- Dusun Seriwe, Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, NTB, dulunya kampung miskin yang masuk dalam daerah tertinggal. Kini kampung ini semakin berkembang berkat budidaya rumput laut
- 95 persen keluarga di kampung ini adalah nelayan, dan sebagian besar nelayan budidaya rumput laut
- Harga rumput laut yang fluktuatif tidak membuat kapok nelayan karena mereka tetap untung. Hanya saja keuntungan mereka kecil karena terjerat sistem ijon
- Supiandi, peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis UNU NTB membuat sistem informasi rumput laut untuk menjamin rantai nilai dari nelayan hingga perusahaan bisa dikontrol kualitasnya.
Dulunya Seriwe adalah sebuah kampung nelayan terisolir di paling ujung selatan Kabupaten Lombok Timur, NTB. Akses jalan susah, listrik PLN tidak sampai ke tempat itu. Melewati jalan yang berlumpur di kala musim hujan, Seriwe seperti terisolir.
Tapi geliat kampung kecil itu dikenal berkat komoditi rumput lautnya. Bahkan kini, Seriwe satu-satunya kampung sentra rumput laut di Lombok yang semakin berkembang. Saat sentra rumput lainnya berkurang nelayan budidaya rumput laut, Seriwe justru semakin banyak nelayan budidaya rumput lautnya.
Pasangan suami istri H Syamsiah dan Hj Rijaah menjadi saksi mata tumbuh dan berkembangnya budidaya rumput laut di Seriwe. Pasangan suami istri ini berangkat haji pada tahun 1991. “Kami bisa berangkat haji berkat rumput laut,’’ kata Hj Rijaah (73) pada Mongabay Indonesia, Kamis (2/11).
Kini Seriwe telah menjadi desa, dimekarkan dari Desa Pemongkong pada tahun 2011. Akses jalan menuju Seriwe sudah diaspal hotmix. Rumah-rumah warga sudah berubah. Jika dulu kurun 1990-an masih rumah berdinding anyaman bambu, kini rumah bata. Beberapa rumah sudah bertingkat. Mobil pribadi hilir mudik menuju Seriwe.
Rumput laut di Seriwe mulai dibudidayakan sejak tahun 1987. Ada dua jenis rumput laut yang dibudidayakan di Seriwe yaitu Acantophora spicifera yang berwarna merah kecoklatan dan Eucheuma cottonii yang berwarna hijau.
Karena tidak banyak yang membudidayakan rumput laut saat itu, para nelayan rumput laut menjadi kelompok nelayan yang sejahtera. Ini dilihat dari mereka berangkat haji dari hasil jualan rumput laut. Semakin lama, semakin banyak yang budidaya rumput laut.
baca : Cerita Sukses Kosmetik Rumput Laut dan Pelestari Terumbu Karang dari Nusa Penida
Di Dusun Seriwe terdapat 200 KK dan Dusun Ujung Baru hasil pemekaran dusun Seriwe ini, terdapat 200 KK. Dari jumlah KK ini, 95 persen adalah nelayan, dan sebagian besar budidaya rumput laut.
“Sekali panen rumput laut bisa kami makan, lebih banyak dari hasil honor,’’ kata Idayatul Aeni, petani rumput laut generasi kedua. Ibunya, Aminah adalah generasi pertama nelayan budidaya rumput laut di Seriwe.
Suami Idayatul adalah honorer Pol PP. Sudah 12 tahun suaminya jadi honorer. Pekerjaan utama mereka sebenarnya petani rumput laut, berkat rumput laut mereka bisa membangun rumah dan membeli sepeda motor.
Keluarga Idayatul adalah keluarga petani rumput laut. Iparnya, Hepi Mashuri pun kini budidaya rumput laut. Orang tuanya, Aminah yang kini sudah memiliki 8 cucu masih aktif sebagai pembudidaya rumput laut. Walaupun sudah tidak kuat mengangkat yang berat, ibunya bisa membantu saat mengikat bibit rumput laut dan saat pemanenan.
Harga Turun Naik
Harga rumput laut di Seriwe turun naik. Seperti rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) harga jualnya Rp15 – Rp42 ribu/kg kering. Pada bulan November ini harganya stabil di angka Rp35 – Rp40 ribu/kg. Tapi di bulan Desember harganya bisa berubah. Untuk rumput laut Acantophora spicifera harganya berkisar Rp7 – Rp13 ribu/kg kering.
Dengan harga yang fluktuatif ini nelayan Seriwe mengaku tidak sampai rugi. Walaupun harga paling rendah, mereka bisa mendapatkan untung. Satu-satunya yang mereka khawatirkan adalah kerusakan tanaman rumput laut.
Jika dirata-ratakan dalam satu petak tempat budidaya, nelayan mendapatkan Rp5 juta untuk sekali panen. Satu keluarga nelayan bisa memiliki beberapa petak. Untuk modal awal, nelayan membeli bibit Acantophora spicifera seharga Rp250.000/kg, dan cottonii Rp350.000/kg. Bibit ini mereka beli dari nelayan di dusun lainnya yang memang lebih khusus membudidayakan untuk bibit.
Jika dihitung dengan biaya beli bahan bakar, konsumsi selama proses pemantauan budidaya, maka pengeluaran nelayan sekitar Rp2 juta. Mereka masih mendapatkan untung Rp3 juta.
“Saya dapat Rp5 juta sekali panen,’’ kata Sumiri yang memiliki satu petak longline.
baca juga : Wanita Pembudidaya Rumput Laut di Seram, Coba Tegar di Tengah Pusaran Perubahan Iklim
Menurutnya, harga jual rumput laut saat ini memang murah. Tapi dia tetap dapat untung. Selain itu, sejak Seriwe semakin dikenal, berbagai sarana prasarana dibangun oleh pemerintah. Akses jalan yang bagus menjadi salah satu yang membantu warga.
Dulu ketika akses jalan sulit, hasil jualan rumput laut akan banyak habis ketika berbelanja kebutuhan sehari-hari. Akses jalan yang sulit. Sekarang sejak jalan mulus sangat mudah membeli kebutuhan, bahkan banyak pedagang yang datang ke Seriwe.
“Kendala utama sebenarnya modal awal, kalau ada modal cepat untung, cepat dikembalikan,’’ katanya.
Perlu Kemandirian Nelayan
Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) NTB Supiandi mengatakan, pembudidaya rumput laut di Seriwe adalah salah satu kelompok nelayan yang cukup sejahtera.
Secara kasat mata terlihat perubahan dari rumah mereka, kepemilikan kendaraan, akses ke bank, dan pendidikan. Banyak anak-anak nelayan rumput laut ini berkuliah ke Mataram berkat rumput laut.
Tapi sebagian pembudidaya rumput laut terjerat sistem ijon. Mereka tidak bisa menjual rumput laut secara bebas karena modal diberikan oleh perorangan. Mereka harus menjual ke orang yang memberikan pinjaman, dengan harga yang cepat berubah.
“Tetap dapat untung, tapi dibandingkan dengan harga pasaran, jauh harga yang dibeli ke nelayan,’’ kata Supiandi, Selasa (7/11).
baca juga : Hilirisasi Rumput Laut untuk Kemakmuran Banyak Pihak
Supiandi dan tim pernah membawa investor yang akan mengolah rumput laut menjadi barang setengah jadi. Nelayan tidak perlu menjual basah atau kering, tapi dalam bentuk tepung. Nantinya ada tim yang akan memroses tepung itu. Selanjutnya investor itulah yang akan membeli tepung.
Ketika turun sosialisasi, para nelayan merasa harga yang ditawarkan dan pola bisnisnya lebih bagus. Tapi mereka mengaku tidak enak kepada orang yang memberikan pinjaman, termasuk juga memberikan mereka bantuan alat seperti tali untuk longline, memberikan bantuan mesin perahu.
“Ini tantangannya, ketika ingin meningkatkan nilai jual, tantangannya nelayan juga sudah merasa nyaman dengan kondisi saat ini,’’ katanya.
Supiandi dan tim mengembangkan sistem informasi rumput laut (SIRULA). Dalam sistem ini hulu hingga hilir rumput laut dalam satu alur yang bisa dikontrol. Saat ini rumput laut yang dari Lombok dikirim ke Jawa. Diolah menjadi pakan udang vaname dan produk lainnya. Setelah menjadi barang jadi dikirim kembali ke Lombok. Rantai inilah yang ingin diperpendek, agar pengolahan setengah jadi dilakukan di Lombok. Selain itu, sebagian rumput laut masih dalam bentuk kering diekspor ke Hongkong, China, dan Vietnam.
Melalui SIRULA itu, material rumput laut dari nelayan dijamin kualitasnya. Proses pengeringan dipantau, hingga proses pengirimannya. Selanjutnya di proses pengolahan menjadi tepung juga dipantau oleh perusahaan yang akan mengolahan jadi pakan.
baca juga : Padang Lamun, Si Rumput Laut Pencegah Erosi Pantai dan Penyimpan Karbon
Saat ini perusahaan yang akan mengolah bahan dasar rumput laut menjadi pakan udang vaname sudah mulai membangun pabrik di Pulau Lombok. Mereka berinvestasi di sini karena jaminan ketersediaan bahan baku dan mudah mengontrol kualitas bahan baku.
Dengan proses hilirisasi ini akan semakin banyak perputaran uang dari rumput laut di Lombok. Jika sebelumnya mengirim dalam bentuk kering, bahkan kadang menjual dalam kondisi basah, kini sudah mengirim dalam bentuk pakan hingga ke luar Lombok.
Agar nelayan rumput laut bisa lebih mandiri, tidak terjerat sistem ijon, Supiandi yang mendalami studi ekonomi maritim ini menyarankan agar pemerintah aktif mendampingi nelayan. Program kredit usaha rakyat (KUR) harus benar-benar menyasar nelayan yang membutuhkan.
Begitu juga bantuan peralatan, harus disesuaikan dengan kebutuhan nelayan. Ketika semua peralatan terpenuhi, modal dari KUR, nelayan memiliki nilai tawar ke pembeli. Tidak perlu khawatir hasil panen tidak terbeli karena sudah ada pengolahan menjadi tepung di Pulau Lombok.
“Kami masuk ke beberapa kelompok, tapi memang Seriwe itu menjadi PR kami. Sistem ijon sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan seperti menurun ke anak cucu,’’ katanya. (*)