- Dua perusahaan raksasa Eropa, Eramet dan Badische Anilin Soda Fabrik (BASF), baru-baru ini memutuskan tak berinvestasi di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
- Banyak sorotan dari media maupun riset berbagai organisasi masyarakat sipil terhadap operasi pertambangan dan kawasan industri nikel di Indonesia, termasuk di Weda Bay, Halmahera Tengah, terkait dampak lingkungan dan sosial masyarakat.
- Masril Karim, peneliti Forum Studi Halmahera (Foshal) menilai mundurnya Badische Anilin Soda Fabrik (BASF) dan Eramet sebenarnya tidak menyurutkan daya rusak pertambangan nikel yang menggempur Halmahera. Dengan kata lain, mereka tetap terus menggusur hutan, mengeruk tanah bahkan membongkar bukit-bukit, lalu mengangkut bijih nikel untuk disetor ke kawasan industri pengelolaan. Proses ekstraktivisme masih terus berlanjut.
- Adlun Fiqri, aktivis lingkungan dari Sagea, Halmahera Tengah menyambut gembira putusan dua perusahaan Eropa ini. Langkah ini, sangat tepat melihat begitu banyak pelanggaran HAM dan lingkungan di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Dua perusahaan raksasa Eropa, Eramet dan Badische Anilin Soda Fabrik (BASF), baru-baru ini memutuskan tak berinvestasi di proyek pemurnian nikel-kobalt di kawasan industri nikel Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Proyek Sonic Bay dengan investasi hampir senilai US$2.6 miliar ini meliputi pembangunan kilang yang memproduksi sekitar 67.000 metrik ton nikel dan 7.500 metrik ton kobalt per tahun. Jenis logam ini, merupakan bahan penting dalam baterai kendaraan listrik dari tambang PT Weda Bay Nickel.
Geoff Streeton, Group Chief Development Officer mengatakan, pada 2020, Eramet dan BASF menandatangani perjanjian menilai potensi pengembangan dan pembangunan kompleks pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda di Indonesia.
“Setelah evaluasi menyeluruh, termasuk diskusi tentang strategi pelaksanaan proyek, kedua mitra memutuskan tidak melanjutkan investasi ini,” tulis Streeton, dalam suratnya.
Begitu juga dilakukan perusahaan asal Prancis BASF. Dalam rilis yang dilansir Mongabay menyebut, BASF memutuskan tidak berinvestasi di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Indonesia.
Pada 24 Juni 2024, BASF mengumumkan perusahaan tidak akan mengevaluasi lebih lanjut potensi investasi di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda, Indonesia.
BASF menyebut pada 2020, BASF dan Eramet, grup pertambangan dan metalurgi global, menandatangani perjanjian untuk bersama-sama menilai potensi proyek semacam itu.
“Setelah evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda.”
Sejak proyek mulai, pasar nikel global berubah secara signifikan. Secara khusus, opsi pasokan telah berevolusi dan dengan itu ketersediaan nikel kelas baterai BASF.
BASF pun tidak lagi melihat perlu investasi begitu besar untuk memastikan pasokan logam tangguh untuk bisnis bahan baterainya,” kata Anup Kothari, Anggota Dewan Direktur Eksekutif BASF SE.
Perusahaan, kata Anup, akan menghentikan semua evaluasi dan negosiasi yang sedang berlangsung untuk proyek di Weda Bay.
Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel
Daniel Schönfelder, Presiden Divisi Katalis BASF juga mengatakan perusahaan akan menaati prosedur keberlanjutan untuk produksi dan pengembangan masa depan bisnis mereka.
“Pasokan bahan baku penting aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk produksi bahan aktif katoda prekursor, yang juga dapat berasal dari Indonesia, tetap penting untuk pengembangan masa depan bisnis bahan baterai kami,” kata Daniel.
Dia jelaskan, bisnis bahan baterai BASF mengoperasikan tim sumber khusus, berfokus pada logam dan manajemen prekursor serta perdagangan. Mereka telah mengembangkan jaringan mitra yang kuat untuk memastikan pasokan bahan baku penting untuk bisnis mereka.
BASF adalah pemasok global terkemuka untuk bahan aktif katoda (CAM) canggih untuk pasar baterai lithium-ion, menyediakan CAM berkinerja tinggi untuk produsen sel terbesar di dunia dan untuk platform OEM terkemuka.
“Kami melengkapi portofolio kami dengan sumber dan manajemen logam dasar, serta berbagai solusi daur ulang baterai, termasuk penawaran loop tertutup.”
BASF menghasilkan penjualan sebesar €68,9 miliar atau setara pada 2023. Saham BASF diperdagangkan di bursa efek di Frankfurt (BAS) dan sebagai American Depositary Receipts (BASFY) di Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia merespon. Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala dikutip dari laman CNBC Indonesia beralasan pasar mobil listrik di Eropa sedang mengalami penurunan termasuk di Amerika yang menerapkan pajak impor untuk mobil listrik 100% khusus pajak mobil impor dari Tiongkok.
“Akibat pasar lagi turun, mereka mengerem. Bukan batal, menunda sementara, menunda sementara sampai dengan kondisi pasar global sudah bagus. Karena begitu mereka investasi produksi, kalau market-nya tidak diserapkan, kasihan juga mereka,” katanya berdalih.
Baca juga: Orang Tobelo Dalam: Hutan Tergerus, Hidup dalam Stigma Buruk
Banyak sorotan persolan lingkungan dan HAM
Banyak sorotan terhadap pertambangan dan kawasan industri nikel di Indonesia, termasuk di Weda Bay, Halmahera Tengah, terkait dampak lingkungan dan sosial masyarakat dari berbagai laporan media maupun riset berbagai organisasi masyarakat sipil.
Climate Rights Internasional (CRI), misal, awal tahun lalu rilis laporan dan sebelumnya menyampaikan kepada Eramet dan BASF.
Surat CRI mendapat tanggapan Eramet oleh Virginie de Chassey, Chief Sustainability & External Affairs Officer Desember 2023.
“Eramet menempatkan tanggung jawab sosial, kemasyarakatan dan lingkungan di jantung pengembangannya dan berkomitmen menerapkan praktik-praktik terbaik industri dalam hal penghormatan terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati dan hak asasi manusia dalam semua operasi. Juga menciptakan kondisi untuk dialog terbuka dengan masyarakat sipil,” kata Virginie.
Saat ini di Indonesia, katanya, Eramet merupakan bagian dari operasi pertambangan PT Weda Bay Nickel (WBN) dengan kepemilikan saham tidak langsung minoritas (39%), bersama grup Tsingshan (51%) dan perusahaan negara, PT Aneka Tambang (Antam) (10%).
Sebagai pemegang saham minoritas di WBN, Eramet berkomitmen menerapkan standar tertinggi dalam praktik pertambangan WBN, seperti di semua lokasi pertambangannya. Komitmen WBN juga dengan mengikuti proses IRMA (Inisiatif untuk jaminan pertambangan bertanggung jawab).
Brad Adams, pendiri juga Direktur Eksekutif CRI mengatakan, sebelum merilis laporan CRI menulis surat kepada Eramet dan BASF. Mereka juga bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk menyampaikan temuan risetnya di Halmahera.
“Kami bertemu perwakilan kedua perusahaan beberapa kali untuk menyampaikan keprihatinan kami terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan yang telah di IWIP (PT Indonesia Weda Bay Industrial Park),” katanya. CRI mendesak, perusahaan-perusahaan itu menangani pelanggaran sebelum membuat keputusan investasi final.
“Kami juga meminta perusahaan-perusahaan itu untuk menggunakan energi terbarukan, bukan batubara captive untuk menyalakan fasilitas yang diusulkan karena dampak negatif pembakaran batu bara terhadap kesehatan manusia dan iklim,” kata Brad Adam dalam pesan email kepada Mongabay.
Baca juga: Hilirisasi Nikel di Halmahera, Bisa Perparah Krisis Iklim dan Susahkan Warga
Eramet, katanya, masih menjadi pemegang saham di konsesi pertambangan WBN, hingga mereka akan terus mendesak perusahaan menerapkan standar hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang kuat dalam operasi mereka di Indonesia.
“Kami juga akan terus menyerukan kepada semua perusahaan yang memasok nikel dari Indonesia untuk menggunakan pengaruhnya menekan tambang, pengolah mineral, dan/atau pemasok untuk mengubah praktik-praktik yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan hak asasi manusia,”
Survival International, organisasi hak asasi manusia berbasis di London yang mengkampanyekan hak-hak masyarakat adat.
Survival menyambut baik Eramet dan BASF menarik diri dari proyek Sonic Bay setelah mendapat tekanan dari Survival International dan ribuan pendukung mereka.
Sophie, peneliti Survival International mengatakan sesuai pernyataan Tesla baru-baru ini bahwa mereka sedang menjajaki perlunya zona terlarang untuk penambangan di tanah masyarakat adat yang belum tersentuh. Hal ini dengan mengirimkan pesan yang kuat kepada WBN, dan seluruh industri nikel Indonesia, bahwa pasar mobil listrik tak akan mentolerir genosida terhadap masyarakat adat karena terburu-buru menambang nikel.
“Sangat penting bagi semua perusahaan EV mengambil sikap dan menetapkan zona terlarang untuk melindungi wilayah Hongana Manyawa yang belum tersentuh dari kehancuran lebih lanjut. Jika hal itu tidak terjadi, mereka tidak akan bertahan,” katanya dalam pesan WhatsApp kepada Mongabay..
Adlun Fiqri, aktivis lingkungan dari Sagea, Halmahera Tengah menyambut gembira putusan dua perusahaan Eropa ini. Langkah ini, sangat tepat melihat begitu banyak pelanggaran HAM dan lingkungan di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
“Bagus kalau dorang (mereka) mempertimbangkan untuk tidak berinvestasi, karena mereka tidak boleh menutup mata terkait serangkaian pelanggaran HAM. Selama industri ini berproses dari awal banyak sekali pelanggaran HAM dan lingkungan serta prosedur yang tidak dilakukan,” katanya.
Koordinator Save Sagea ini bilang, pencemaran dan kerusakan lingkungan di Sagea pun belakangan ini dampak industri nikel ini.
Langkah BASF, kata Adlun harus menjadi contoh bagi investor lain yang berinvestasi di Halmahera dan Pulau Obi.
Dia berharap, aksi kedua perusahaan ini, menjadi evaluasi bagi Pemerintah Indonesia kalau industri nikel di Halmahera sangat berdampak bagi manusia dan lingkungan.
“Pemerintah saya harap evaluasi semua. Pemerintah harus jujur dan mengambil langkah tegas terhadap banyak kasus kerusakan lingkungan di Halmahera.”
Novenia Ambeua, perempuan adat Desa Minamin menyambut baik kabar berita ini. Tersingkirnya O Hongana Manyawa dari hutan, sebagai rumah merupakan kasus pelanggaran HAM perusahaan tambang dan negara.
“Perjuangan ini belum berakhir tapi setidaknya ini adalah berita yang besar,” kata perempuan adat keturunan Tobelo ini.
Novenia berharap, langkah perusahaan Prancis dan Jerman ini menjadi contoh bagi para investor lain agar jadi pertimbangan saat mau berinvestasi di Halmahera.
Masril Karim, peneliti Forum Studi Halmahera (Foshal) menilai mundurnya Badische Anilin Soda Fabrik (BASF) dan Eramet sebenarnya tidak menyurutkan daya rusak pertambangan nikel yang menggempur Halmahera.
“Dengan kata lain, mereka tetap terus menggusur hutan, mengeruk tanah bahkan membongkar bukit-bukit, lalu mengangkut bijih nikel untuk disetor ke kawasan industri pengelolaan. Proses ekstraktivisme masih terus berlanjut,” katanya.
Selain itu, mundurnya dua raksasa Eropa, sekaligus membuka borok tata kelola pertambangan mineral kritis di Halmahera Tengah.
“Ada problem serius terkait absennya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak pertambangan nikel, terus deforestasi serta masalah dampak lingkungan lainnya.”
Baca juga: Lahan Terakhir Warga Halmahera di Tengah Pusaran Industri Nikel [3]
******
Nasib Nelayan Halmahera Tengah Setelah Ada Industri Nikel [1]