- Tim kolaborasi menelusuri dan memantau sejumlah akun Facebook yang saling terkoneksi antar sesama anggota dalam akun-akun grup pecinta parrot sejak pertengahan 2023. Dalam artikel pertama memperlihatkan bagaimana sosial media, khusus Facebook, jadi ajang jual paruh bengkok ilegal.
- Aneka parrot ilegal dari Kendari dijual berkisar Rp1.2 juta-Rp7 juta perekor hingga ke luar Sulawesi.
- Perdagangan ilegal parrot dengan berbagai modus, antara lain kuat dugaan melalui ‘pencucian’ burung lewat penangkar yang mengantongi izin resmi BKSDA.
- Parrot ilegal dari Kendari diperdagangkan sampai Makassar, Sulawesi Selatan, hub Indonesia Timur untuk penyelundupan satwa dilindungi sampai ke luar negeri melalui Filipina.
Sejumlah akun Facebook yang saling terkoneksi antar sesama anggota dalam akun-akun grup pecinta parrot tim kolaborasi pantau sejak pertengahan 2023. Penelusuran digital dengan kata kunci ‘parrot’ kami lakukan selama sembilan bulan.
Sebagian dari mereka, yang diduga sebagai pelaku, aktif memposting aneka parrot dilindungi. Ada juga yang terang-terangan menjual hasil penetasan telur parrot di penangkaran, salah satu pemilik akun M Parrot, yang disebut-sebut memperjual belikan burung legal yang dibudidayakan di penangkaran resmi berbadan hukum.
Setidaknya kami coba berinteraksi dengan tiga orang pelaku jual beli paruh bengkok yang saling terkoneksi (berteman) di beberapa akun pecinta parrot. Mereka adalah WL, Putra B, dan M Parrot.
WL menawarkan kakatua putih jambul-orange dan kakatua jambul-kuning triton kepada kami masing-masing Rp7 juta perekor tanpa mengantongi ‘dokumen’ resmi. Dia mengaku dapat mengirim parrot ke Surabaya, Jawa Timur, kalau ada pesanan dari Pulau Jawa.
“Terima sby (Surabaya) brangnya (barangnya) dan untuk harga sdh (sudah) termasuk dngan (dengan) ongkir,” tulisnya dalam pesan singkat di Facebook. Dia tidak mau membahas hal lain saat ditanyakan tentang modus operandi penyelundupan parrot.
Sementara Putra B menawarkan sisa parrot yang ada, dua nuri kepala hitam dan satu kakatua skill atau kakatua yang pandai melafalkan beberapa kosa kata (tanpa menyebutkan detail jenis kakatua itu).
Sedang M Parrot diduga melegalkan atau ‘mencuci’ parrot ilegal melalui usaha penangkaran TSL resminya, menawarkan harga jenis-jenis paruh bengkok dilindungi, antara lain, nuri talaud Rp1,2 juta perekor, anakan kakatua bare eyed atau kakatua rawa (Cacatua sanguinea) Rp4 juta perekor, anakan nuri bayan Rp2 juta perekor.
Dalam percakapan terakhir 23 Maret lalu, dia jual parrot yang katanya bersertifikat legal (bukan miliknya): nuri kepala hitam Rp4 jutaan perekor, kakatua Rp12 juta-Rp16 juta perekor.
M Parrot juga memfasilitasi jual beli burung dilindungi. “(Sam)pean mau beli kaktua (kakatua) harga berapa???? Bajetnya biar saya carikan,” tulisnya dalam percakapan singkat via WhatsApp kepada kami.
Di percakapan singkat terakhir akhir Maret, M Parrot mengaku setok parrot legal dari penangkaran kosong, baik hasil budidaya ataupun habitat asli. Dia bersedia mencari setok parrot di koneksinya di penangkaran TSL lain di Kendari, yang katanya ‘resmi.’
Estimasi harganya, nuri kepala hitam kisaran Rp4 juta perekor dan kakatua Rp12 juta–Rp16 juta perekor, lengkap dengan ‘surat-suratnya.’ Bagi pemesan di Makassar, parrot-parrot itu akan dikirim melalui pesawat.
Belum ada pengawasan, ‘mainin’ aturan?
Pada pertengahan Oktober 2023, tim liputan mendatangi BKSDA Sultra untuk mengonfirmasi perihal siapa saja yang mendapatkan perizinan penangkaran TSL di Sulawesi Tenggara. Ternyata, hanya ada satu salinan dokumen perizinan yang terbit, yaitu, kepemilikan sertifikasi standar Pemerintah Indonesia untuk penangkaran jenis TSL atas nama Asriaddin, berlaku resmi sejak 14 Maret 2023.
Catatan alamat dan kepemilikan nomor telepon seluler tertera dalam salinan dokumen itu, sesuai alamat dan nomor telepon gawai pengelola akun M Parrot yang telah dikumpulkan tim.
Dokumen itu melampirkan lembar data sumber indukan parrot berupa, kakatua jambul putih (Cacatua sulphurea) dua ekor, kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana) dua ekor, dan nuri talaud (Eos histrio) empat ekor. Nuri kepala hitam (Lorius lory) (4), nuri Ternate (Lorius garrulous) (2), nuri Seram (Lorius domicella) (2), kakatua rawa (Cacatua sanguinea) (6), nuri pelangi dada kuning (Trichoglossus merigod) (2), dan nuri bayan (Eclectus roratus vosmaeri) (10).
BKSDA Sultra mengaku, pemegang izin penangkaran TSL bersangkutan belum pernah sekalipun melaporkan aktivitas penangkarannya.
Saat ditanyakan apakah penangkaran TSL bersangkutan bisa mengedarkan atau menjual burung dari hasil budidayanya, Erni Timang, Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Sultra, menjawab.
“Dia hanya bisa menangkarkan, belum bisa berdagang. Harus punya izin edar dulu.”
Ahmar, Kepala Seksi Konservasi Wilayah Kota Kendari–BKSDA Sultra, mengaku beberapa kali menyampaikan rencana datang untuk memantau aktivitas penangkaran burung itu.
Sayangnya, rencana tak pernah terealisasi, lantaran pemegang izin penangkaran TSL selalu beralasan sedang tak di rumah. Katanya, dia sibuk bekerja di Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Kendari.
Pemegang perizinan TSL itu seorang TNI-AL dengan status keanggotaan aktif bertugas di Lanal Kendari. Informasi itu dibenarkan Humas Lanal Kendari, Letda Laut (P) Fajar, saat dikonfirmasi melalui telepon, akhir Februari 2024.
Singky Soewadji, dari Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (Apecsi), kepada tim kolaborasi dalam wawancara online pertengahan Maret 2024 menilai, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mudah memberi izin penangkaran ke pihak-pihak yang tak berkompeten.
Dia duga ada kejanggalan dalam proses penerbitan izin penangkaran TSL kepada prajurit TNI aktif untuk mendapatkan rekomendasi kelayakan dari BKSDA Sultra.
“Yang ada di KLHK, Dirjen BKSDA harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak menunggu mesti ada pelanggaran hukum,” katanya.
“Kalau pejabat berwenang taat aturan, tidak akan terjadi perdagangan satwa liar ilegal.”
***
Rumah berdinding semen dengan pagar depan dari teralis besi terbuka lebar akhir Maret lalu. Rumah ini teridentifikasi sebagai kediaman Asriaddin, sesuai nama pemilik alamat satu-satunya pemegang sertifikasi standar dari Pemerintah Indonesia untuk penangkaran jenis tumbuhan dan satwa liar (TSL) di Sulawesi Tenggara. Pertengahan Maret masa perizinan penangkar itu genap satu tahun.
Menuju rumah itu, lorong selebar empat meter hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat. Ia berada di pemukiman warga di Kelurahan Kadia, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Satu mobil hitam tipe SUV terparkir di halaman bernaung kanopi konstruksi baja ringan beratapkan seng. Rumah gedongan ini memiliki sistem kamera pengawas berlapis di berbagai sudut, mulai dari depan pagar sampai teras rumah.
Dalam dokumen sertifikasi, Asriaddin, pemilik usaha penangkaran yang membudidayakan burung jenis paruh bengkok, wajib melaporkan realisasi penangkaran TSL kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) melalui Kepala BKSDA Sultra dengan tembusan kepada Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKH SG) paling lambat setiap tanggal 5 setiap triwulan.
Laporan itu antara lain berisi perubahan (mutasi) pada hasil penangkaran seperti kelahiran, perbanyakan, kematian, penjualan untuk setiap generasi. Juga membuat buku silsilah (studbook) dan membuat catatan kegiatan (logbook) serta memberikan penandaan pada induk dan anakan hasil penangkaran yang diketahui BKSDA Sultra berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemuda bertubuh tegap, rambut cepak–menempati satu kamar kecil di pojok depan halaman rumah ini–datang menyambut kami yang ingin melihat seperti apa proses budi daya satwa liar di penangkaran itu. Namun, katanya, orang yang dimaksud sedang ke luar kota.
Pemuda itu berusaha menelepon ke nomor gawai orang itu berkali-kali. Nomor yang dituju tidak tersambung. Sebelumnya, kami, juga beberapa kali berkomunikasi via WhatsApp ke pemegang izin TSL itu, menyampaikan rencana kedatangan kami tetapi mendapat penolakan tanpa memberi kepastian kesediaan.
Tak lama, pemuda itu bersedia menunjukkan lokasi penangkaran satwa, setelah berkonsultasi dengan istri pemilik izin penangkaran. Kami diberi izin melihat langsung isi penangkaran satwa di pekarangan belakang rumah.
Pemuda itu lalu bergegas menuntun kami berjalan kaki ke luar halaman, mengitari beton setinggi dua meter lebih yang memagari rumah. Sesampainya di bagian belakang rumah, kami dipersilakan masuk melewati pintu berwarna hitam terbuat dari rakitan lembar baja.
Melewati pintu itu, suara aneka jenis suara paruh bengkok terdengar menyambut siapa saja yang masuk di pekarangan belakang seukuran setengah lapangan olahraga bola volly itu.
Setelah pintu masuk, terdapat satu penangkaran besar terbuat dari rangkaian kawat, dengan pembagian bilik-bilik berukuran sedang berisi macam-macam paruh bengkok impor eksotik yang salah satu kaki melingkar cincin sebagai identitas pengenal.
Terpisah di belakang sangkar besar itu, hanya diperantarai lorong sempit selebar satu meter, berderet sangkar-sangkar kotak persegi berdampingan–menempel–memanjang pada dinding pagar beton.
Sangkar-sangar itu berisi berpasang-pasang nuri endemik Wallacea dan Papua yang dilindungi, dengan bulu beraneka warna. Ada juga nuri kepala hitam dan nuri dengan warna dengan sekujur tubuh berwarna hitam, teridentifikasi sebagai nuri hitam endemik Maluku.
Di sudut pekarangan, dua kakatua jambul kuning bertengger pada sangkar berbeda. Pengamatan kami, sebagian dari berbagai jenis paruh bengkok dalam negeri itu tidak ada yang memakai cincin di kaki. Cincin itu sebagai penanda yang lazim oleh penangkaran satwa untuk mengidentifikasi obyek itu dibudidayakan sesuai peraturan dan perundang-undangan berlaku.
“Dulu, banyak sekali (paruh bengkok) di dalam (penangkaran), tetapi sekarang sudah kurang,” kata pemuda itu.
Sebagian peranakan burung diperoleh dari Jawa. Ada juga dari Papua tetapi dia tidak tahu persis bagaimana burung-burung bisa sampai ke penangkaran lalu diperjualbelikan ke tangan lain, sampai ke “Jawa, Surabaya.”
Pada 25 Mei, tim kolaborasi investigasi mengkonfirmasi dugaan Asriaddin menjalankan aktivitas jual beli parrot melalui penangkaran resmi miliknya.
“Itu tidak benar, itu cuma dugaan,” jawab Asriaddin, saat dihubungi melalui telepon seluler.
Katanya, burung di penangkarannya kini masih berstatus F0 (Filial 0) atau indukan burung hasil tangkapan alam. Ada juga yang berstatus F1 atau peranakan dari sepasang F0, yang tidak mungkin bisa keluar dari penangkaran untuk jual bebas.
Dalam aturan perdagangan satwa dilindungi di Indonesia, hanya satwa keturunan F2 dan seterusnya yang boleh diperdagangkan secara bebas. Hal itu dibuktikan dengan sertifikat dan ring dari BKSDA.
“Dia hanya bisa menangkarkan, belum bisa berdagang. Harus punya izin edar dulu,” kata Erni.
Bagaimana soal wajib lapor aktivitas penangkaran? “Terus terang saya kurang paham kalau soal pelaporan itu. …Saya masih memiliki semua indukan, cuma kan kita tidak bisa menyuruh burung itu untuk bertelur,” jawab Asriaddin.
Lintas batas
Dalam penelusuran terpisah, tim kolaborasi mengungkap parrot endemik Wallacea dan Papua dikirim ke Makassar, hub Indonesia Timur untuk penyelundupan satwa dilindungi sampai ke luar negeri. Parrot ilegal dikirim ke Kepulauan Sangihe di Sulawesi Utara, lalu masuk ke General Santos, Filipina Selatan melalui jalur laut dengan perahu pompa, selanjutnya mengalir ke negara-negara lain.
Parrot terkumpul di General Santos bukan hanya dari Makassar. Kami mendapati sebagian besar dari Maluku Utara.
Aneka parrot dalam berbagai modus penyelundupan dan perdagangan ilegal dari Papua, Maluku, Sulawesi pada investigasi ini masuk dalam 87 jenis paruh bengkok dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Pada level internasional, nilai jual parrot sekelas kakatua jambul-kuning berstatus appendix I bisa menembus harga Rp125 juta.
Soewadji bilang, penjualan parrot di dalam negeri dengan cara-cara penyelundupan dilakukan mereka yang ‘ecek-ecek, dan persoalan perut.’ Pemain sebenarnya, dia duga mereka yang berdasi. (Selesai)
- Tim investigasi bersama Mongabay Indonesia, jaring.id, Tempo, Zonautara.com, Kalesang.id, dan Garda Animalia. Liputan ini berupaya mengungkap perdagangan ilegal satwa endemik Wallacea dan Papua dari dalam negeri sampai ke mancanegara. Liputan ini didukung dan didanai Garda Animalia lewat program Fellowship Bela Satwa Project 2023.
***