- Gempa tektonik berkekuatan magnitudo 5,6 terjadi Senin (21/11/2022) pukul 13.21 WIB, dengan pusat gempa di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Data BNPB, hingga Selasa (22/11) pukul 09.55 WIB dilaporkan 103 orang meninggal dunia, 390 orang luka-luka dan 7.060 mengungsi
- Pemprov Jabar sedang dan akan mendistribusikan kebutuhan mendesak warga di 14 titik pengungsian. Korban akan dirujuk ke rumah sakit sekitar Cianjur karena layanan rumah sakit penuh. Sedangkan BNPB hari ini menempatkan satu buah helikopter dan dana siap pakai sebesar Rp1.5 miliar serta bantuan logistik senilai Rp500 juta untuk mempercepat penanganan bencana
- Pusat gempa Cianjur diyakini terjadi di sesar Cimandiri. Namun, jika merunut dari episentrumnya, pusat gempa berada jauh sekitar 9 kilometer dari sesar Cimandiri. Pulau Jawa terdapat banyak tersebar sesar besar dan sesar lokal aktif serta banyak yang belum diidentifikasi
- Pemantauan potensi aktivitas sesar pemicu gempa bumi menjadi penting untuk mitigasi bencana apalagi pada area sesar dengan padat penduduk. Sayangnya literasi sejarah kegempaan Indonesia dari siklus gempa berulang masih sedikit, padahal menjadi dasar bagi pengambil kebijakan di pemerintah
Keringat dingin seketika mengucur dari kening Denny Ramdani (30) sesaat menyaksikan kabar gempa dari kanal informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di beranda aplikasi sosial miliknya. Warga Desa Sindangsari, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat itu sudah lama tinggal di Bandung.
“Saya belum bisa memastikan kabar keluarga sejak siang tadi,” katanya gusar. Dia beberapa kali mencoba menelepon nomor yang sama, namun urung terhubung. “Semoga orang tua beserta keluarga di rumah dalam kondisi aman dan selamat.”
Gempa tektonik berkekuatan magnitudo 5,6 terjadi Senin (21/11/2022) pukul 13.21 WIB, begitu mengagetkan. Gempa ini berpusat di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dan dirasakan kota-kota sekitar hingga Kota Bandung dan DKI Jakarta.
Mohammad Faris, warga Desa Babakan Caringin, Kecamatan Karang Tengah, juga tak menyangka rutinas sebagai tenaga pengajar di pesantren lebih dekat dengan sangkakala. Guncangan gempa membikin panik dan memporak-porandakan bangunan sekolah, kantor, fasilitas umum serta rumah.
“Kejadiannya begitu singkat,” katanya tergesa. Murid-murid yang sedang menjalankan aktivitas belajar mengajar berhamburan tak karuan untuk menyelamatkan diri. “Banyak anak-anak luka tertimpa bangunan.”
baca : Terancam Gempa Magnitudo 8,7 dan Tsunami 10 Meter, Begini Upaya Mitigasi di Pesisir Selatan Jawa
Lokasi Faris berjarak kurang dari 10 kilometer ke pusat gempa di Cugenang. Dimana menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur, daerah tersebut menjadi titik pusat gempa. Mengingat hampir 90 persen bangunan di kawasan ini hancur.
Dua belas jam sebelumnya, sepengetahuan Faris terjadi gempa dengan intensitas kecil. “Itu persisnya sekitar jam 12 Minggu malam.” Faris juga menyebutkan pasca gempa siang itu banyak dirasakan gempa susulan.
Dalam konferensi pers di Pendopo Bupati Cianjur, Senin malam, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menegaskan hal yang sama. Setidaknya terjadi 88 kali gempa susulan terjadi di skala 1,5 sampai 4,8 skala richter. Karenanya suasana masih rawan, katanya.
“Berdasarkan rata-rata testimoni warga (gempa) berlangsung tidak lama sekitar 30 detik. Pusatnya memang paling parah di Cugenang dengan kedalam 10 kilometer, ukuran skala richter (masuk indikator) skala sedang tapi daya rusaknya memang luar biasa,” kata Ridwan.
Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Selasa (22/11) pukul 09.55 WIB dilaporkan 103 orang meninggal dunia. Mayoritas warga meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan yang ambruk saat peristiwa terjadi. Selain itu, 25 orang masih dilaporkan hilang dan masih dilakukan pencarian hingga hari ini.
377 orang luka-luka di Kabupaten Cianjur, 1 orang luka sedang di Kabupaten bandung, 1 orang luka berat dan 9 orang luka ringan di Kabupaten Sukabumi, dan 2 orang luka ringan di Kabupaten Bogor.
Warga mengungsi bertambah menjadi 7.060 jiwa yang tersebar di beberapa titik. Selain itu, 8 KK mengungsi di Kabupaten Sukabumi dan 4 jiwa mengungsi di Kabupaten Bogor. Sementara untuk kerusakan infrastruktur tercatat sebanyak 3.075 rumah rusak ringan, 33 unit rumah rusak sedang, dan 59 rumah rusak berat.
baca juga : Begini Mitigasi Tsunami dan Gempa Megathrust Selatan Jawa
“Mayoritas korban meninggal adalah anak-anak karena pada saat kejadian sedang berada di madrasah (sekolah),” ungkapnya. Ridwan pun menegaskan proses evakuasi akan masif dilakukan terhitung sejak Selasa (22/11) dengan mengerahkan tim gabungan untuk menyisir area terdampak yang belum terjamah. Termasuk di area longsor yang dilaporkan menghantam perumahan warga.
Seperti diketahui, di sebagian titik kondisi rumah warga hancur dengan kerusakan diatas 60 persen sehingga tak bisa dihuni lagi. Dinding dan pilar pondasi bangunan roboh menyebabkan atap rumah-rumah runtuh. Warga pun terpaksa mendirikan tenda-tenda darurat untuk mengungsi. Beberapa warga yang terluka akibat tertimpa reruntuhan belum diantar ke rumah sakit karena akses yang sulit. Mereka juga kekurangan makanan, air bersih, dan peralatan pertolong pertama.
“Distribusi kebutuhan mendesak warga akan segera disalurkan di 14 titik pengungsian yang dibuat pemerintah,” imbuh Ridwan. Perihal layanan rumah sakit yang sulit karena over kapasitas, pihaknya telah mengkondisikan bantuan ke beberapa layanan rumah sakit daerah sekitar Cianjur. “Harapannya perawatan warga tidak terlantar.”
Sedangkan BNPB hari ini menempatkan satu buah helikopter dan dana siap pakai sebesar Rp1.5 miliar serta bantuan logistik senilai Rp500 juta untuk mempercepat penanganan bencana, “Untuk desa terisolir selain membuka jalan dari darat, juga disiapkan satu heli untuk distribusi logistik,” tutur Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto yang mendampingi mendampingi Menko PMK Muhadjir Effendy saat memberikan keterangan pers di Pendopo Bupati Cianjur, Selasa (22/11) pagi.
baca juga : Rumah Tambi, Kearifan Lokal Masyarakat Lore Terhadap Gempa
Kemungkinan Sesar Lain
Barangkali jutaan warga di Pulau Jawa tidak menyadari tinggal di atas sesar aktif. Selain di sesar Lembang, sesar Baribis dan sesar Cimandiri, keberadaan sesar aktif yang membelah kota-kota besar di Jabar saja belum terpetakan secara detail.
Sebagai contoh, peristiwa gempa Cianjur, misalnya, Koordinator Geologi Gempa Bumi Dan Tsunami Badan Geologi Kementerian ESDM, Supartoyo, belum meyakini pusat gempa berada di sesar Cimandiri. Sekalipun gempa ini dibangkitkan oleh aktivitas patahan aktif dengan pergerakan kombinasi antara sesar turun dan mendatar.
Menurut BMKG, lokasi pusat gempa bumi terletak di darat pada koordinat 107,05 BT dan 6,84 LS, berjarak sekitar 9,65 km barat daya Kota Cianjur atau 16,8 km timur laut Kota Sukabumi. Namun, jika merunut dari episentrumnya, Supartoyo menduga, pusat gempa berada jauh sekitar 9 kilometer dari sesar Cimandiri.
“Mungkin itu ada pada sesar lain yang belum diidentifikasi. Titiknya berada diantara sesar Rajamandala dan sesar Cimandiri,” tutur dia saat dihubungi Mongabay Indonesia, Senin, 21 Oktober 2022
Jabar diketahui memiliki struktur tektonik kompleks. Sebab, di kawasan ini terdapat zona subduksi aktif, pertemuan dua lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia. Sehingga banyak sesar lokal yang tersebar di seluruh wilayahnya.
Supartoyo menyebut sesar dengan skala lokal di Jabar baru sebagian diidentifikasi oleh Badan Geologi. Seperti sesar Sumedang, sesar Tanjungsari-Cileunyi, sesar Cibingbing-Kuningan dan sesar Rancaekek.
“Mungkin sesar Cimandiri, sesar Baribis dan sesar Lembang yang segmennya panjang. Tapi sebetulnya banyak sekali sesar dengan segmen kecil tersebar dan belum diidentifikasi,” jelasnya.
baca juga : Pemulihan Pasca Gempa, Bisa Belajar dari Bantul
Berdasarkan data geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Sesar Cimandiri membentang mulai dari Palabuhan Ratu-Sukabumi-Cianjur hingga Padalarang. Panjangnya diperkirakan kurang dari 100 kilometer. Dan sejarah gempa bumi di sesar ini tercatat cukup banyak, misalnya Palabuhan Ratu (1900), Cibadak (1973), Gandasoli (1982), Padalarang (1910), Tanjungsari (1972), Conggeang (1948), dan Sukabumi (2001, 2006, 2007).
Berdasarkan sejarahnya, beberapa wilayah Jabar masuk daerah kerawanan gempa VII-VIII skala intensitas kerusakan atau Modified Mercalli Intensity (MMI). Dalam skala ini gempa yang dihasilkan berpotensi mengakibatkan kerusakan besar. Skala itu hampir mendekati kejadian gempa di sesar Palu-Koro di skala 9 MMI.
“Namun gempa Cianjur indikasi awal kerawanan gempa berada di skala 5-6 MMI. Dalam skala ini gempa yang dihasilkan sebetulnya berpotensi rusak ringan,” imbuh Suparyoto.
Peningkatan Mitigasi
Dengan adanya fakta aktivitas sesar memicu terjadinya gempa bumi, kemudian gempa memberikan efek negatif bencana, maka langkah pemantauan potensi dan usaha mitigasi jelas penting. Apalagi, aktifnya sesar-sesar di Jabar lokasinya berdekatan dengan kawasan berkepadatan penduduk tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, populasi di Jabar mencapai 48.782.408 jiwa, dengan kepadatan 1.379 jiwa per kilometer persegi dan sebagian besar diantaranya tinggal di dekat jalur sesar.
Pakar Gempa ITB Irwan Meilano, terkejut dengan gempa tektonik yang bersumber di tengah Pulau Jawa bagian barat ini. Jika diamati magnitudonya, sebetulnya gempa ini termasuk moderat.
“Itu lesson yang harus kita pelajari jangan sampai kemudian di masa depan ada gempa yang mirip dengan dampaknya yang masif (besar),” kata Irwan saat dihubungi Mongabay-Indonesia, Senin, 21 Oktober 2022.
perlu dibaca : Mitigasi Bencana di Sesar Lembang Harus Ada
Irwan berkeyakinan, selain kerentanan tektonik yang masif masih ada faktor pemicu lainnya. Dia menyebut jika aktivitas vulkanik pun begitu kompleks. Apalagi kawasan Jabar memiliki gunung api aktif terbanyak di Indonesia, seperti Salak dan Gede Pangrango di Bogor; Tangkuban Perahu di Bandung; Guntur dan Papandayan di Garut; Galunggung di Tasikmalaya; dan Ciremai di Kuningan.
Sehingga, katanya, gempa yang dangkal sekalipun jika bertemu dengan endapan sedimen lapisan tanah sisa letusan vulkanik kemudian bisa terjadi amplifikasi.
Pemodelan lainnya, kata Irwan, “Kemungkinan yang kedua karena penduduknya padat, sehingga kemudian dampaknya lebih dahsyat. Dan yang ketiga kemungkinannya adalah bangunan di sekitar sesar tidak dipersiapkan untuk adanya potensi guncangan apabila terjadi gempa. Jadi menurut saya ada kemungkinan dari salah satu dari tiga kemungkinan tersebut ataupun gabungan dari ketiganya.”
Irwan meminta perhatian pemerintah terhadap sesar aktif di Pulau Jawa yang berpotensi menimbulkan bencana. Hal ini mengingat temuan para peneliti menunjukkan banyak sesar aktif melintasi kawasan berpenduduk padat di Jawa.
Sebagai gambaran ada Sesar Lembang berada sekitar 10 kilometer utara Bandung dengan panjang sesar yang terpetakan mencapai 22 kilometer. Gerakan tanah akibat terjadinya gerakan lempeng bumi di sesar ini sebesar 0,2- 2,5 milimeter per tahun dengan siklus gempa bumi sekitar 500 tahun.
“Walaupun besaran gempa dan kapan terjadinya masih sulit diprediksi, diperlukan monitoring yang serius karena populasi penduduk di area sesar sangatlah tinggi,” katanya. Mengingat siklus gempa berulang tetapi ada “gap” literasi sejarah kegempaan Indonesia. “Sehingga, ulang tahun gempa berulang itu perlu data yang cukup panjang. Itu menjadi problem saat ini. Literasi kita masih belum banyak.”
Irwan bilang, literasi kegempaan di tanah air masih punya pekerjaan rumah yang panjang ihwal menyelidiki historisnya. Namun, ada juga yang mesti dibangun yakni sense of security (pengamanan) masyarakat yang amat lemah. Maka, peristiwa gempa tektonik menjadi momentum untuk memulai menerapkan pola mitigasi secara holistik.
“Jadi kita sudah punya informasi dari kejadian Cianjur, dan itu sudah bisa kemudian menjadi dasar bagi pengambil kebijakan di pemerintah,” tutur Irwan.
Peneliti Pusat Unggulan Iptek (PUI) Gempa ITB Astyka Pamumpuni, mengatakan, pemahaman mengenai pengetahuan kawasan bencana menjadi faktor kunci mitigasi kegempaan. Selain berharap adanya peningkatan kewaspadaan masyarakat.
Mengingat zona gempa bumi selatan Jabar diketahui menyimpan gempa besar. Berdasarkan beberapa studi menyimpulkan bahwa zona subduksi di Jabar ini berpotensi dilanda gempa besar berkekuatan hingga lebih dari M 7.
Untuk itu pemetaan sesar gempa di Pulau Jawa merupakan bagian dari mitigasi bencana yang seharusnya menjadi acuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sedianya literasi gempa sudah dipetakan dengan baik, selanjutnya adalah tentang bagaimana mereduksi dampak gempa bumi, kata Astyka.