- Namanya Wendy Marie Erb. Ahli primatologi, perilaku satwa, konservasi, dan bioakustik ini kini bergabung dengan Laboratorium Ornithologi di Cornell University. Dalam salah satu halaman disertasinya, Wendy mengucapkan terima kasih untuk ayahnya karena saat berumur 12 tahun telah memberikan kepercayaan lewat kalimat nasihat singkat, “lakukan apa yang kamu suka.”
- Wendy kecil suka menangkap ular dan kadal di hutan, serta memelihara aneka binatang di rumah. Doktor antropologi Stony Brook University ini juga suka membaca perihal satwa dari eksiklopedia. Dia membayangkan dirinya laksana Doktor Dolittle, seseorang yang bisa berbicara dan mengerti bahasa satwa.
- Hampir dua tahun, dia penelitian untuk disertasinya tentang perilaku persaingan antar pejantan dan lengkingan (loud calls) simakobu (Simias concolor). Primata unik yang juga masuk dalam lesser apes ini adalah satwa endemik di Pulau Mentawai, Sumatera Barat. Status satwa ini menurut IUCN sangat terancam (critically endangered).
- Setelah selesai penelitian dan menyelasaikan S3, Wendy ingin ke Siberut lagi, tetapi kesempatan belum ada. Kesempatan ke Indonesia, datang lagi tetapi bukan di Siberut, dia dapat kontrak penelitian orangutan di Tuanan, Kalimantan Tengah, selama tiga tahun.
Namanya Wendy Marie Erb. Ahli primatologi, perilaku satwa, konservasi, dan bioakustik ini kini bergabung dengan Laboratorium Ornithologi di Cornell University. Dalam salah satu halaman disertasinya, Wendy mengucapkan terima kasih untuk ayahnya karena saat berumur 12 tahun telah memberikan kepercayaan lewat kalimat nasihat singkat, “lakukan apa yang kamu suka.” Itulah yang dia tekuni, melakukan apa yang disenangi.
Wendy belia punya kebiasaan cukup aneh dibanding teman sebaya. Suka menangkap ular dan kadal di hutan, serta memelihara aneka binatang di rumah. Doktor antropologi Stony Brook University ini juga suka membaca perihal satwa dari eksiklopedia. Dia membayangkan dirinya laksana Doktor Dolittle, seseorang yang bisa berbicara dan mengerti bahasa satwa.
Hampir dua tahun, dia penelitian untuk disertasinya tentang perilaku persaingan antar pejantan dan lengkingan (loud calls) simakobu (Simias concolor). Primata unik yang juga masuk dalam lesser apes ini adalah satwa endemik di Pulau Mentawai, Sumatera Barat. Status satwa ini menurut IUCN sangat terancam (critically endangered).
Hasrat apa yang akhirnya membawa Wendy ke Indonesia, negeri yang diakuinya sebagai rumah keduanya itu?
Beberapa waktu lalu, Wendy bersama tim Cornell menggelar Symposium for Indonesia Malaysia BioAcoustics (Simba) di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta. Dalam kesempatan 10 November lalu itu, Nuswantoro, jurnalis dari Mongabay Indonesia, mewawancarai peneliti primata yang sudah menulis puluhan hasil penelitian di sejumlah jurnal bergengsi ini. Berikut petikannya.
Anda memilih Siberut sebagai lokasi penelitian pertama di Indonesia. Mengapa?
Waktu itu, saya ambil penelitian untuk S3. Sebetulnya, terus terang dari umur 12 tahun saya sudah mulai mimpi mau ke Indonesia. Ketika itu, saya jatuh cinta dengan orangutan. Saya mau meneliti orangutan.
Ketika saya masuk ke grad school, supervisor saya menyarankan jangan ambil penelitian orangutan. Mencari data agak sulit karena mereka soliter. Bisa perlu banyak waktu. Dia menyarankan ambil topik lain.
Saya sebelumnya tertarik dengan topik komunikasi. Saya sering menonton Doctor Dolittle sewaktu kecil. Doctor Dolittle itu bisa bicara dengan binatang. Saya selalu bilang saya juga ingin mengerti apa yang mereka bicarakan.
Karena mau meneliti komunikasi vokal akustik, pilihan jatuh kepada spesies yang punya suara loud call, yang bisa dideteksi dari jarak jauh. Lalu ada saran untuk meneliti Simias concolor. Saya tidak tahu sebelumnya spesies apa itu. Ternyata, itu spesies endemik di Mentawai. Akhirnya, saya ke Siberut. Selama 22 bulan tinggal di hutan di Siberut Utara untuk meneliti simakobu dan komunikasi vokal mereka.
Bagaimana dalam proses penelitian di Siberut, Mentawai? Apakah sesuai rencana?
Ternyata lebih banyak tantangan. Karena ada rencana membuat semacam playback, di mana kita bisa bawa speaker ke hutan dan mendengarkan suara untuk melihat reaksi mereka. Ternyata, speaker itu rusak setelah dipakai beberapa kali. So, tidak bisa lanjut dengan playback-nya, tetapi saya mulai merekam suara loud call mereka, yang hanya dikeluarkan oleh jantan dewasa.
Tidak ingat berapa ratus suara loud call yang saya dapat. Saya lihat beberapa artikel yang dipublikasi membahas tentang vokal komunikasi simakobu, terkait pola musiman, pola temporal harian, pola pengaruh dari cuaca dan suhu kepada perilaku suara mereka.
Selain itu juga dapat hasil penelitian terkait fitur-fitur akustik suara, yang bisa menginformasikan motivasi dan konteks mereka mengeluarkan bunyi tertentu. Kita juga bisa melihat perbedaan suara antar individu. Saya tahu dari telingaku sendiri. Di hutan, setiap pagi punya kesempatan mengamati bahkan sebelum mereka bangun.
Bagaimana suara masing-masing simakobu, apakah punya karakter berbeda dibandingkan yang lain?
Ya dan saya waktu itu bisa membedakan oh itu suara hawk, samson, goliath. Setiap satu individu punya ciri khas. Kita juga bisa membuktikan dengan analisis suara, jantan yang sudah berumur suara akan beda dibanding dengan yang masih muda.
Apakah dalam penelitian waktu itu sudah memakai peralatan passive acoustik monitoring (PAM)?
Perangkat PAM ini baru Cornell keluarkan pada 2016. Jadi, lumayan baru, yang autonomous recorder. Saya pakai peralatan lain waktu itu. Harus memakai baju yang banyak kantong. Diisi perekam, GPS, data book, kompas. Lalu memakai tas punggung berisi shotgun microphone yang panjang.
Saat simakobu mulai bersuara saya pencet tombol perekam, lalu mencatat jam berapa, apa konteksnya, siapa yang bersuara, apakah ada yang bersuara sebelum atau sesudahnya, posisi mereka, jaraknya. Banyak sekali data yang diambil pada saat merekam.
(Apa saja temuannya? Selama meneliti simakobu, beberapa temuan menarik didapatkan. Langur berekor pendek seperti ekor babi dengan hidung pesek ini punya perilaku khas. Long call biasa oleh si jantan antara lain untuk menandai wilayah, peringatan datang bahaya, juga mengambarkan kualitas pejantan).
(Long call bisa menembus rerimbunan pohon hingga jarak sekitar 500 meter. Long call biasa pagi hari, pukul 5.00-7.00, dan sore hari hingga malam. Saat sore hingga malam hari, pukul 17.00-19.00, biasa suara long call akan melemah. Inilah saat yang tepat bagi betina simakobu untuk memilih pasangan karena suara yang dikeluarkan lebih jujur, menggambarkan kekuatan calon pasangannya).
(Selama hampir dua tahun Wendy berada di Stasiun Penelitian Siberut Conservation Project/SCP), di Hutan Peleonan, Siberut Utara. Untuk sampai ke sana, dia harus pakai perahu dari kampung terluar sekitar dua jam, lanjut jalan kaki selama 30 menit. Selesai S3, Wendy ingin kembali ke Siberut tetapi tak ada kesempatan yang cocok. Lalu datang kesempatan kontrak penelitian orangutan di Tuanan, Kalimantan Tengah, selama tiga tahun).
Apa yang diteliti sewaktu di Kalimantan Tengah?
So, untuk penelitian orangutan itu fokusnya adalah nutrisi, kesehatan, dan diet. Apa hubungan antara kesehatan, nutrisi, dan kualitas suara.
Ketika di Kalimantan, saya lanjut dengan penelitian akustik orangutan. Saya ikut pejantan orangutan. Merekam semua suaranya. Metode sama dengan saat penelitian simakobu. Kali ini, ditambah mengumpulkan kencing dan kotoran mereka, dan bawa pulang ke Amerika untuk periksa beberapa hormon, protein, dan nutrisi. Dari sana, banyak sekali potensi berkembang ketika kita bisa gabungkan ilmu terkait kesehatan, ilmu terkait suara. Itu jadi dua mimpi yang saya bisa kejar dalam satu kesempatan.
Apa temuan yang didapat terkait suara orangutan?
Ada hasil penelitian yang baru terbit Juni lalu terkait dampak asap kebakaran hutan terhadap komunikasi orangutan. Waktu itu, pada 2013-2015, dan sebagian 2016. Ketika mendengarkan long call mereka saat kebakaran hutan besar, suara yang dikeluarkan beda. Tidak seperti sebelum kebakaran, seperti orang sakit batuk, atau flu.
Waktu itu, untuk mendapatkan data harus ikut orangutan selama 14 jam. Merekam suara dari jarak dekat itu butuh banyak tenaga. Dibandingkan dengan metode PAM kini lebih praktis. Kita hanya ikat alat perekam ke pohon, isi dengan baterai, tekan rekam, dan pulang. Lalu ambil data beberapa minggu kemudian.
Beberapa tahun lalu ada penelitian terkait dampak kebakaran hutan terhadap perilaku dan nutrisi, juga tentang kesehatan mereka. Yang baru, kami membuktikan, bahwa ada perbedaan vokal yang bisa dideteksi dan bisa diukur akibat kebakaran hutan itu. Saya pikir itu cukup menarik karena memang kebakaran hutan tetap akan jadi isu besar di Kalimantan.
Dari perbedaan suara orangutan itu, kita bisa mendeteksi perubahan kesehatan mereka. Jadi, saya sangat tertarik untuk kejar topik penelitian itu sebagai salah satu fokus penelitian kami di Kalimantan Tengah.
Saya harap tidak ada kebakaran hutan lagi. Ternyata, bulan kemarin ada lagi. Kami memang sedang merekam hutan di sana. Jadi, kemungkinan besar sudah ada data itu untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah kebakaran hutan di Kalimantan Tengah tahun ini.
******