itu, Yanto Amri (32) pulang melaut dengan hasil tangkapan ikan yang sedikit. Ia hanya memperoleh Rp27.000 hasil penjualan ikannya yang hanya bisa digunakan untuk membeli sekotak susu formula bayi kecil seharga Rp20.000 dari Pasar Kalumbatan dan setengah liter bensin dari harga Rp 15.000/liter.
Sedangkan Hanaping (55 tahun), teman sesama nelayan Amri dari Desa Lobuton, lebih beruntung mendapatkan ikan.
Pada malam sebelumnya, mereka berdua turun melaut menggunakan perahu masing-masing hingga fajar menyingsing. Amri mengandalkan pancing dan hanya mengumpulkan yakni beberapa ikan karang dan dua teripang. Sementara Hanaping mengandalkan palu suntung (tangkai kayu yang ujungnya diberi pukat) untuk berburu cumi pulpen (bolpoin).
Periode bulan terang di langit merupakan waktu bagi rombongan cumi naik ke permukaan laut di malam hari.
Semalaman itu, Hanaping, berhasil menjaring sekitar 200 ekor cumi pulpen. Dari hasil tangkapan itu, dia menjual sebanyak 150 ekor ke pengepul di pasar seharga Rp 1000/cumi. Sisanya dia bawa pulang untuk dikonsumsi keluarganya selama dua hari kedepan.
Amri dan Hanaping adalah dua nelayan gurita yang tergabung di kelompok nelayan gurita di Lobuton. Mereka sudah berminggu-minggu tidak berburu gurita, mereka beralih menjadi nelayan tangkap di malam hari, hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan harian keluarga masing-masing. Sebagian dari hasil tangkapan dijual untuk melunasi hutang bensin eceran yang digunakan sebagai bahan bakar ketinting.
Baca juga : Nelayan Gurita Samajatem: Tabung Dahulu, Panen Hasil Kemudian
Sudah beberapa tahun terakhir, Hanaping terpaksa beralih profesi menjadi pekerja serabutan, menjadi kuli bangunan harian di kala hasil tangkapan laut tidak cukup untuk dipakai membiayai kebutuhan rumah tangga. Kondisi ini kontras dengan masa-masa ketika gurita di tahun-tahun 2014 sampai tahun 2020. Kala itu gurita dibeli dengan harga tinggi seharga Rp80.000 untuk seekor gurita seberat 1 kg, memenuhi standar grade A di tangan pengepul.
Hasil penjualan gurita di tahun-tahun itu membuat dia merasa sukses menjadi orang tua teladan di Lobuton, lantaran berhasil membiayai pendidikan dua dari lima anaknya berhasil menyelesaikan studi di perguruan tinggi.
Beda harga dengan sekarang, “Masalahnya ada dua, size (grade) dan harga murah,” ucap Hanaping.
Katanya, gurita tidak mengalami penambahan nilai jual lantaran sejak tahun 2020 berat standar di grade A naik menjadi 2 kg dengan harga timbang Rp 100.000/ekor gurita utuh, dalam kondisi segar, tidak cacat (kepala tidak rusak dipukul menggunakan kayu atau telah kehilangan dua tentakel), dan belum mengeluarkan cairan tinta dari tubuhnya.
“Kita tidak tahu pihak mana yang kasih (tetapkan kriteria standar) begitu, pengepul tingkat di atas atau pengepul di tingkat lebih besar,” keluh Hanaping.
Harga gurita yang turun dengan embel-embel ketatnya kriteria grade A membuat Hanaping, Amri, dan nelayan lain patah semangat berburu gurita.
Baca juga : Suku Bajo Torosiaje Panen Hasil saat Punya Area Lindung Gurita
Buka Tutup Sementara Penangkapan Gurita
“Kegiatan buka tutup ini bukan membatasi bapak-bapak untuk menangkap gurita. Tapi harus memberi kesempatan kepada gurita untuk hidup, untuk melangsungkan hidupnya. Penutupan ini adalah siklus yang ketiga,” kata Risandy Daeng Sitaba, Koordinator Program Yayasan LINI di Banggai Kepulauan, kepada puluhan nelayan gurita, Kapolsek, camat, tokoh masyarakat, dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) yang hadir dalam acara peresmian wilayah buka tutup penangkapan gurita yang digelar Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas) di Balai Pertemuan Desa Kalumbatan, 16 Oktober 2024.
Dalam kegiatan ini, DKP Kabupaten Banggai Kepulauan bersama Pemerintah Kecamatan Totikum Selatan dan perwakilan kelompok nelayan gurita dari Desa Lobuton, menandatangani kesepakatan bersama nelayan, menutup area tangkapan sementara di Teluk Tinokum Selatan.
Sudah dua tahun lebih lamanya kelompok nelayan gurita binaan LINI yang tersebar di Kalumbatan dan Lobuton terlibat berkolaborasi, berpartisipasi menerapkan sistem pengelolaan laut buka tutup sementara dalam satu area fishing ground. Tujuannya mengembalikan populasi gurita yang terus berkurang.
Ditutupnya area tangkapan gurita sementara hanya berlangsung selama tiga bulan pada dua area yang telah disepakati bersama, lokasinya berdampingan di kawasan tangkapan laut nelayan Kalumbatan dan Lobuton di tengah perairan teluk Totikum Selatan, dengan luasan masing-masing area buka tutup itu di atas lahan 70 hektar lebih. Setelah masa tutup, area tangkapan kembali dibuka selama satu bulan untuk diakses nelayan menangkap gurita.
Baca juga : Sukses Tingkatkan Produksi Gurita, Nelayan Selayar Kembali Buka-Tutup Kawasan
Dari tiga siklus buka tutup buka tutup yang telah berlalu, hanya pada siklus pertama di tahun 2022 total tangkapan gurita sebanyak 25 kg ketika area tersebut dibuka. Pada siklus di tahun berikutnya, data tangkapan gurita jauh menurun di bawah angka 10 kg. Pada siklus kedua itu, tanda batas telah hilang — membuat nelayan kebingungan di titik mana saja yang tidak diperbolehkan melakukan penangkapan gurita.
Di penutupan area tangkapan gurita kali ini, akan disebar delapan penanda pembatas yang terbuat dari kotak gabus dengan bendera putih bertuliskan larangan mengambil gurita selama tiga bulan.
“Sekarang kita sudah punya Pokmaswas yang akan melakukan pengawasan,” kata Sandi.
Penetapan penutupan area tangkapan selama tiga bulan untuk menjamin gurita telah melewati masa dewasa yang produktif, dengan peluang memperoleh tangkapan gurita dengan berat maksimal mencapai 4 kg/ekor, yang jika dikalkulasi, dalam satu titik di setiap siklusnya itu bisa 3 sampai 5 ton gurita.
10 Tahun Penutupan Penangkapan Gurita
Menurut pakar Kelautan Universitas Hasanuddin, Syaifudin Yusuf, penutupan area tangkapan gurita dalam 3 bulan hanya akan menunggu masa dewasa atau besarnya gurita, tidak memberikan waktu untuk reproduksi yang lebih banyak, tidak akan memperbanyak populasi
“Mungkin satu tahun itu jauh lebih bagus dan bersabar, akan ada hasilnya,” kata Yusuf.
Jika ingin mengembalikan populasi gurita dewasa dalam jumlah banyak, penutupan area tangkapan gurita sebaiknya dilakukan selama 5 sampai 10 tahun. Memberi kesempatan kepada gurita seintens mungkin bertemu dengan pasangannya dalam satu kurun waktu yang lebih lama untuk melakukan untuk melahirkan banyak generasi.
Populasi gurita yang meningkat drastis, akan keluar dari dalam kawasan larangan tangkap sementara. Gurita menyebar ke hamparan terumbu karang terdekat. Situasi ini dapat menunjang kestabilan kualitas dan kuantitas tangkapan nelayan dalam jangka waktu yang lama di luar area larangan tangkapan sementara.
Sebelumnya, Daniel Julianto Tarigan, peneliti kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan kawan-kawan pernah melakukan penelitian mengenai Strategi Pengelolaan Perikanan Gurita di Kabupaten Banggai Laut, Provinsi Sulawesi Tengah yang diterbitkan dalam jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan di tahun 2018.
Bisa dikata kalau sebagian fishing ground Banggai Laut dan Banggai Kepulauan berada di area perairan yang sama, contohnya selat kecil yang memperantarai dua pulau besar itu yang tepat berada di depan bukaan mulut Teluk Totikum Selatan.
Baca juga : Cipo dan Si Manis, Alat Tangkap Gurita Unik dari Kampung Bajo Kalumbatan
Populasi Gurita Turun Drastis
Penelitian yang dilaksanakan pada September-Oktober 2017 itu menggunakan metode pengumpulan data primer terkait aspek sumber daya gurita, teknologi penangkapan, sosial, ekonomi dan kelembagaan, melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lapangan.
Hasilnya, gurita termasuk hasil tangkapan dominan di Banggai Laut, meski masih menggunakan alat tangkap tradisional (cipo, si manis) dan kapal kecil berukuran dibawah 5 GT. Tren CPUE (catch per unit effort) di tahun 2014-2016 mendata populasi gurita turun drastis akibat ditangkap secara berlebihan, meski perikanan gurita di Banggai Laut masuk kategori penangkapan perikanan skala kecil yang belum dikelola secara optimal.
Sementara, Seafood Watch List memasukan produk gurita Indonesia ke dalam kategori ‘untuk dihindari’ atau ‘merah’. Artinya, produk gurita belum dianggap berkelanjutan.
Ketidakpastian harga dan tidak berpihaknya regulasi pemerintah pada nelayan gurita tradisional membuat Hanaping dan kawan-kawan yang bermimpi bisa membiayai sekolah anak-anak setempat hingga ke jenjang perguruan tinggi tidak terwujud.
“Kasihan nelayan, susah!” ujarnya.
Mereka belajar dari kisah Sandy, sang koordinator nelayan yang menginspirasi nelayan binaannya untuk bisa menyekolahkan anak-anak demi memutus mata rantai kemiskinan dan memutus perilaku pengelolaan laut yang buruk.
Ayah Sandy adalah mantan pembom ikan, dan dengan menyelesaikan perkuliahan dengan studi perikanan di salah satu universitas di Sulawesi Utara, Sandy jadi sadar pentingnya untuk melestarikan laut untuk meningkatkan taraf hidup nelayan tradisional.
“Penting bagi pemerintah memperhatikan pendidikan anak-anak nelayan,” pungkasnya. (***)