- Nelayan Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo menangkap gurita (Octopus cyanea) dengan sistem buka tutup guna memastikan cara-cara tak merusak juga bobot tangkapan lebih besar. Pelan-pelan nelayan mulai merasakan dampak positif dari pengelolaan perikanan berkelanjutan ini, hasil tangkapan pun menjanjikan bahkan masuk kualitas ekspor.
- Sistem buka tutup area lindung selama enam bulan. Lokasi penangkapan gurita itu di Pulau Torosiaje Besar dan Pulau Torosiaje Kecil. Di dua pulau itu, ada tiga titik yang menjadi tempat penangkapan gurita, Lana Bonda, Lana Darat dan Lana Mbok Meo. Wilayah itu pun jadi daerah perlindungan laut (DPL) gurita.
- Awal 2022, Pemerintah Desa Torosiaje membuat peraturan desa (perdes) yang mengatur penangkapan gurita terukur di Torosiaje. Salah satu isi peraturan itu adalah melarang menangkap gurita yang memiliki bobot dibawa dari 0,4 kilogram. Ada juga pelarangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, serta ritual adat sebelum pembukaan di area tangkap gurita.
- Kini, kondisi nelayan gurita di Desa Torosiaje sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan setelah penerapan sistem buka tutup di area tangkap gurita. Bahkan, pendapatan mereka dari hasil tangkapan gurita bisa meningkat dua kali lipat setelah ada penerapan sistem itu.
Nelayan Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo menangkap gurita (Octopus cyanea) dengan sistem buka tutup guna memastikan cara-cara tak merusak juga bobot tangkapan lebih besar. Pelan-pelan nelayan mulai merasakan dampak positif dari pengelolaan perikanan berkelanjutan ini, hasil tangkapan pun menjanjikan bahkan masuk kualitas ekspor.
Tujuan dari sistem itu untuk mempertahankan siklus hidup gurita yang singkat, memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang agar tangkapan bisa terukur. Alhasil, ketahanan ekonomi suku pengembara laut terbesar di dunia ini mengalami perubahan signifikan.
Terbukti, dari hasil penangkap 8 Mei, saat hari pertama mereka tangkap gurita, setelah penutupan selama enam bulan sejak 4 November 2023 hingga 7 Mei lalu.
“Saya berhasil tangkap yang dua kilogram. Sebelum ada sistem buka tutup, gurita yang kita tangkap hanya mencapai berat 0,3-0,9 kilogram saja,” kata Abdul Khalik Mappa, Ketua Kelompok Sipakullong, kelompok nelayan gurita.
Lokasi penangkapan gurita sistem buka tutup itu di Pulau Torosiaje Besar dan Pulau Torosiaje Kecil. Di dua pulau itu, ada tiga titik yang menjadi tempat penangkapan gurita, Lana Bonda, Lana Darat dan Lana Mbok Meo. Wilayah itu pun jadi daerah perlindungan laut (DPL) gurita.
Hanya perlu waktu 2-3 jam, mereka berhasil menangkap gurita mencapai 57 kilogram. Setiap nelayan berhasil menangkap lima sampai enam gurita, dengan bobot rata-rata lebih satu kilogram. Mereka tangkap hanya pakai pocong, katang dan panah, merupakan alat tangkap tradisional gurita.
Saat ini, katanya, rata-rata harga gurita Rp40.000 per kilogram. Kalau tangkap paling sedikit, lima dengan bobot satu kilogram, setiap nelayan bisa mendapatkan Rp200.000 per hari ketika semua gurita mereka jual.
Khalik bilang, nelayan gurita di desanya ini tidak setiap hari tangkap gurita. Cuaca buruk, kenaikan permukaan laut, dan dampak perubahan iklim menjadi salah satu pertimbangan bagi kelompok pengembara laut ini menangkap gurita. Ada juga yang mencari ikan di laut selain gurita.
Meski begitu, dia perkirakan pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) dari hasil tangkapan gurita di Desa Torosiaje berkisar antara Rp3-Rp4 juta. Angka ini lebih tinggi atau berada pada rentang upah minimum regional (UMR) di Gorontalo.
Berarti, katanya, sistem buka tutup di area tangkap gurita memberikan dampak ekonomi bagi suku yang kerap dijuluki sebagai penyelam handal ini.
Moji Tiok, nelayan Suku Bajo, Desa Torosiaje merasakan hal itu. Sebelum ada sistem buka tutup di areal tangkap gurita, katanya, mayoritas nelayan gurita berada dalam keterpurukan ekonomi cukup sulit. Kondisi itu pun dia alami sejak menjadi nelayan gurita pada 2013-2022.
“Saya menjadi nelayan gurita itu sejak 2013. Dulu, kami sangat sulit mencari gurita dengan bobot besar. Pendapatan kami hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-sehari saja,” kata katanya kepada Mongabay, 21 Mei lalu.
Dalam penelitian Wiwin Kobi dan Hendra yang rilis di Jambura Geo Education Journal Universitas Negeri Gorontalo (UNG) pada 2020 menemukan, dari 342 keluarga nelayan Torosiaje, hampir 60%, atau 204 keluarga, berada dalam kategori pendapatan rendah dan sedang.
Riset itu menyebut, pendapatan mereka perbulan hanya berkisar Rp1,680 juta–Rp2,240 juta, cukup jauh dari besaran UMP Gorontalo Rp2.989.350. Kisaran pendapatan itu hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa biaya tambahan, seperti jajanan anak-anak.
Studi itu pula menemukan, lebih dari sepertiga warga Desa Torosiaje adalah penduduk miskin sekali, sebanyak seperempat kategori miskin, hanya 40% tidak miskin.
Meskipun di desa sudah ada SD dan SMP, hampir seluruh anak Bajo tingkat pendidikan rendah, seperempat anak tidak sekolah. Kurang dari 1% pernah menamatkan jenjang perguruan tinggi.
Dari riset itu, potret ekonomi Suku Bajo di Desa Torosiaje itu karena mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan yang bisa menjadi tambahan penghasilan. Satu-satunya pekerjaan mereka adalah nelayan.
Ketika tangkapan laut menurun, langsung berdampak pada kondisi ekonomi keluarga Suku Bajo, dan membuat mereka berada di bawah garis kemiskinan.
Perbaikan ekonomi nelayan
Kini, kata Moji, kondisi nelayan gurita di Desa Torosiaje sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan setelah penerapan sistem buka tutup di area tangkap gurita. Bahkan, pendapatan mereka dari hasil tangkapan gurita bisa meningkat dua kali lipat setelah ada penerapan sistem itu.
Dia bilang, pengelolaan perikanan gurita secara berkelanjutan ini memberikan dampak positif dalam kehidupan nelayan yang bergantung 100% dari hasil laut. Meskipun pesisir dan laut merupakan wilayah yang paling rentan terkena berbagai dampak perubahan iklim, Moji yakin sistem penangkapan ini bisa jadi solusi nelayan gurita.
Sebenarnya, kata Moji, sistem buka tutup ini kedua kali dibuat. Kegiatan serupa pernah pada akhir 2022-awal 2023 dengan durasi penutupan tiga bulan. Saat itu, katanya, sebanyak 236,5 kilogram gurita ditangkap dalam waktu 2-3 jam saja.
Hasil tangkapan mereka saat itu, ada gurita ukuran 4,2 kilogram atau masuk kategori grade A. Ukuran itu merupakan bobot terbesar sepanjang dia berhasil tangkap sejak jadi nelayan gurita pada 2013.
Perasaan nelayan gurita saat itu bagai “ketiban durian runtuh.”
“Saya terkejut waktu itu saat mendapatkan gurita ukuran ukuran 4,2 kilogram. Ukuran itu paling besar yang kita dapat. Saat itu juga hanya sekitar 30 nelayan gurita yang turun, tapi berhasil menangkap 236,5 kilogram,” kata Moji.
Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), organisasi non pemerintah yang fokus isu lingkungan dan sumber daya alam di Gorontalo, mendampingi masyarakat nelayan ini sejak 2021.
Mereka beri penyadartahuan dan membangun ketahanan ekonomi pesisir melalui konsep konservasi perikanan berkelanjutan dengan menerapkan metode buka tutup di area tangkap gurita.
Torosiaje punya 250 nelayan gurita, tetapi tidak begitu berdampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Dulu, penangkapan gurita oleh nelayan belum menerapkan perangkapan terukur.
Pendeknya, mereka masih menangkap gurita dengan ukuran kecil, tanpa memberikan kesempatan gurita tumbuh dan berkembang.
Jalipati Tuheteru, Koordinator Lapangan Japesda di Torosiaje mengatakan, penyadartahuan kepada Suku Bajo di Torosiaje ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Setidaknya, mereka perlu sekitar satu tahun membangun sistem konservasi perikanan berkelanjutan itu agar bisa diterima suku yang juga dikenal sebagai Sea Gypsy ini.
Dia cerita, 2021 merupakan tahun awal mulai mendampingi desa di atas laut Teluk Tomini atau sekitar 600-an meter dari daratan itu. Berbagai kegiatan mereka buat, dari sosialisasi, diskusi langsung dengan nelayan, membuat kelompok nelayan gurita, maupun mendorong pemerintah desa membuat peraturan desa mengatur penangkapan gurita.
Apa yang mereka tawarkan sempat mendapatkan penolakan dari sejumlah nelayan. Nelayan mengira, sistem buka tutup di areal tangkap akan mengganggu atau membatasi menangkap gurita setiap hari.
Padahal, kata Jalipati, sistem itu bertujuan mempertahankan siklus hidup gurita yang singkat, memberikan kesempatan gurita tumbuh dan berkembang agar tangkapan bisa lebih baik.
Sistem buka tutup, katanya, juga untuk meningkatkan bobot gurita agar bisa masuk kategori ekspor.
Gurita merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Data statistik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut, produksi gurita Indonesia pada 2020 sebesar 55.913 ton dengan nilai Rp1,2 triliun. Angkat itu membuat Indonesia jadi salah satu negara produsen gurita terbesar dunia.
Tak hany itu, gurita Indonesia juga komoditi ekspor cukup bersaing dengan negara-negara lain. Data dari International Trade Centre (ITC) Trade Map menunjukkan, ekspor gurita pada 2020 mencapai 17.752 ton, nilai ekspor US$68,5 juta, setara Rp 979,4 miliar. Negara tujuan ekspor gurita terbesar adalah China, Italia, dan Amerika.
Sejumlah penelitian menyebut, wilayah pesisir dan laut merupakan satu wilayah paling rentan terkena berbagai dampak perubahan iklim, seperti kenaikan muka air laut, perubahan keasaman air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrem. Kondisi itu akan mengubah kondisi ekosistem perairan, hingga mempengaruhi keanekaragaman hayati.
Kondisi itu pada akhirnya punya peran menggerus sumber pendapatan nelayan Bajo yang seluruh hidup bergantung pada hasil laut. Ha itu sejalan dengan riset Satria Dewiyanti, Amar Ma’ruf, dan Lies Indriyani (2019) dari Universitas Halu Oleo (UHO) yang menyebut, Suku Bajo jadi satu kelompok paling terdampak perubahan iklim.
Dengan potensi ekonomi gurita dan risiko krisis iklim itu, membuat Jalipati bersama rekan mendorong pengelolaan perikanan gurita berkelanjutan di Torosiaje.
Jalipati yakin, konsep itu bisa membangun ketahanan ekonomi pesisir bagi suku yang jadikan laut sebagai tempat penghidupan, sekaligus tempat tinggal.
Aturan desa
Dia bilang, dengan pendekatan persuasif, usulan mereka diterima. Awal 2022, mereka berhasil mendorong Pemerintah Desa Torosiaje membuat peraturan desa (perdes) yang mengatur penangkapan gurita terukur di Torosiaje.
“Salah satu isi peraturan itu adalah melarang menangkap gurita yang memiliki bobot dibawa dari 0,4 kilogram. Ada juga pelarangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, serta ritual adat sebelum pembukaan di area tangkap gurita,” katanya 11 Mei lalu.
Jepesda juga mendorong pembuatan kelompok nelayan gurita bernama Kelompok Sipakullong yang diketuai Abdul Khalik Mappa. Selain mengakomodir nelayan gurita di Torosiaje, kelompok ini mempunyai tugas patroli selama ada penutupan di areal tangkap gurita.
Sejak 2022-2024 ini, katanya, sudah dua kali mereka mendorong sistem buka tutup di areal tangkap gurita. Hasilnya memuaskan, karena gurita memiliki bobot cukup besar. Bahkan, ada berukuran 4,2 kilogram atau masuk kategori grade A layak ekspor.
“Kami percaya, dengan pengelolaan perikanan gurita berkelanjutan, Suku Bajo di Torosiaje ini bisa bertahan dari berbagai ancaman krisis iklim saat ini sudah sangat nyata.”
Gusnar Lubis Ismail, dari Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) meyakini hal serupa. Dia bilang, pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah cara mengatasi berbagai ancaman krisis pangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, termasuk dari perubahan iklim.
Kalau konservasi perikanan itu tidak dilakukan, katanya, akan memberikan dampak negatif ke ekonomi masyarakat pesisir, seperti di Desa Torosiaje Gorontalo yang masyarakat hidup di laut Teluk Tomini. Satu contoh, akan terjadi penurunan penangkap perikanan secara terus menerus yang menggerus pendapatan mereka.
Dengan begitu, kata Gusnar, penerapan sistem buka tutup di areal tangkap gurita dengan membuat daerah perlindungan laut (DPL), seperti di Desa Torosiaje itu merupakan kebijakan sangat baik dalam membangun ketahanan ekonomi pesisir. Katanya, sistem itu juga dapat menjaga keberlanjutan gurita dengan hidup terbilang sangat singkat.
Selain itu, kata Gusnar, konservasi perikanan gurita itu juga akan memberikan perlindungan kepada ekosistem terumbu karang, termasuk padang lamun di dalam DPL gurita.
Jadi, katanya, sistem buka tutup di area tangkap gurita memberikan dampak ekonomi, sekaligus langkah perlindungan ekosistem laut.
“Dampak ekonomi jelas, sudah menguntungkan nelayan gurita. Karena usai sistem buka tutup diterapkan, hasil tangkapan meningkat hingga ukurannya. Terumbu karang, lamun dan ekosistem di DPL Gurita juga terlindungi,” kata Gusnar.
Dia berharap, sistem buka tutup di areal tangkap gurita ini bisa diterapkan terus menerus oleh masyarakat di Desa Torosiaje. Bahkan, katanya, makin baik kalau penerapan sistem itu bisa jadi kebiasaan bagi Suku Bajau ini guna membangun ketahanan ekonomi mereka.
Abdul Khalik Mappa dan Moji Tiok, orang Bajo yang menginspirasi James Cameron membuat film Blockbuster 2022, Avatar: The Way of Water mengamimi. Keduanya sepakat dan komitmen akan terus menerapkan sistem buka tutup di area tangkap gurita agar jadi sistem permanen mereka.
“Kami sudah merasakan dampak positifnya. Kami komitmen akan terus menerapkan sistem ini demi keberlanjutan gurita, ekonomi nelayan bisa terbantu.”
******
Cerita Nelayan Desa Sinaka Tangkap Gurita dengan Cangkang Kerang