- Sebuah studi yang dirilis baru-baru ini menemukan jejak-jejak polychlorinated biphenyls [PCBs] di Palung Atacama, sebuah palung laut dalam di lepas pantai Amerika Selatan.
- Kehadiran PCBs telah memakan banyak korban sejak lama, bahkan sebelum Deklarasi Stockholm tahun 1972 diterbitkan.
- Palung laut dalam seperti Atacama bertindak seperti corong yang mengumpulkan sisa-sisa tumbuhan dan binatang mati [disebut ilmuwan sebagai “karbon organik”] yang jatuh melalui air. Ada banyak kehidupan di palung laut dan mikroba kemudian mendegradasi karbon organik di lumpur dasar laut.
- PCBs adalah bahan kimia sintetis yang mengandung lebih dari 200 zat. PCBs pernah banyak digunakan pada peralatan, bahan bangunan, dan berbagai proses industri, termasuk coolant dan pelumas untuk transformator, kapasitor, dan peralatan listrik lain.
Sebuah studi yang dirilis baru-baru ini menemukan jejak-jejak polychlorinated biphenyls [PCBs] di Palung Atacama, sebuah palung laut dalam di lepas pantai Amerika Selatan. Kehadiran PCBs telah memakan banyak korban sejak lama, bahkan sebelum Deklarasi Stockholm tahun 1972 diterbitkan.
Di wilayah utara Kyushu, Jepang, tahun 1968, tercatat sebanyak 15.000 orang mengidap penyakit pigmentasi kulit, peningkatan angka kematian janin, dan tercatat 400.000 kasus kematian ternak unggas. Insiden ‘mengerikan’ itu dikenal dengan nama “Kanemi Yusho”.
Penamaan tersebut mengikuti nama perusahaan “Kanemi Company”. Perusahaan inilah yang memproduksi minyak beras, yang diketahui terkontaminasi senyawa PCBs. Sementara di Taiwan Tengah, akhir 1979 hingga 1980, tercatat sebanyak 1.843 kasus dengan gejala penyakit sama sebagaimana insiden yang melanda Jepang.
Kasus yang ditemukan di Taiwan Tengah itu terjadi pada kelompok umur 11 hingga 20 tahun. Selain itu, terjadi pula kasus hiperpigmentasi atau bercak gelap pada kulit bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkontaminasi PCBs. Pada 1960-an, terdapat bukti ilmiah bahwa bahan kimia pada PCBs merusak kehidupan laut, sehingga hampir seluruh dunia melarang penggunaannya pada pertengahan 1970-an.
Dikarenakan butuh beberapa dekade untuk terurai, PCBs dapat menyebar jauh dan mencapai tempat yang jauh dari awal penggunaannya, dan terus beredar melalui arus laut, angin, dan sungai. Studi yang diterbitkan di Nature Communications melaporkan bahwa PCBs ditemukan dalam sampel sedimen yang dikumpulkan dari lima lokasi di Palung Atacama selama ekspedisi 2018.
Kedalaman sampel ini berkisar antara 2.500 meter hingga 8.000 meter. Para peneliti menemukan PCBs pada semua 50 lapisan sedimen di seluruh lokasi.
Di Palung Atacama, arus laut membawa air dingin yang kaya nutrisi ke permukaan, yang berarti banyak plankton -organisme kecil di dasar rantai makanan di laut. Ketika plankton mati, sel mereka tenggelam ke dasar, membawa polutan seperti PCBs. Namun, PCBs tidak larut dengan baik di air dan lebih memilih untuk melekat pada jaringan yang kaya lemak dan bagian-bagian organisme hidup atau mati, seperti plankton.
Karena sedimen dasar laut mengandung banyak sisa-sisa tumbuhan dan binatang mati, itu berfungsi sebagai penampung penting untuk polutan seperti PCBs. Sekitar 60 persen PCBs yang dilepaskan selama abad ke-20 disimpan di sedimen samudera dalam.
Baca: Inilah Ikan yang Terekam Kamera pada Kedalaman 8.300 Meter di Bawah Laut
Palung laut dalam seperti Atacama bertindak seperti corong yang mengumpulkan sisa-sisa tumbuhan dan binatang mati [disebut ilmuwan sebagai “karbon organik”] yang jatuh melalui air. Ada banyak kehidupan di palung laut dan mikroba kemudian mendegradasi karbon organik di lumpur dasar laut.
Para peneliti tidak menemukan kadar PCBs yang sangat tinggi di dasar Palung Atacama, namun kadar tersebut lebih tinggi dari yang diharapkan untuk bawah laut yang begitu dalam.
“Sangat menarik untuk menemukan jejak aktivitas manusia di dasar palung laut yang sebagian besar orang mungkin menganggapnya jauh dan terisolasi dari masyarakat kita,” kata Ronnie Glud, penulis riset dan Direktur Danish Center for Hadal Research di University of Southern Denmark.
PCBs tidak mudah terurai di air dan cenderung terikat pada materi organik yang akhirnya tenggelam ke dasar laut. Hal ini memungkinkan toksin menumpuk di palung laut dalam seperti Palung Atacama.
Baca: Apakah Hiu Megalodon Masih Ada Saat Ini?
Penemuan PCBs di Palung Atacama menunjukkan sifat persisten bahan kimia ini di alam. Kenyataan bahwa mereka ditemukan di salah satu bagian paling terpencil dan terisolasi di planet ini menunjukkan bahwa tidak ada sudut Bumi yang benar-benar tidak terpengaruh oleh aktivitas manusia. Kesadaran ini memiliki potensi untuk memotivasi penelitian lebih lanjut tentang konsekuensi polusi lingkungan dan membuat mitigasi dampak aktivitas manusia pada Planet Bumi.
PCBs adalah bahan kimia sintetis yang mengandung lebih dari 200 zat. PCBs pernah banyak digunakan pada peralatan, bahan bangunan, dan berbagai proses industri, termasuk coolant dan pelumas untuk transformator, kapasitor, dan peralatan listrik lain.
Menurut U.S. Environmental Protection Agency [US EPA], PCBs tetap ada di lingkungan selama periode waktu lama dan dapat dengan mudah dibawa oleh udara dan air dalam jarak yang jauh. PCBs juga dapat menumpuk di tanaman dan ikan.
Racun ini menyebabkan risiko kesehatan serius dan dianggap sebagai zat yang mungkin karsinogenik bagi manusia. PCBs juga dapat berdampak pada kehidupan liar; satu studi menemukan bahwa zat-zat ini mempengaruhi reproduksi dan sistem kekebalan tubuh dengan cara yang mengancam kelangsungan hidup jangka panjang, dari lebih setengah populasi paus pembunuh di seluruh dunia.
Meskipun beberapa PCBs dapat terurai, proses ini tergantung pada lingkungan mereka berada dan susunan kimia PCBs yang spesifik. Para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian ini memiliki rencana untuk terus menganalisis konsentrasi polutan di laut. Salah satu peneliti akan melakukan perjalanan ke Jepang, memasang pengambil sampel di Palung Jepang, dengan harapan dapat mengungkap apakah situasi serupa juga terjadi di sana.
Penelitian di masa depan juga akan fokus pada penyerapan polutan pada hewan yang hidup di dasar laut dan bagaimana komunitas mikroba di palung laut dalam dapat berkontribusi terhadap degradasi beberapa polutan.
Baca juga: Dan Akhirnya, Sampah Buatan Manusia Ditemukan di Mars
Kekhawatiran
Kehadiran PCB di Palung Atacama merupakan kekhawatiran besar, karena menunjukkan dampak jangka panjang aktivitas manusia pada wilayah terpencil dan terisolasi di planet ini. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting sebagai pengingat untuk memahami dan mengatasi konsekuensi polusi lingkungan, serta menekankan perlunya memeriksa efek polutan ini pada kehidupan laut di palung laut dalam.
Dampak potensial pada hewan yang hidup di dasar laut dan peran mereka dalam jaring makanan laut dalam, menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan.
Memahami efek ini dapat membantu memberikan informasi bagi upaya mengurangi dampak polusi pada ekosistem laut dan melindungi keanekaragaman hayati di beberapa wilayah Bumi yang paling jarang dijamah manusia.
Deklarasi Stockholm telah menetapkan dua global deadlines pada tahapan pemusnahan [phasing-out] PCBs. Pertama, pada akhir 2025, semua transformator dan kapasitor listrik yang beroperasi tidak boleh mengandung PCBs sama dengan atau lebih besar dari [≥] 50 ppm.
Kedua, pada akhir 2028, semua bahan, limbah, transformator, dan kapasitor yang dengan kandungan PCBs ≥50 ppm sudah harus dimusnahkan atau didekontaminasi.
Tahun 2008, Indonesia telah memiliki Rencana Implementasi Nasional untuk mengeliminasi dan mengurangi penggunaan Bahan Pencemar Organik, termasuk senyawa PCBs. Pada 2009, Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Stockholm.
Tujuan konvensi ini adalah untuk melindungi manusia dan lingkungan dari dampak negatif senyawa-senyawa pencemar organik yang persisten melalui beberapa mekanisme, di antaranya pelarangan dan pemusnahan. [Berbagai sumber]