- Bagi masyarakat Melayu di Pulau Bangka, tumbuhan senduduk bulu atau Clidemia hirta disebut “daun sabun”, yang sering dimanfaatkan sebagai sabun alami dan dapat mengeluarkan busa saat digosok langsung ke kulit.
- Clidemia hirta memiliki kandungan senyawa flavonoid, tanin, saponin, dan steroid. Senyawa flavonoid dan saponin berkhasiat sebagai zat antibakteri. Antibakteri merupakan suatu zat yang berfungsi menekan dan menghentikan pertumbuhan serta perkembangbiakkan bakteri.
- Buah Clidemia hirta berwarna ungu kehitaman, memiliki panjang hingga 8 milimeter, rasanya mirip blueberry, manis dan aman dikonsumsi manusia. Ekstrak buah berpotensi dijadikan sirup yang lezat.
- Pengetahuan masyarakat menggunakan Clidemia hirta sebagai sabun, ataupun obat-obatan harus dikembangkan menjadi sebuah produk bermanfaat. Dengan begitu, memberikan dampak ekologi hingga ekonomi.
Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan nama senduduk bulu, sedangkan di Jawa, akrab disebut harendong bulu. Tumbuhan ini dapat dikenali melalui batang, daun, hingga buahnya yang diselimuti duri-duri halus menyerupai rambut.
Bagi masyarakat Melayu di Pulau Bangka, daun Clidemia hirta ini dinamakan “daun sabun” dan sering digunakan sebagai sabun alami.
“Kata orangtua kami dulu, daun ini sering digunakan sebagai sabun alami. Saat digosok ke tangan, tidak ada efek gatal, melainkan mengeluarkan busa lumayan banyak,” kata Agussari, pegiat budaya muda dari Desa Puput, Kabupaten Bangka Tengah, kepada Mongabay Indonesia, Senin [26/09/2022].
Hal senada dituturkan Mia [60], dukun obat Suku Jerieng, di Desa Pelangas, yang setia menggunakan bahan alami [dedaunan] sebagai sabun kulitnya.
“Sabun sekarang banyak bahan kimia, kadang tidak cocok untuk kulit. Saya lebih memilih sabun alami dari dedaunan yang digunakan turun-temurun, sebagaimana senduduk bulu.”
Baca: Senduduk, Tumbuhan Bermahkota yang Bermanfaat Sebagai Obat
Berdasarkan penelitian Yanti Yemima dari Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara [2018], ekstrak etanol daun senduduk bulu memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab penyakit kulit. Sebut saja Staphylococcus aureus dan Escherichia Coli yang dapat menyebabkan penyakit diare. Daun ini juga digunakan masyarakat Tapanuli Utara sebagai obat luka.
Menurut Henri, peneliti etnobiologi dari Universitas Bangka Belitung, sejauh ini spesies Clidemia hirta belum banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat oleh sejumlah suku tua di Pulau Bangka. Meskipun, memiliki potensi obat alami.
“Masyarakat di Pulau Bangka lebih sering menggunakan daun Melastoma malabathricum [senduduk] sebagai obat luka, dibandingkan spesies Clidemia hirta [senduduk bulu]. Keduanya berasal dari famili yang sama, yakni Melastomataceae, karenanya secara umum mempunyai potensi yang hampir sama,” jelasnya.
Merujuk penelitian Rini Ambarwati di jurnal FITOFARMAKA 2021, daun harendong bulu memiliki kandungan kimia flavonoid, tanin, saponin, dan steroid.
“Senyawa flavonoid dan saponin berkhasiat sebagai zat antibakteri. Antibakteri berfungsi menekan dan menghentikan pertumbuhan serta perkembangbiakkan bakteri,” tulisnya.
Baca: Pelawan, Pohon Unik Warna Merah di Bangka Belitung
Manfaat spesies Invasif
Berdasarkan buku Panduan Jenis Tumbuhan Invasif di Indonesia yang diterbitkan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [2015], Clidemia hirta merupakan satu dari 357 tumbuhan invasive alien species [IAS] yang mengancam keanekaragaman hayati atau merugikan ekosistem di sekitarnya.
Secara umum, tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan, namun tersebar merata global, khususnya di Asia Tenggara. Jenis ini mudah ditemukan di areal terbuka dan terkadang tumbuh menutupi tepian hutan, bahkan menjadi gulma.
Clidemia hirta menghasilkan buah ungu kehitaman, panjangnya hingga 8 milimeter yang rasanya seperti blueberry, manis dan aman dikonsumsi manusia. Satu tanaman besar dapat menghasilkan lebih 500 buah dalam setahun.
“Tanin di dalam buah tidak berbahaya bagi manusia, buahnya dapat dijadikan sirup lezat. Sirup warna biru nila yang indah dan dapat digunakan untuk meningkatkan dan menghilangkan kepahitan teh seperti yerba mate,” tulis buku tersebut.
Baca: Mengkubung yang Tak Lagi Nyaman di Hutan Bangka Belitung
Berdasarkan penelitian berjudul “Potensi alelopati Clidemia hirta sebagai bioherbisida” oleh Lily Ismaini dan Agnesia Lestari [2015], dijelaskan Orr et al. pada 2005 melakukan investigasi terhadap mekanisme potensial yang dilakukan tumbuhan invasif, yang dapat membahayakan spesies alami yaitu alelopati.
“Senyawa kimia unik dari tumbuhan invasif dilaporkan memiliki banyak aktivitas, meliputi antiherbivora, antifungi, antimikroba, dan efek alelopati yang dapat memberikan beberapa keuntungan pada tumbuhan tersebut pada lingkungan yang baru [Cappuccino dan Arnason 2006],” tulisnya.
Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa senyawa alelopati paling banyak terkandung pada daun, sehingga berpotensi dikembangkan sebagai bahan bioherbisida.
Baca: Kelik Puteh, Ikan Lele “Albino” yang Mulai Menghilang dari Pulau Bangka
Dimaksimalkan
Di Pulau Bangka, Clidemia hirta banyak mendominasi lahan-lahan terbuka, akibat pembukaan perkebunan skala besar maupun pertambangan timah.
Menurut Henri, manfaat Clidemia hirta harus dimaksimalkan, mengingat jumlahnya yang banyak dan cenderung mendominasi sebuah ekosistem.
Pengetahuan masyarakat menggunakan Clidemia hirta sebagai sabun, ataupun obat-obatan harus dikembangkan menjadi sebuah produk bermanfaat. Dengan begitu, memberikan dampak ekologi hingga ekonomi.
“Dibutuhkan semangat bersama untuk menggali berbagai pengetahuan terkait tumbuhan yang dimiliki Nusantara, khususnya di Pulau Bangka,” ujarnya.
Seperti dinyatakan dalam pengantar buku Panduan Jenis Tumbuhan Invasif di Indonesia, adanya tumbuhan invasif tidak berarti harus diberantas, melainkan dikendalikan. Namun, dalam situasi tertentu, bila merusak lingkungan, menimbulkan kerugian ekonomi dan masalah kesehatan, maka program pemberantasan layak dijalankan.
“Analisis manfaat harus dilakukan untuk menentukan pilihan manajemen yang tepat,” jelas buku tersebut.