- Spesies serangga sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan suhu. Perubahan iklim berpotensi menurunkan kemampuan serangga dalam berkembang biak.
- Pola pergeseran awal dan akhir musim yang berubah menyebabkan serangga mengubah perilakunya. Peningkatan suhu juga dapat membuat banyak serangga menjadi mandul.
- Hilangnya serangga pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada layanan ekologis, yang dapat berdampak parah pada keseimbangan ekosistem bumi.
- Di tingkat individu, peneliti menyarankan cara terbaik untuk berpartisipasi melindungi serangga adalah menciptakan ‘habitat mikro’ ramah serangga di sekitar rumah.
Hewan apa yang Anda pikirkan saat mendengar dampak “perubahan iklim”? Beruang kutub, terumbu karang, penyu? Ya, semuanya benar. Namun ada yang sering terlewat dalam daftar satwa tersebut, yaitu serangga.
Sebuah ulasan penelitian baru setebal 37 halaman dengan 80 rekanan penulis dalam jurnal Ecological Monograph menemukan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi banyak spesies serangga di seluruh dunia. Simpulan penelitian menyebut kehidupan serangga akan semakin sulit pada saat iklim bumi menghangat.
“Implikasi [dari dampak kehilangan serangga] terhadap keseimbangan alam dan kemanusiaan dapat sangat besar dan mengerikan,” jelas Jeffrey Harvey, penulis utama dalam penelitian ini dan seorang ahli biologi di Royal Netherlands Academy of Arts and Science.
“Serangga secara kritis menyediakan sejumlah layanan ekologis yang mendukung kesehatan ekonomi material manusia.”
Harvey dan rekan-rekan penelitinya menyebut perubahan iklim dapat memengaruhi hidupan serangga. Pertama dan terpenting, serangga menjadi lebih sensitif terhadap perubahan suhu daripada banyak kelompok hewan lainnya. Sebagai ektoterm, -seperti jenis reptil dan amfibi, serangga mengontrol suhu tubuhnya melalui udara sekitar.
“Jika terlalu panas, serangga tidak dapat mengatasi gelombang panas di tempat wilayah perlindungan mikro-habitatnya. Mereka akan terpapar [peningkatan] suhu yang bakal membunuh banyak dari jumlah mereka, atau yang bakal membuat mereka menjadi mandul,” lanjut Harvey.
Baca juga: Ilmuwan: Perubahan Iklim Mempercepat Kiamat Serangga
Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa peningkatan suhu, dapat merusak atau menghancurkan sperma serangga. Sebuah studi tahun 2018, misalnya, menemukan bahwa gelombang panas yang diinduksi dalam penelitian di laboratorium mendatangkan malapetaka pada sperma kumbang beras. Gelombang panas yang berulang membuat mereka “hampir mandul”, menurut makalah di Nature Communications.
Ada juga bukti bahwa peningkatan suhu telah menyebabkan ukuran tubuh beberapa serangga menyusut, yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang dari generasi mereka.
Daerah tropis, -sebagai wilayah dengan pusat keragaman hayati dan kelimpahan tertinggi di dunia, ragam spesies serangga tropis bahkan menjadi lebih terancam lagi akibat perubahan iklim. Besar kemungkinan sebagian dari mereka akan menghilang, bahkan jauh sebelum kita menyadari keberadaannya.
“Serangga tropis telah berevolusi di bawah iklim dengan variasi musim yang lebih pendek,” jelas Carol Boggs, rekan penulis makalah dan ahli entomologi dari University of South Carolina. Akibat yang terjadi, -sebagian besar serangga tropis yang tidak berevolusi untuk perubahan iklim yang ekstrem, dapat menghilang dan punah.
Perubahan iklim pun akan memengaruhi serangga dalam banyak hal, tidak hanya kepada tubuh serangga, tetapi juga perilaku, pasokan makanan, dan habitat mereka.
Naiknya suhu dan fluktuasi cuaca mendadak dan peningkatan ketidakstabilan musim, dapat menyebabkan serangga menetas terlalu dini. Hal ini membuat mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan siklus bertumbuhnya daun tanaman dan persediaan makanan.
Sebaliknya mereka dapat terlahir terlambat sehingga hanya menyisakan sedikit waktu untuk mereka menjadi dewasa sebelum cuaca berubah kembali. Bahkan proses metamorfosis mereka pun dapat berubah.
Carol Boggs yang mempelajari perilaku kupu-kupu di Rocky Mountain Colorado sejak akhir 1970-an, mengobservasi bahwa periode dewasa dari dua spesies kupu-kupu Euphydryas gillettii dan Speyeria mormonia, terjadi seminggu lebih awal.
“Perubahan waktu ini didorong oleh kombinasi waktu saat salju mencair dan suhu maksimum di bulan Juni, yang keduanya telah bergeser,” ungkap Boggs. Dia mencatat suhu maksimum musim panas sudah 1,5-2° Celcius lebih hangat dibandingkan beberapa dekade yang lalu.
Penelitian yang dilakukan oleh Nimué Shive, -murid Boggs, menunjukkan bahwa lebih banyak spesies serangga yang menjadi kepompong, menjadi dewasa lebih awal daripada beberapa dekade lalu.
Perubahan waktu ini dapat mengacaukan kemampuan bertahan hidup serangga. Serangga muda menjadi menetas sebelum bunga yang menjadi inangnya mekar, atau sebaliknya.
Efek berantainya pun berlanjut. Spesies yang berada di atas dalam rantai makanan juga menderita. misalnya bayi-bayi burung. Saat mereka menetas, jumlah serangga pakan mereka berkurang atau bahkan menghilang saat musim semi. Akibatnya, mereka pun kelaparan dan terancam mati.
“Penurunan jumlah serangga mungkin merupakan faktor utama penurunan yang juga terjadi di antara banyak burung beriklim sedang yang diamati selama beberapa dekade terakhir,” tutur Harvey.
Serangga juga menghadapi cuaca ekstrem yang semakin memburuk, -mirip yang dihadapi oleh manusia. Banjir, kekeringan, gelombang panas, dan kebakaran dapat memusnahkan banyak atau seluruh generasi serangga dan menghancurkan sumberdaya tempat mereka bergantung.
Baca juga: Kupu-Kupu dan Peran Penting Sains Warga dalam Konservasi
Peran Individu dalam Konservasi Serangga
“Perubahan iklim dan cuaca ekstrem dapat menimbulkan efek berlapis pada serangga,” kata Boggs. Serangga penyerbuk yang musnah karena kekeringan dapat membuat tanaman tidak dapat diserbuki dan bereproduksi.
Dalam rantai ekosistem, semua spesies di Bumi saling terhubung. Serangga memiliki fungsi penting sebagai penyerbuk, pengumpul sampah, pendaur ulang, pemberi pupuk alami dan penyubur tanah, pengendali hama, dan mangsa atau pemangsa bagi spesies lain yang tak terhitung banyaknya. Keberadaan serangga amat berperan dalam mendukung hampir setiap ekosistem terestrial di planet ini.
Baik Boggs maupun Harvey menyebut perubahan iklim dapat di atasi dengan pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain itu, upaya konservasi dapat melindungi dan memulihkan lebih banyak habitat khusus serangga, termasuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan pestisida.
Harvey menyebut sebagai individu kita bisa membantu upaya perlindungan serangga dengan menciptakan ‘habitat mikro’ di rumah. Setiap individu dapat berpartisipasi dengan menyediakan rumput dan taman ‘ramah serangga’ dan menanam beragam spesies asli yang menarik serangga.
“Kita juga dapat membuat ‘habitat mikro’ skala kecil, meniru tumbuhan bawah hutan dan vegetasi padang rumput yang menguntungkan organisme serangga. Dengan melakukan itu, kita akan merangsang seluruh rantai makanan dari ‘bawah ke atas’,” sebut Harvey.
Penurunan serangga adalah alarm yang langsung menjadi dampak perubahan iklim yang paling agresif. Dengan menurunnya berbagai taksa serangga di seluruh bagian biosfer bumi pada akhirnya akan menjadi ancaman bagi keseluruhan keragaman hayati.
“Masalahnya bisa semakin parah, tetapi masih ada waktu untuk membalikkan penurunan ini,” pungkas Harvey.
Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Climate change is hammering insects — in the tropics and everywhere else: scientists . Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.