Mongabay.co.id

Tambang Timah, Polusi Suara, dan Ancaman Kehidupan Mamalia Laut di Pulau Bangka

 

 

Aktivitas penambangan timah lepas pantai di Pulau Bangka tidak hanya menimbulkan persoalan lingkungan, tapi juga menghasilkan kebisingan atau polusi suara yang mungkin melebihi ambang batas. Dampaknya, dapat mengancam kehidupan mamalia laut.

Sekar Mira, peneliti Mamalia Laut PRO-BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional] mengatakan, adanya kegiatan pertambangan khususnya timah di Pulau Bangka, harus mendapat perhatian serius.

“Tidak hanya turbiditas [tingkat kekeruhan] tinggi karena substrat teraduk, tetapi juga gangguan suara yang berasal dari mesin penyedot pasir,” jelasnya, Minggu [23/6/2024].

Selain itu, kebisingan tambang timah sangat mungkin menyebabkan terdamparnya lumba-lumba dan mamalia laut sejenisnya, di Pulau Bangka.

“Beberapa jenis lumba-lumba terlebih river dolphin [seperti pesut] bisa hidup di air dengan turbiditas tinggi alias keruh. Namun, jenis lain [seperti lumba-lumba hidung botol] di laut, tentu saja lebih terbiasa dengan air jernih.”

Sementara, logam berat butuh waktu lama untuk terakumulasi yang memperlihatkan efeknya pada lumba-lumba.

“Kekeruhan air masuk dalam kerusakan minor, karenanya mungkin lebih pada kebisingan suara.”

Adanya kebisingan, dapat berakibat ringan hingga fatal bagi lumba-lumba atau sejenisnya yang mengandalkan komunikasi dengan sonar.

“Gangguan ringan dapat dimulai dengan sulitnya mendeteksi makanan. Lebih jauh juga akan memberikan gangguan untuk berkomunikasi dengan kelompoknya. Hal ini juga dapat mempengaruhi mereka untuk bertemu pasangannya, sehingga lebih jauh akan mengganggu aspek reproduksi,” kata Sekar Mira.

“Gangguan suara juga dapat menyebabkan kegagalan dalam orientasi atau navigasi, sehingga membuat mereka menyasar atau terdampar, dan berujung kematian.”

Baca: Lumba-lumba dan Masyarakat Pesisir Pulau Bangka

 

Aktivitas penambanagn timah di laut juga meningkatkan kekeruhan air yang dapat membahayakan biota laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tujuh lumba-lumba terdampar

Dalam beberapa tahun terakhir, lumba-lumba atau sejenisnya cukup sering terdampar di sekitar perairan Pulau Bangka. Terbaru, kurang dari satu bulan, tercatat tujuh lumba-lumba terdampar dalam waktu dan tempat berdekatan. Satu ditemukan mati, sementara enamnya berhasil dikembalikan ke laut.

“Ini sebuah peringatan,” ujar Sekar Mira saat mendapat informasi tersebut.

Kasus pertama 29 Mei 2024, yaitu satu individu lumba-lumba ditemukan terdampar mati di pantai Batu Perahu, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan.

Kasus kedua 12 Juni, tidak jauh dari lokasi pertama, tepatnya di sekitar pantai Nek Aji, Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Bangka Selatan. Tiga lumba-lumba terdampar sekaligus, beruntung bisa dikembalikan ke laut oleh warga setempat, bersama Alobi Foundation dan dinas pemadam kebakaran.

Kasus ketiga 14 Juni. Tiga individu lumba-lumba terdampar sekaligus, lokasinya di pantai Desa Rias, Kecamatan Toboali, Bangka Selatan, sekitar tujuh kilometer dari lokasi pertama dan kedua, yang langsung dikembalikan ke laut.

Santoso Budi W, Kepala Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut [PSPL] Serang mengatakan, untuk jenis yang terdampar tersebut belum bisa diidentifikasi karena hanya dilihat dari video masyarakat.

“Sementara kami sampaikan adalah lumba-lumba,” ujar Santoso, yang memiliki wilayah kerja sebagian Sumatera [Bangka Belitung, Lampung] dan sebagian di Jawa [Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta].

“Berdasarkan data kami, jenis lumba-lumba hidung botol [Tursiops aduncus] dan pesut atau Irrawady Dolphin [Orcaella brevirostries] cukup sering terdampar di wilayah Bangka,” lanjutnya.

 

Tim BKSDA bersama Alobi dan dokter hewan melakukan penanganan pesut mati di pesisir Toboali. Foto: Resor RKE XVII BKSDA Sumatera Selatan

 

Dalam petunjuk teknis penanganan mamalia laut terdampar oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP], prioritas pertama terhadap mamalia laut terdampar hidup adalah segera dilakukan pelepasliaran untuk menekan angka kematian.

“Hanya memang kelemahannya mungkin kita tidak bisa meneliti lebih lanjut penyebab terdampar. Namun apabila terdampar, biasanya kawanan lumba-lumba itu keluar dari jalur habitatnya. Ada juga beberapa kemungkinan karena lumba-lumba mengalami gangguan orientasi [arah], atau mengejar mangsa sampai keluar dari alur migrasi,” paparnya.

Menurut Endi R. Yusuf, Manajer PPS Alobi, kasus terdamparnya lumba-lumba beruntun ini punya hubungan erat dengan aktivitas penambangan timah laut.

“Seperti kejadian sebelumnya, tidak jauh dari lokasi terdamparnya lumba-lumba terdapat aktivitas penambangan timah. Menurut kami, penyebab utama kasus demi kasus ini diduga karena aktivitas penambangan timah,” katanya.

Baca: Pesut Ditemukan Mati, Ancaman Nyata Tambang Timah Terhadap Mamalia Laut di Bangka Belitung?

 

Puluhan ponton tambang timah beraktivitas di sekitar pesisir Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tingkat kebisingan

Berdasarkan kunjungan Mongabay Indonesia ke sejumlah titik penambangan timah lepas pantai di Pulau Bangka, mesin diesel ‘dompeng’ atau dongfeng dengan bahan bakar solar, umum digunakan para penambang timah ponton isap produksi [PIP]. Daya mesin bervariasi, biasanya 10-25 PK [Paardenkracht] -satuan ukuran dari Bahasa Belanda yang berarti ‘tenaga kuda’.

Mesin tersebut digunakan untuk menyedot pasir dari kedalaman laut [15-30 meter]. Pasir yang disedot, disalurkan ke sakan atau tempat pencucian timah. Aktivitas penyedotan ini menyebabkan turbiditas tinggi [tingkat kekeruhan] karena mengaduk-aduk subtrat, yang  menyebarkan limbah secara langsung ke laut.

Dalam sejumlah penelitian [Deswandi Jefrimananda, 2020; Fajrin, 2022; Praditya, 2021], sebuah mesin diesel dengan bahan bakar tunggal [solar misalnya], diperkirakan dapat menghasilkan kebisingan kisaran 80-95 dB [desibel]. Lebih lanjut, pada manusia, paparan kebisingan ini dapat berbahaya jika terjadi lebih dari delapan jam.

Dalam praktik penambangan timah, biasanya terdapat lima hingga puluhan PIP yang menyedot pasir timah bersamaan. Aktivitas ini biasanya berlangsung empat hingga delapan jam sehari, atau bahkan lebih.

Dengan kata lain, ada lima atau mungkin puluhan mesin diesel yang mengeluarkan suara keras bersamaan. Sebagai gambaran, ketika ingin mengobrol di tengah lokasi aktivitas penambangan timah, kita wajib mendekatkan mulut ke telinga lawan bicara dan mengeraskan suara, jika ingin terdengar jelas.

Dijelaskan dalam penelitian Stevens dkk. [2021], Man dkk. [2010] bahwa intensitas suara yang menyebabkan gangguan pendengaran parah [70-90 dB] atau sangat berat [>90 dB] pada manusia, juga dialami oleh tiga spesies cetacea [lumba-lumba hidung botol, lumba-lumba bergigi kasar, dan paus pilot sirip pendek].

“Kejadian terdampar merupakan dampak potensial gangguan pendengaran. Ketten [1995] menganalisis dampak potensial ledakan terhadap telinga cetacea dan memperkirakan dampak dari berbagai tingkat trauma akustik, termasuk gangguan pendengaran, zona mematikan campuran, dan kematian,” tulis Stevens dkk. [2021].

Baca: Kebisingan Laut: Isu Krusial Yang Terabaikan

 

Sejumlah ponton isap produksi melakukan penambanagan timah di sekitar perairan di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, saat ini mungkin ada ratusan ponton isap produksi yang menyedot timah di sekitar perairan Pulau Bangka. Baik itu yang memiliki izin ataupun tidak. Belum lagi sejumlah kapal isap produksi [KIP] yang diperkirakan menghasilkan 3,5 juta meter kubik material limbah setiap bulannya.

“Ini berpotensi menghasilkan polusi suara signifikan. Mengekspos logam berat yang berbahaya bagi manusia dan biota laut.”

Selain itu, dari 82.259,84 hektar terumbu karang yang pernah tercatat di Bangka Belitung, pada 2017 sekitar 64.514,99 hektar hilang.

“Penyebab utamanya adalah limbah atau sedimen dari aktivitas penambangan timah laut yang diperkirakan dapat tersebar 6-7 mil jauhnya,” jelas Hafidz.

Sebagai informasi, luas laut di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 6,5 juta hektar, sementara daratannya hanya 1,6 juta hektar.

Berdasarkan data Walhi Kepuluan Bangka Belitung, luas izin usaha pertambangan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 915.854,625 hektar. Luas ini terbagi di darat sekitar 349.653,574 hektar dan di laut 566.201,08 hektar.

“Penambangan timah punya daya rusak luar biasa terhadap ekosistem laut. Belum lagi polusi suara yang beriringan dengan ‘jerit’ nelayan, yang terus mengalami penurunan hasil tangkapan. Ini juga menjadi ancaman serius bagi kehidupan mamalia laut yang tinggal atau sedang melakukan migrasi melewati perairan Bangka Belitung,” papar Hafidz.

 

Referensi:

Deswandi Jefrimananda, M. H. (2020). Analisa Kebisingan dan Getaran pada Mesin Diesel Satu Silinder Empat Langkah dengan Bahan Bakar Green Diesel Berbasis Simulasi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Fajrin, L. O. N. (2022). Analisis Getaran dan kebisingan Mesin Diesel Type TV1 Akibat Pengaruh Purifikasi Bahan Bakar= Analysis Of The Vibration And Noise Of The TV1 Type Diesel Engine Due To The Effect Of fuel Purification. Universitas Hasanuddin.

Praditya, N. R. (2021). Analisis Getaran Dan Kebisingan Pada Mesin Diesel Satu Silinder Menggunakan Konverter Kit Dual Fuel LPG-Solar Berbasis ECU. Undergraduate Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. http://repository.its.ac.id/id/eprint/91540

Stevens, P. E., Hill, H. M., & Bruck, J. N. (2021). Cetacean acoustic welfare in wild and managed-care settings: gaps and opportunities. Animals, 11(11), 3312.

 

Pesut Ditemukan Mati, Ancaman Nyata Tambang Timah Terhadap Mamalia Laut di Bangka Belitung?

 

Exit mobile version