- Persoalan sampah begitu membuat pusing pemerintah yang kotanya makin metropolitan. Pertumbuhan penduduk berarti produksi sampah meningkat pula.
- Beban biaya dan teknologi acap kali menemui jalan buntu. Keberlanjutan lingkungan selalu jadi aspek pertimbangan.
- Pemerintah Provinsi Jawa Barat menginiasi adanya tempat pembuangan akhir sampah berbasis teknologi canggih. Pemerintah Jakarta menunggu pabrik RDF sebagai bahan baku pengganti batubara.
- Ada banyak cara untuk mengurai masalah sampah tapi masih belum bisa unjuk gigi mengubah perilaku masyarakatnya.
Urusan sampah agaknya makin kesini makin ruwet saja. Terutama bagi kota-kota metropolitan yang populasi penduduknya padat. Kota Bandung mungkin bakal menjadi “pionir” kota paling repot mengurusi sampahnya.
Bandung menjadi salah satu dari dua kabupaten serta dua kota yang mengandalkan tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti sebagai muara dari sampah yang dihasilkan. Menurut hitung-hitungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, kuota sampah Kota Bandung paling besar se-Bandung Raya. Yaitu sekitar 70 persen dari daya tampung TPA Sarimukti 2.000 ton per hari. Sisanya dibagi oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi.
Pemerintah daerah dipaksa punya cara. Tak boleh kalah lambat berkejaran dengan produksi sampah yang terus menggunung. Sebab sampah berceceran pernah mencoreng wajah metropolitan Bandung, “Bandung Lautan Api” kerap dipelesetkan menjadi “Bandung Lautan Sampah”.
Mungkin untuk itu, Plt Walikota Bandung, Ema Sumarna sampai memfungsikan TPA darurat di Cicabe. Cara ini digunakan demi mereduksi peningkatan sampah yang terakumulasi hingga 700-1.000 ton tiap harinya.
Di satu sisi, penumpukan ini acap kali terjadi akibat adanya antrian di TPA Sarimukti. Sementara, tingginya produksi sampah menunjukan belum diimbangi pengelolaan ideal. Akibatnya, sampah membebani Pemkot Bandung karena butuh dana besar untuk mengelolanya. Dalam urusan biaya pengangkutan sampah ke TPA, penggunaan lahan, hingga pengolahan sampah, estimasi dananya mencapai Rp70 miliar-Rp80 miliar per tahun.
baca : Teror Sampah Plastik Dimata ‘Lord’ Luhut
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar, Meiki Paedong, memprediksi pengelolaan sampah Kota Bandung selain ongkos yang membengkak, bakal juga memicu bom waktu yang lebih besar selama skema pengurangan sampah masih memakai cara usang. Kumpul, angkut, buang.
“Ini diperparah dengan kebiasaan nyampah masyarakat yang enggan memilah sampah dari sumbernya,” kata Meiki beberapa waktu lalu.
Minimnya instrumen penunjang menurut Meiki, menyebabkan masalah sampah tak kunjung terurai. Itu dapat dilihat dari potensi 150-250 ton sampah yang tak terangkut ke TPA, berceceran di sungai dan sudut kota. Keberadaannya mencemari sedikitnya 13 sungai di Kota Bandung.
Meski berlabel “smart city”, sampah bukan hal yang mudah ditangani Kota Bandung. Keinginan membakar sampah menggunakan teknologi insenerator gagal. Biaya tinggi dan derasnya penolakan aktivis lingkungan menggagalkan rencana itu.
Cara nyeleneh bahkan sudah diujicobakan. Salah satunya, Pemkot Bandung menyemprot minyak sereh ke beberapa tempat pembuangan sementara (TPS) untuk mengusir bau saking terus membludak tumpukan sampah.
Sementara di Gedung Sate, Pemprov Jabar menginisiasi perluasan TPA Sarimukti seluas 6 hektar. Langkah ini diambil untuk menyiasati daya tampung sampah yang sudah over kapasitas. Setidaknya, perluasan tersebut mampu memberi ruang tampung sebanyak 2 juta ton sampah.
Solusi sampah akhirnya bermuara pada Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka milik Pemprov Jabar. Nantinya TPPAS mengusung konsep waste for energy dengan kapasitas tampung. Namun, sejauh ini belum ada pemenang lelang untuk pengelolaan proyek senilai Rp3,45 triliun tersebut.
Akan tetapi, Meiki meragukan TPPAS Legok Nangka efektif mereduksi sampah di Kawasan Bandung Raya. Satu alasannya yakni mahalnya ongkos buang. Pemprov Jabar sendiri sudah memberi bocoran tipping fee sebesar Rp380 ribu. Angka itu nyaris delapan kali lipat dari ongkos buang ke TPA Sarimukti sebar Rp50 ribu.
baca juga : Mengapa Penanganan Sampah Masih Karut Marut?
Pakai regulasi
Berjarak 123 kilometer dari Gedung Sate, penyelesaian sampah kota nyatanya mampu juga menelurkan gagasan baru. Pemkot Bogor, misalnya, mengorbitkan diri sebagai kota pertama di Indonesia sebagai plastic smart cities atau kota bebas plastik sejak 2021. Kini, mereka meluncurkan 42 unit ATM sampah agar warganya mau tertib. Mereka bakal mendapat uang tunai dari akumulasi sampah yang dikumpulkan.
Soal penanganan sampah, mereka menggandeng WWF Indonesia dalam beberapa program. Memperbanyak TPS3R dan pembentukan satuan tugas (satgas) naturalisasi Ciliwung menjadi “jurus” mereduksi sampah dari sumber.
Meski begitu, menurut anggota Satgas Naturalisasi Ciliwung, Suparno Jumar (51) pemilahan sampah dari sumber tetap paling signifikan. Maka, 42 anggota satgas disebar di 16 kelurahan di 15 kilometer aliran Sungai Ciliwung yang masuk wilayah Kota Bogor. Tugasnya, memberi pendampingan sekaligus edukasi menyoal sampah.
Semula, gerakan mereka berawal dari kerja ikhlas para relawan dan komunitas. Lalu mereka resmi diwadahi melalui surat keputusan walikota. Kata Suparno, gerakan ini kemudian makin bertenaga. Adapun keuntungan lain adalah diberi kewenangan karena mampu menggerakkan para lurah untuk mau bergerak bergandengan.
“Karena karakter masyarakat urban ini agak sulit untuk dikasih tahu sehingga butuh sedikit paksaan. Sebab bagi mereka kebersihan masih dianggap bukan hal utama,” ujar Suparno. Oleh karena itu, “Sejauh program ini kami masih melakukan sosialisasi karena memang membuat perilaku baru untuk mau pilah dan diet sampah itu butuh waktu yang tidak singkat.”
Agaknya, memang demikian adanya bahwa tingkat ketaatan sangat bergantung pada latar belakang masyarakatnya. Ini dibuktikan oleh PT Wasteforchange Alam Indonesia atau Waste4Change yang mendirikan Rumah Pemulihan Material (RPM) di Komplek Perumahan Telaga Kahuripan, Kabupaten Bogor.
Mereka mengelola sampah dari 900 rumah dengan total produksi sampah yang dihasilkan sekitar 1.5 ton per hari. Dalam pengelolaannya Waste4Change mengadopsi konsep pengelolaan TPS terpadu.
baca juga : KLHK Kepincut Penanganan Sampah Banyumas, dari TPST hingga TPA BLE
Kata Kepala Koordinator Waste4Change Telaga Huripan, model penanganan sampah yang diterapkan semacam model life service. Para nasabah membayar iuran penangan sampah sebesar Rp30-Rp50 ribu. Benefitnya adalah menerima lingkungan bersih dan sehat bebas sampah.
“Mungkin karena masyarakat disini sadar jika pengelolaan sampah itu tidak murah. Mereka sebenarnya peduli tetapi mungkin juga tidak ingin repot,” kata Ibrahim.
RPM punya 10 operator tiap hari memilah dan memisahkan sampah yang sebelumnya telah diangkut oleh 1 armada mobil. Jadwal pengambilan pun dibuat teratur. Sampah pagi diambil sore, sedangkan sampah malam diambil pagi.
Skema manajemen sampah ini terbilang berhasil membikin perubahan perilaku. Ibrahim bilang, mereka punya semacam sanksi sosial terhadap mereka yang tidak membayar retribusi. Lantaran jika operasional terganggu, maka sampah akan menumpuk. Dan itu akan menimbulkan masalah.
“Mungkin ini bisa diterapkan di masyarakat yang ekonominya sudah terbilang mapan. Dan mungkin kurang cocok bilang diaplikasikan di luar komplek perumahan,” imbuh Ibrahim.
Pola hidup juga mempengaruhi produksi sampah. Di Komplek Telaga Kahuripan, misalnya, cenderung lebih banyak sampah anorganik ketimbang organik. Untuk itu, sampah yang sudah terpilah berdasarkan jenisnya akan kembali didaur ulang. Waste4Change, kata Ibrahim, beruntung karena berjejaring dengan beberapa produsen. Sehingga sirkular ekonominya terbentuk.
“Menurut direktur kami, persoalan sampah hanya tentang teknologi dan pendanaan,” paparnya. Tetapi muaranya, “Tetap ada pada manajemen yang baik.”
baca juga : Baru 4 Tahun, Pemuda Ini Mampu Olah 60 Ton Sampah Organik. Begini Kisahnya
Perlu Rencana Matang
Barangkali tak ada tempat paling sibuk dalam urusan sampah kecuali Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi. Ada 1.200 truk dari Jakarta Raya yang mengangkut sampah 7.400 ton per hari. Dan di area seluas 110 hektar, timbunan sampah sudah mencapai lebih dari 40 meter. Setidaknya terdapat 5 zona di dalam kawasan tersebut
Humas TPST Bantar Gebang, Roy Sihombing, mengatakan pengembangan pengelolaan sampah sudah pada optimalisasi proses landfill mining atau sampah yang ditambang lalu diolah menjadi bahan bakar. Pihaknya juga sudah membeli lahan di sekitar Bantargebang seluas 7 hektar untuk menambah kapasitas TPST Bantargebang.
Saat ini, menunggu aktivasi pembangunan pabrik pengolah sampah menjadi produk setara batubara muda (refused derived fuel) RDF plant. Dengan mengelola 2.000 ton sampah per hari, RDF plant akan menghasilkan 750 ton RDF per hari.
“RDF itu akan diserap oleh pabrik semen. Dan saat ini kami punya cadangan bahan baku 10 tahun lalu,” kata Roy.
RDF merupakan energi yang diklaim lebih ramah lingkungan berasal dari residu sampah. RDF dapat digunakan sebagai salah satu bahan bakar alternatif yang bisa digunakan pada industri pembangkit listrik dan industri semen sebagai mitra offtaker-nya mereka.
Untuk melakukan pembangunan RDF plant itu, kata Roy, dinas lingkungan hidup melaksanakan proses pelelangan pada akhir tahun 2021. Proses itu menetapkan PT Adhi Karya Persero Tbk dan PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama KSO sebagai pemenang lelang. Namun, hingga saat ini belum juga diresmikan.
baca juga : Pertama di Indonesia, Sampah RDF Jadi Pengganti Batu Bara
Selain RDF, TPST Bantargebang juga mendapatkan hibah aset Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). PLTSa itu merupakan proyek yang dikembangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
PLTSa itu diklaim sebagai pilot project pengelolaan sampah secara termal yang didesain untuk beroperasi secara kontinu menggunakan bahan bakar sampah. PLTSa disebut mampu mengolah 100 ton sampah per hari dan menghasilkan listrik 700 KW. Rencananya akan dibuat di beberapa titik lokasi di Jakarta.
Agaknya, pengelolaan sampah masih menjadi persoalan besar. Kesadaran, inovasi, dan aksi nyata bersama diperlukan untuk merubah wajah kota-kota kita soal sampah. Sebab bagaimanapun wajah suatu kota dibentuk sebagai hasil interaksi berbagai unsur, termasuk kebiasaan masyarakat. Dengan demikian, manajemen pengelolaan sampah pada dasarnya harus bisa menjamin perubahan perilaku masyarakat.