- Sampel yang diambil pada orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) di pusat penyelamatan IAR, dari 131 maka 89 individu orangutan positif malaria, yang disebabkan parasit Plasmodium pitheci.
- Sisi positifnya, semua orangutan yang terkena penyakit parah ini merespon pengobatan dengan baik dan dapat sembuh.
- Beberapa ahli mengatakan temuan ini menggarisbawahi perlunya prinsip kehati-hatian saat memindahkan atau melepasliarkan orangutan yang dinyatakan positif malaria ke alam liar.
- Dalam beberapa kasus, malaria dikhawatirkan akan mengakibatkan epidemi yang parah diantara populasi kera besar liar di alam yang bakal berkonsekuensi pada upaya konservasinya
Rahayu datang dalam keadaan demam, lemas, tidak responsif dan nyaris koma. Untunglah ia dapat dievakuasi tepat waktu dan dapat perawatan di pusat rehabilitasi satwa milik International Animal Rescue (IAR). Orangutan muda betina itu pun ditangani oleh para dokter hewan di yayasan tersebut.
Berdasarkan gejalanya, dicurigai ia terjangkit malaria serebral yang parah. Para dokter hewan menyebut meski pada akhirnya ia akan sembuh total, namun kemampuan daya penglihatannya tidak akan pernah pulih total.
“[Sebelumnya] tidak ada bukti ilmiah malaria dapat menyerang orangutan,” jelas Llano Sanchez kepada Mongabay. Beberapa waktu lalu, dia dan timnya menulis di Jurnal Malaria, menyebut bahwa tidak saja kepada manusia, tetapi malaria juga bisa berjangkit pada orangutan.
Antara 2017 dan 2021, Sanchez dan timnya mengambil sampel orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) di pusat penyelamatan dan rehabilitasi satwa liar IAR di Kalimantan Barat. Hasilnya 89 dari 131 orangutan yang mereka ambil sebagai sampel dinyatakan positif malaria, yang disebabkan oleh parasit Plasmodium pitheci.
Malaria dalam stadium “sedang hingga parah” dijumpai pada 14 persen orangutan. Untungnya, semua orangutan yang terinfeksi dapat merespon pengobatan anti-malaria dengan baik.
“Hal itu jadi sebuah temuan penting. Saya pikir jika mereka tidak menerima pengobatan, mereka bisa mati,” jelas Sanchez.
Meski demikian, tidak ada bukti bahwa parasit yang menyerang orangutan dapat menular ke manusia, atau bahwa malaria yang lazim pada manusia telah menular ke orangutan, tambahnya.
Lalu apakah infeksi malaria bakal menjadi ancaman bagi konservasi orangutan di alam? Sanchez belum dapat mengkonfirmasikannya.
Baru Dijumpai pada Orangutan
“Prevalensi yang tinggi dan fakta banyak orangutan yang terinfeksi, -beberapa diantaranya parah, menunjukkan bahwa infeksi ini menimbulkan risiko bagi konservasi populasi di pusat rehabilitasi serupa,” jelas Juan Lapuente, dari Comoé Chimpanzee Conservation Project in Pantai Gading dalam emailnya kepada Mongabay.
Proyek yang dia pimpin menangani konservasi simpanse di Afrika. Belum ada kera besar di lokasi proyeknya yang terjangkit malaria.
Lebih lanjut, infeksi malaria pada orangutan mengundang pertanyaan para ahli untuk meneliti lebih jauh. Apa yang ada di balik tingkat keparahan kasus yang sangat berbeda; bagaimana gangguan habitat berdampak pada tingkat kekebalan; dan bagaimana pengelolaan orangutan di pusat rehabilitasi yang dinyatakan positif malaria.
“Orangutan dengan patogen [malaria] ini tidak boleh di translokasi ke habitat alami, karena penyakit ini dapat kambuh atau kronis, atau dapat menimbulkan konsekuensi yang parah bagi individu orangutan liar,” ungkap Marc Ancrenaz, dokter hewan di Kinabatangan Orangutan Conservation Project, Sabah, Malaysia.
Dia mencermati bahwa dari studi sebelumnya menunjukkan bahwa prevalensi malaria di pusat rehabilitasi bisa jauh lebih tinggi daripada di alam liar, karena konsentrasi orangutan yang lebih tinggi.
Dalam studi lain, yang dirilis tahun lalu, para peneliti, termasuk Ancrenaz, memperingatkan bahwa tanpa pemeriksaan kesehatan, translokasi orangutan liar dan penangkaran dapat menimbulkan “penularan penyakit menular yang cukup besar dan risiko konservasi spesies” ke populasi liar.
Lapuente pun setuju dengan pernyataan ini. Dia menyebut perlu ada pertimbangan risiko penularan sebelum re-introduksi orangutan dari area dengan prevalensi tinggi malaria ke lokasi dengan populasi liar atau semi-bebas yang sehat.
Saat ini para peneliti bersepakat bahwa gangguan habitat orangutan saat ini dan masa depan kemungkinan besar akan memiliki konsekuensi epidemiologis.
“Dikhawatirkan jenis penyakit ini akan semakin sering terjadi dengan perubahan drastis lingkungan di habitat orangutan liar di Kalimantan dan Sumatera,” tulis Ancrenaz.
Perubahan iklim, fragmentasi hutan, hilangnya keanekaragaman hayati semua dapat berdampak terhadap lingkungan alam, tidak saja pada perilaku spesies liar, tapi juga pada epidemiologi penyakit seperti malaria.
“Saya pikir sangat jelas bahwa dokter hewan sekarang memiliki tanggung jawab untuk benar-benar mulai melakukan lebih banyak studi tentang patogen satwa liar dan penyakit satwa liar serta kepentingannya dalam konservasi,” sebut Sanchez.
Nyamuk sebagai agen penyebar parasit malaria dan konsekuensinya bagi spesies satwa liar pun perlu dapat perhatian dalam kajian tentang perubahan alam yang terjadi ini.
“Ini adalah temuan yang sangat penting, dan merupakan langkah yang baik untuk mengetahui lebih banyak tentang epidemiologi penyakit ini,” pungkasnya.
Referensi:
Llano Sanchez, K., Greenwood, A. D., Nielsen, A., Nugraha, R. T., Prameswari, W., Nurillah, A., … Baird, J. K. (2022). Plasmodium pitheci malaria in Bornean orang-utans at a rehabilitation center in West Kalimantan, Indonesia. Malaria Journal, 21(1). doi:10.1186/s12936-022-04290-8
Wolfe, N. D., Karesh, W. B., Kilbourn, A. M., Cox-Singh, J., Bosi, E. J., Rahman, H. A., … Spielman, A. (2002). The impact of ecological conditions on the prevalence of malaria among orangutans. Vector-Borne and Zoonotic Diseases, 2(2), 97-103. doi:10.1089/153036602321131896
Sherman, J., Unwin, S., Travis, D. A., Oram, F., Wich, S. A., Jaya, R. L., … Ancrenaz, M. (2021). Disease risk and conservation implications of orangutan translocations. Frontiers in Veterinary Science, 8. doi:10.3389/fvets.2021.749547
***
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Akita A. Verselita. Sumber asli artikel: Severe malaria cases in rescued orangutans raises concerns for wild populations