- Investigasi oleh Mongabay, The Gecko Project, dan BBC News banyak warga desa di Indonesia yang menyerahkan lahan mereka kepada perusahaan perkebunan sawit dengan imbalan keuntungan, namun pada akhirnya hanya mendapat janji kosong.
- Beberapa penduduk desa tidak mendapatkan apa-apa, dan yang lainnya terlilit hutang, sementara perusahaan beroperasi dengan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum Indonesia.
- Regulasi di Indonesia mengharuskan pihak perusahaan sawit untuk mengembangkan plasma yang bertujuan untuk memberi kesejahteraan bagi warga sekitar kebun.
- Peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan investigasi kepada perusahaan adalah langkah penting yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut. Pembeli dapat menjadi katalis yang mendorong hubungan antara perusahaan dan petani plasma diperbaiki.
Industri sawit di Indonesia berkembang pesat sejak dasawarsa 1980-an, saat itu pemerintah mengembangkan skema yang bertujuan untuk memastikan masyarakat mendapat manfaat. Pembagian kebermanfaatan ini diatur melalui sistem ‘plasma’ seperti disebutkan dalam peraturan perkebunan, dimana perusahaan akan membagikan seperlima (20 persen) dari wilayah konsesi mereka untuk dikelola bersama masyarakat lokal.
Namun, berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Mongabay, BBC, dan The Gecko Project, kami menjumpai banyak perusahaan yang gagal menyediakan plasma kepada masyarakat. Di satu provinsi saja, kami perkirakan, warga lokal bisa kehilangan lebih dari USD90 juta potensi sawit pertahunnya.
Kami juga menemukan ketika perusahaan menyediakan plasma, warga desa disekitarnya tidak pernah menerima keuntungan yang dijanjikan, alih-alih malah terjebak dalam hutang yang sangat besar. Satu atau lebih dekade berlalu setelah masyarakat menyerahkan tanah mereka, namun masyarakat yang kami kunjungi masih tetap membayar pinjaman senilai puluhan juta rupiah.
Investigasi kami lalu mengungkap adanya masalah sistemik: Banyak perusahaan sawit yang gagal menyediakan plasma, atau berbagi keuntungan dari plasma, bagi ribuan orang di seluruh penjuru Indonesia.
Artikel ini bermaksud hendak mencari rumusan yang dapat mengatasi masalah ini. Dalam menyusunnya kami berdiskusi dengan para aktivis, peneliti, kelompok masyarakat, dan berdasarkan pada analisis kami sendiri.
Baca juga: Buku Potret Industri Sawit, Menanti Keseriusan Pemerintah Benahi Tata Kelola
Tingkatkan Transparansi di Area Plasma
Kami memulainya dengan mencari tahu luas areal plasma yang disediakan oleh perusahaan sawit di masing-masing perkebunan mereka. Data ini sangat penting untuk mengetahui lebih jauh apakah perusahaan mematuhi hukum.
Perlu diketahui, -meski kami berulang kali coba menjumpai, namun dalam penelitian ini kami banyak menemui jalan buntu. Pasalnya, karena sebagian lembaga pemerintah tidak mengumpulkan dan memeriksa data ini secara sistematis, ditambah pula karena banyak perusahaan tidak pernah mempublikasikannya.
Meski demikian, juga dijumpai perusahaan sawit yang mempublikasikan area plasma di bank tanah (land bank) perkebunan mereka, dengan seringkali mengklaim mereka menyediakan total 20 persen atau lebih. Namun tidak satupun dari laporan tahunan yang kami selidiki menguraikan angka-angka ini hingga ke tingkat perkebunan, sehingga sulit untuk memverifikasi klaim tersebut.
Dalam penyelidikan, kami meminta 18 produsen sawit terbesar di Indonesia untuk memberi perincian tentang plasma yang mereka berikan, tetapi hanya dua yang membagikan datanya. Semua yang lain menolak, -dengan beragam alasan termasuk tidak bisa memberikan informasi tersebut karena dikategorikan sebagai rahasia, “sensitif” atau tidak mungkin dibagikan karena tanpa persetujuan petani plasma.
Selanjutnya, untuk menentukan apakah perusahaan perkebunan akan mematuhi undang-undang dengan melalui tiga titik data: tanggal perkebunan memperoleh izin usaha perkebunan (IUP), luas plasma yang telah ditanam, dan tahun penanaman perkebunan plasma tersebut.
Poin data pertama menunjukkan apakah perusahaan perkebunan secara hukum diwajibkan untuk mengembangkan plasma. Yang kedua dan ketiga menunjukkan apakah perusahaan telah melakukan penanaman plasma untuk masyarakat bersamaan dengan pembukaan kebun sendiri, sebagaimana yang disyaratkan dalam peraturan.
Jika data ini tersedia, maka pemerintah, buyer, dan masyarakat lokal masih perlu memeriksa dan memastikan bahwa data tersebut mencerminkan fakta. Dengan menerbitkannya secara terbuka akan menjadi langkah pertama yang penting dalam menuju akuntabilitas.
Jika produsen minyak sawit memilih untuk tidak mengungkapkan informasi ini, maka piliihan tekanan dari pembeli komoditas melalui Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dapat menjadi katalis untuk mendorong perusahaan untuk meningkatkan transparansi aktivitas mereka.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia dapat meminta perusahaan untuk mempublikasikan informasi ini. Memastikan pengungkapan data dasar terkait plasma akan menjadi langkah menuju kepatuhan melaksanakan operasi di wilayah konsesi perkebunan sawit.
Memastikan Masyarakat dapat Mengakses Data Pendapatan dan Biaya Plasma
Sejak pertengahan tahun 2000-an, plasma dilakukan lewat model “kemitraan”. Dimana perusahaan mengelola seluruh perkebunan dan membayar keuntungan kepada masyarakat dari bagian tanah mereka.
Industri mengklaim pengaturan ini akan menghasilkan keuntungan besar dan teratur bagi masyarakat. Tetapi, dalam 10 skema kemitraan yang kami selidiki, mereka menyebut bahwa pendapatan mereka, -rata-rata, bahkan enam kali lebih rendah daripada petani sawit yang menggarap lahan mereka sendiri.
Terlepas dari klaim perusahaan bahwa mereka bertindak secara transparan, banyak warga desa yang kami ajak diskusi tidak tahu mengapa keuntungan mereka sangat rendah. Umumnya, warga tidak memiliki akses ke informasi dasar, yaitu berapa banyak jumlah biaya yang dipotong oleh perusahaan, hingga berapa besar jumlah hutang mereka.
Hal ini bahkan terjadi di antara anggota RSPO, yang mensyaratkan agar perusahaan bertindak secara adil dan transparan kepada petani plasma.
Para ahli investasi yang kami jumpai menyebutkan dengan memberi masyarakat akses ke data tentang pendapatan dan biaya skema kemitraan akan dapat mencegah perusahaan memanipulasi keuangan perkebunan, demi keuntungan mereka.
Sebuah hasil penelitian dari lembaga pemerintah, masyarakat seringkali dirugikan karena perusahaan memiliki keahlian hukum dan pengetahuan teknis pengelolaan perkebunan yang lebih besar ketimbang masyarakat.
Pakar yang kami ajak bicara mengatakan selain akses ke data, masyarakat masih memerlukan pelatihan tentang cara menggunakan data tersebut secara efektif. Seperti yang disebutkan oleh Peter Batt, seorang konsultan agribisnis di FAO.
“Salah satu hal penting yang ingin saya [lihat] adalah LSM independen dapat memberikan pelatihan jenis-jenis pertanyaan yang tepat untuk diajukan kepada perusahaan,” sebutnya.
“Jika Anda tidak memberdayakan petani kecil sebagai mitra aktif dalam skema ini, Anda memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengeksploitasi mereka.”
Pihak ketiga, -yaitu auditor independen, dapat menjadi terobosan, seperti disampaikan Darryl Vhugen, seorang pengacara dan konsultan investasi.
“Jika mereka [perusahaan] berkata, ‘Lihat, kami telah melakukan hal ini dengan secara benar,’ maka mari kita bawa auditor independen dan melihat pembukuannya. Dan jika mereka [auditor] mengatakan hal yang sebenarnya, maka itu luar biasa.”
Penerbitan Kontrak Antara Perusahaan dan Masyarakat
Investigasi kami menunjukkan bahwa kontrak yang mengatur ketentuan skema kemitraan seringkali tidak mungkin diperoleh, bahkan bagi mitra plasma terdaftar. Tak satu pun dari 18 perusahaan yang kami hubungi membagikan contoh kontrak ini, bahkan bentuknya yang paling standar. Kami hanya memperoleh salinan kontrak dalam tiga skema kemitraan yang kami selidiki.
Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, berpendapat bahwa kontrak kemitraan harus tersedia untuk semua anggota skema plasma. Seorang peneliti lain, Piers Gillespie, menyebut kontrak ‘harus menjadi dokumen publik yang tersedia secara luas agar menjadi alat pengawasan perkebunan yang efektif.’
Berbagai pedoman tentang praktik terbaik dalam investasi, adalah yang sesuai dengan Prinsip-Prinsip PBB perihal kontrak yang bertanggungjawab (U.N. Principles for Responsible Contracts). Syarat-syarat dalam kontrak sebagai pedoman yang akan meningkatkan akuntabilitas, sekaligus mengurangi risiko konflik masyarakat dan perusahaan. Menerbitkan kontrak pun dapat membantu komunitas memastikan perusahaan memenuhi kesepakatan yang mereka tandatangani.
Dalam sebuah kasus di Kalimantan Barat yang kami selidiki, lima warga desa berhasil menggugat sebuah perusahaan sawit, dengan alasan perusahaan tersebut lalai memenuhi ketentuan kontrak mereka.
Baca juga: Benahi Tata Kelola Sawit dari Hulu ke Hilir
Dalam kasus berbeda, kontrak itu sendiri mungkin ilegal, karena melanggar undang-undang tahun 2008 yang melarang bisnis besar untuk ‘mengendalikan’ mitra yang lebih kecil.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dalam empat tahun terakhir ini telah mendorong perusahaan untuk mereformasi praktik ini. Dengan membuat kontrak publik akan memungkinkan beragam pelanggaran untuk segera diidentifikasi dan ditangani.
“Transparansi kontrak membuat pekerjaan pemerintah jauh lebih mudah,” sebut seorang pakar investasi menyebutkan kepada kami. “Regulator perlu mengetahui kontrak, lembaga hak asasi manusia perlu mengetahui apakah warga negara berisiko dieksploitasi, dan otoritas korupsi dapat menggunakan kontrak untuk mengidentifikasi kasus yang ada.”
Penyelidikan Skema Plasma yang Eksploitatif
KPPU telah menyelidiki masalah plasma sejak 2019 yang salah kelola, dengan cara memeriksa kasus-kasus di mana perusahaan diduga gagal menyediakan skema plasma yang diwajibkan secara hukum atau skema kemitraaan. KPPU selanjutnya mengeluarkan peringatan tertulis yang mendorong perusahaan untuk memperbaiki masalah.
Jika sebuah perusahaan tidak menanggapi peringatan tersebut dan dewan komisioner KPPU memutuskan bahwa perusahaan tersebut melanggar hukum, KPPU dapat mengeluarkan denda hingga Rp10 miliar, atau memerintahkan lembaga pemerintah lainnya untuk mencabut izinnya.
Namun kepada kami, KPPU menyebutkan bahwa mereka kekurangan sumberdaya untuk menginvestigasi masalah plasma ini secara komprehensif. Guntur Saragih, Wakil Ketua KPPU mengatakan perlu menggandakan anggaran saat ini untuk melakukannya.
Temuan investigasi kami menunjukkan bahwa masalah antara perusahaan perkebunan dengan plasma banyak tersebar luas. Dengan lebih banyak sumberdaya untuk menyelidiki tuduhan yang muncul, KPPU dapat memecahkan masalah ini.
Pendekatan KPPU dalam menyelidiki masalah plasma ini juga menawarkan model bagi pembeli minyak sawit yang ingin menangani masalah plasma. Pendokumentasian kasus plasma dan penerbitan laporan rinci tentang temuan penyelidikan KPPU ini akan dapat digunakan oleh pembeli produk sawit untuk menganalisis bukti-bukti jika ditemukan skema eksploitatif sejalan dengan hukum.
Dalam sebuah kasus di bulan Agustus 2021, lima orang dari Desa Teluk Bakung, Kalimantan Barat, berhasil menang di Mahkamah Agung Indonesia. Dalam tuntutannya, mereka menyatakan bahwa perusahaan sawit, PT Palmdale Agrosia Lestari Makmur, telah lalai dalam kontraknya, karena tidak membayar keuntungan setelah para petani itu menyerahkan lahan mereka untuk plasma.
Pengadilan pun lalu memutuskan kontrak tersebut batal demi hukum.
“Sampai saat itu, perusahaan selalu menang. Namun saat ini, warga desa kami yang menang,” ungkap Laurensius Asia, warga Teluk Bakung, yang bukan salah satu penggugat.
Skala atas potensi masalah dengan plasma sangat besar. Kegagalan perusahaan untuk memenuhi kewajiban hukum mereka, -atau untuk berbagi keuntungan dari plasma, dapat mempengaruhi ribuan keluarga Indonesia.
Namun bagi banyak orang, akses ke sistem hukum tetap berada di luar jangkauan. Terlepas dari kemenangan hukum lima penduduk desa di Teluk Bakung, maka Laurensius bersama dengan lebih dari 900 orang lainnya, tetap terikat dalam kemitraan dengan Palmdale.
“Kami tidak mengerti hukum, dan kami tidak punya uang,” katanya. “Tidak mungkin kami membawa perusahaan ke pengadilan.”
Dengan pendanaan dan dukungan sistem hukum yang memadai, akan lebih banyak komunitas yang dapat menggugat skema eksploitatif melalui pengadilan.
Tekanan Pasar untuk Mengatasi Masalah Plasma
Pasar telah memainkan peran kunci dalam mengubah cara produksi minyak sawit. Hampir setiap produsen minyak sawit besar telah berkomitmen pada kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, dan Nol Eksploitasi (NDPE). Ini amat berperan dalam mengurangi secara signifikan deforestasi akibat perluasan perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir.
Namun masalah sosial tetap harus jadi permasalahan mendasar yang perlu diselesaikan. Penyelesaian sengketa antara perusahaan dengan plasma harus menjadi kuncinya. Investigasi kami menemukan bukti bahwa ada bukti-bukti bahwa pembeli utama minyak sawit mendorong produsen untuk mengatasi masalah sistemik yang kami identifikasi.
Namun, beberapa mengatakan mereka berniat untuk melakukannya. Menanggapi temuan kami, tiga pembeli yang disebutkan dalam investigasi kami mengatakan bahwa mereka mengambil langkah untuk mengidentifikasi dan menangani masalah di seluruh operasi kebun mereka.
Pembeli minyak sawit dapat memainkan peran dalam banyak solusi yang disebutkan di atas, mulai dari mendesak produsen minyak sawit untuk transparansi dalam penyediaan plasma, hingga mendanai pelatihan pengelolaan perkebunan untuk petani plasma.
Dengan demikian, mereka dapat membantu masyarakat Indonesia yang kehilangan janji kesejahteraan, sesaat sebelum mereka menyerahkan lahan plasma mereka.
Tulisan asli bahasa Inggris Six steps to tackle exploitation in Indonesia’s palm oil smallholder scheme (commentary). Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
* Tom Walker, Head of Researcher The Gecko Project, Artikel ini adalah opini yang tidak mencerminkan pandangan Mongabay.
Foto Utama: Laurensius Asia, anggota koperasi di Teluk Bakung. Foto oleh BBC Indonesia.
***
Mongabay Indonesia bekerjasama dengan Perkumpulan Kaoem Telapak menerbitkan buku berjudul ‘Di Antara Janji Kesejahteraan dan Dampak Sosial Lingkungan: Sebuah penelusuran jurnalistik mengenai industri sawit di Indonesia”, yang mengungkap tentang kondisi perkebunan sawit di Indonesia. Buku ini dapat diperoleh dan diunduh cuma-cuma di tautan ini atau scan barcode di bawah ini.