- Kelompok Cakrabuana Madu di Lemahsugih, Kecamatan Lemahputih, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, merintis usaha lebah madu sebagai mata pencaharian di desa.
- Mereka rata-rata berusia muda dibawah 30 tahun tapi punya tekad kuat menjadi petani lebah madu yang berkelanjutan sejak permintaan madu meningkat mulai awal pandemi Covid-19
- Pilihan menjadi peternak lebah yang lestari didasari akibat ketiadaan akses lahan. Lahan di kampung mereka sudah dibeli orang kota.
- Pertanian masa kini mendorong mereka untuk berinovasi dengan teknologi dan pemasaran yang lebih maju. Seperti apa?
Di mana ada masalah, di situ terdapat peluang. Kalimat sakti dalam dunia kewirausahaan ini memang tidak hanya menjadi slogan kosong. Termasuk bagi mereka yang mengantungkan peluang berusahanya itu pada berkah hutan.
Bagi Sandi (29), warga Lemahsugih, Kecamatan Lemahputih, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, hutan dan lebah adalah jalan menuju sejahtera. Sejak melirik madu sebagai mata pencaharian, pemuda desa di sana seperti punya optimisme. Nyaris serupa etos kerja orang kota.
“Punya penghasilan tetap dan ada kepastian,” kata Sandi lulusan sekolah menengah pertama itu saat ditemui beberapa waktu lalu. “Senang saja begitu tidak melulu tentang kota, di desa pun bisa punya masa depan.”
Bagi kelompok Cakrabuana Madu, dengung lebah adalah semangat dan harapan. Pengetahuan pengelolaan berbasis konservasi dijadikan modal utamanya. Dan momentumnya berawal ketika pandemi, ketika orang-orang kota butuh senyawa fitonutrien yang terkandung pada madu untuk kesehatan.
Kotak-kotak lebah jenis Apis cerana didesain khusus, berukuran pas dan proposional, disesuaikan dengan populasi lebah dan produksi madu.
Satu koloni lebah itu menghasilkan 1-2 kilogram tiap bulan. Tapi tergantung musim berbunga, kata Sandi.
baca : Madu Kelulut dan Kelestarian Hutan Leuser
Menurutnya, keunikan madu terletak pada aroma, warna dan rasa. Ketiga unsur itu sangat bergantung pada polen, protein dan nektar yang dibawa lebah ke sarang.
Sekitar 50 kotak lebah di pekarangan rumah menunjukan sirkular ekonomi yang sudah terbangun. Sandi bisa berpenghasilan Rp2-3 juta per bulan atau setara upah minimum kota. Tapi penghasilan itu masih fluktuatif. Kendalannya adalah pakan lebah yang sulit dan seragam.
“Keragaman tumbuhan penentu kualitas madu,” katanya.
Lahan pertanian atau perkebunan bukanlah tempat yang menguntungkan bagi lebah miliknya. Sebab sebagian besar sudah dibuat sistem monokultur. Tanaman lain disingkirkan karena tidak berguna secara ekonomis. Jika sudah begitu, lebah akan kekurangan nustrisi dan cepat mati.
Dalam kondisi paceklik, Sandi biasanya lari ke hutan Cakrabuana. milik Perum Perhutani. Sebelum berternak lebah pada stup, kelompok mereka memang sudah belasan tahun memanen madu dari lebah Apis dorsata itu.
Kadang-kadang mampu memanen 100 kilogram atau 80 liter madu tiap bulan. Dijual dengan harga Rp160-200 ribu per liter. Hasilnya cukup manis mengisi kantong mereka. Apalagi permintaan sarang madu juga diminati kosumen. Sejauh ini permintaan madu banyak menjangkau pasar luar kota seperti Bandung, Bekasi dan Jakarta. Dari permintaan itu, mereka mempraktekkan konsep panen lestari dengan memperhatikan kelangsungan hidup lebah.
“Sebenarnya masalahnya berat juga. Selain pembalakan hutan, penemuan sarang lebah menjadi rebutan dengan kelompok lain yang tidak paham kelestarian lebah,” gerutu Sandi. “Apalagi cara panen mereka dengan memotong semua bagian sarang. Itu berakibat lebah dan organisme yang ada didalamnya mati.”
baca juga : Ini Lebah Traveler dari Sukaresmi, Penghasil Madu Laduni
Cara panen lestari yakni dengan memotong dua per tiga ujung sarang yang biasa dinamakan kepala sarang. Hanya di sanalah tempat cadangan madu lebah yang tiap satu bulan tumbuh kembali. Petani madu hutan dapat memanen berkali-kali di tempat yang sama dalam waktu panen yang lama.
Sementara jika masih menggunakan cara panen konvensional hanya bisa satu kali panen di tempat yang sama akibat sarangnya habis total. Itu membuat populasi sarang lebah menurun.
Peluang Lebah
Kekhawatiran kepunahan lebah sudah disadari banyak peneliti. Hasil studi internasional para ilmuwan di university of Strathclyde, Glasgow, Skotlandia, misalnya, sudah lama menemukan koloni lebah menurun sekitar 16 persen secara global.
Peneliti Pusat Riset Biologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sih Kahono juga mengamini kondisi serupa. Dimana populasi lebah di beberapa wilayah menyusut.
“Serangga penyerbuk ini harus dilindungi untuk masa depan,” tutur Doktor Ekologi Serangga lulusan Jepang tersebut. “Tanpa lebah tanaman tak akan tumbuh. Tanpa lebah tak akan ada regenerasi dalam ekosistem.”
Lebah memang bukan satu-satunya hewan yang membantu penyerbukan. Tapi lebah berperan paling vital daripada serangga lain. Data lembaga pangan dunia FAO, memperlihatkan lebih dari 75 persen tanaman pertanian di seluruh dunia penyerbukannya tergantung pada lebah. Pertanian dan tanaman perkebunan juga tergantung penyerbukannya pada lebah.
Lebah diketahui mempengaruhi evolusi tanaman berbunga. Satwa ini merupakan kunci regenerasi dengan menyebarkan serbuk sari, dan membantu terjadinya kawin silang menghasilkan spesies baru. Jadi, lebah tak hanya membantu bunga bermekaran, namun juga elemen penting bagi keberagaman tanaman.
menarik dibaca : Turun Temurun Jaga Madu Sialang
Dunia memiliki lebih dari 16.000 spesies lebah yang dikelompokkan ke dalam tujuh keluarga. Namun, keberagaman dan populasi lebah kini menyusut dengan cepat.
Sejak 1993 meneliti lebah, Kahono perlahan gusar. Kegusarannya bermula pada tiap awal musim kemarau hingga awal musim hujan, biasa ramai oleh dengung lebah. Kini telah menunjukan tanda-tanda perubahan. Perilaku yang sudah terbentuk sekian lama menjadi kacau karena siklus alam juga berubah.
Selain perubahan iklim, lebah juga mengalami desakan luar biasa. Rusaknya habitat merupakan kondisi yang paling kentara. Lalu pestisida menjadi ancaman yang paling krusial. Dari 456 jenis lebah ditemukan di Indonesia, Kahono berkeyakinan jumlah jenisnya makin berkurang pada setiap koloni.
Jika populasi lebah berkurang maka layanan polinasi alami akan terganggu. Apalagi banyak masyarakat yang belum memahami peran serangga tersebut. Selama ini lebah dianggap hama yang harus dibasmi. Padahal lebah berkontribusi besar untuk ketahanan pangan umat manusia.
Kolaborasi Milenial
Muda dan berdaya menjadi narasi pertanian masa kini. Tak heran jika anak muda milenial mau terjun dalam dunia pertanian dan perternakan dengan pola yang lebih modern. Apalagi ditunjang wawasan yang lebih luwes.
Mungkin itu satu alasan Edi Hidayat (29), memutuskan berkolaborasi dengan Sandi. Dia membuat barcode pada setiap stup madu. Tujuannya agar orang percaya bahwa produk madu yang mereka hasilkan paling jempolan. Yang terpenting, katanya, konsumen diberi informasi perihal teknisnya pengelolaan yang konservatif. Sehingga mereka juga teredukasi.
Berkolaborasi sejak 2021, Edi memberi warna baru. Terutama soal teknologi dan marketing. Dua ilmu yang paling menentukan untung dan rugi dalam dunia wirausaha.
“Kami punya pandangan sama menyoal pertanian dan peternakan lebah. Keduanya coba kami kombinasikan dalam satu wadah. Tentunya wadah yang tak melulu tentang profit tapi juga berdampak secara sosial,” tutur Edi. “Seperti lebah madu yang bermanfaat untuk semua makhluk.”
menarik dibaca : Hebatnya Lebah Madu, Bisa Pecahkan Soal Matematika
Lewat Roem Institut, keinginan mengembangkan pangan dari aspek kebermanfaatan lebah mulai digagas. Mereka membangun jaringan sesama penekun lebah madu. Hingga kemitraan mereka pun menyasar produk yang potensial dari sisi bisnis.
“Ini seperti peta jalan sederhana. Kami hanya mencoba berkreasi dengan kemampuan seadanya,” kata Edi.
Dua tahun berjalan, skema tersebut membuahkan hasil. Beberapa turis asing bahkan mengunjungi ternak lebah milik mereka. Tentu cukup memuaskan hati. Karena bisa menerabas anggapan yang memandang desa hanya sebagai tempat istirahat.
Ke depan pertanian organik menjadi target. Ide itu sebetulnya didasari ketiadaan akses lahan. Lahan-lahan di kampung mereka kebanyakan sudah dibeli orang kota. Sehingga mereka ingin melakukan sesuatu. Paling menambah hasil tani mereka dengan penyerbukan lebah. Bukan pestisida yang mahal ongkosnya.
Mungkin Sandi, Edi maupun kelompoknya hanya memandang bertani dan berternak sebagai pembuka jalan anak muda sejahtera di kampung halaman. Semangat petani muda ini menjadi modal menghadapi krisis pangan di masa depan. Namun, jika dukungan terhadap inisiatif mereka minim dan tidak optimal, generasi muda menjadi galau. Tatkala hasil tidak sesuai harapan. Dan itu masalahnya.