- KLHK berencana menerapkan pembatasan pengunjung dengan sistem kuota di TN Komodo untuk meminimalisir dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi biawak Komodo dan satwa liar lainnya. Biaya kunjungan sebesar Rp3,75 juta per orang selama setahun sejak 1 Agustus 2022
- Hasil kajian Tim Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) merekomendasikan, jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo sebanyak 219.000 orang dan ke Pulau Padar mencapai 39.420 wisatawan atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan.
- Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi NTT setuju setuju dengan sistem pembatasan atau kuota pengunjung. Tetapi HPI keberatan bila diberlakukan tiket masuk ke kawasan TNK menjadi Rp3,75 juta per orang untuk periode setahun atau Rp15 juta per empat orang per tahun (membership)
- WALHI NTT tegaskan terkait konservasi pemerintah harusnya tegas dengan mengaturnya dari hulu, bukan sekedar tegas kepada pengunjung saja. Misalnya pembatasan investasi dan privatisasi di dalam kawasan TNK
Balai Taman Nasional Komodo (TNK) merencanakan penerapan biaya kontribusi bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke kawasan tersebut. Biayanya Rp3,75 juta per orang selama setahun dan akan diterapkan mulai 1 Agustus 2022.
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai TNK, telah melaksanakan kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Kajian dilakukan tim tenaga ahli yang diketuai oleh Dr. Irman Firmansyah (System Dynamics Center/IPB) dengan Komite Pengarah yaitu Prof. Jatna Supriatna, (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia).
Tim DDDTW merekomendasikan, jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo sebanyak 219 ribu orang dan ke Pulau Padar mencapai 39.420 wisatawan atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan.
Hasil kajian tersebut menunjukkan jumlah yang hampir sama dengan tingkat kunjungan wisatawan. Tahun 2019 sebanyak 221 ribu wisatawan berkunjung Pulau Komodo. Sementara ke Pulau Padar, selama ini Balai TNK telah menerapkan kebijakan kunjungan 100 orang per waktu kunjungan, dimana dalam sehari terdapat tiga waktu kunjungan.
Hasil kajian merekomendasikan jumlah kunjungan ke Pulau Padar dapat ditambahkan 2 – 2,5 kali lipat dengan mempertimbangkan penyesuaian daya dukung berupa infrastruktur, seperti penambahan jumlah pos di area trekking, sarana sanitasi dan MCK, safety trekking, jumlah ranger serta tenaga medis atau ruang khusus untuk kesehatan.
baca : Menyongsong Wisata. Berapa Daya Dukung Lingkungan Maksimal TN Komodo?
Minimalisir Dampak
Wakil Menteri LHK Alue Dolong menyebutkan, KLHK menganggap penting untuk memberlakukan pembatasan kuota pengunjung ke TNK demi menjaga kelestarian populasi komodo.
Menurut Alue, perlu ada jumlah maksimum yang dapat ditampung agar tidak berdampak terhadap kelestarian binatang purba komodo.
“Pengaturan pengunjung dengan sistem pembatasan atau kuota pengunjung ini tentunya dimaksudkan untuk meminimalisir dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi biawak Komodo dan satwa liar lainnya,“ ujar Alue, di Jakarta, Senin (27/6/2022) dalam siaran pers KLHK.
Alue jelaskan, pembatasan dilakukan guna mempertahankan kelestarian ekosistem di Pulau Komodo dan Padar pada khususnya, serta untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pengunjung dan petugas selama beraktivitas di TNK.
Lanjutnya, penerapan kuota pengunjung sudah saatnya dilakukan secara digital untuk mempermudah layanan dan mengakomodir kebijakan penetapan kuota pengunjung.
baca juga : Pemerintah Diminta Tanggapi Serius Putusan UNESCO. Apa Persoalan di TN Komodo?
Ia tegaskan, penerapan layanan ini dilakukan bersama dengan Pemerintah Provinsi NTT. Penerapan ini tentunya tidak akan mengurangi akses maupun peluang pendapatan masyarakat setempat dari berbagai aktifitas wisata alam di dalam kawasan TNK.
“Dengan pengelolaan tersebut diharapkan kegiatan wisata tetap berjalan dengan baik sehingga masyarakat akan mendapatkan multiplier effect berupa pendapatan dan kelestarian satwa serta habitat komodo tetap terjaga,” ungkapnya.
Wakil Gubernur NTT, Josef Nae Soi mengatakan Pemprov NTT mendukung kebijakan pembatasan pengunjung dengan sistem digitalisasi manajemen pengunjung lewat penerapan program experimentalist baluing environment (EVE).
Nae Soi sebutkan melalui program EVE pengunjung tidak hanya mengeluarkan biaya untuk perjalanan dan lainnya, tetapi ikut berkontribusi dalam upaya konservasi atau pelestarian komodo serta pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan TNK.
Ia menekankan komodo harus dilestarikan bersama semua habitat yang ada di kawasan TNK seperti burung kakak tua, kelelawar dan sebagainya, hutan dan lingkungan lautnya.
“Hasil kesimpulan dari kajian para ahli kita gunakan sebagai kebijakan secepatnya dan seadil-adilnya,” pesannya.
perlu dibaca : Pemerintah Lakukan Berbagai Pembangunan di TN Komodo, Bagaimana Dampaknya?
Perlu Kaji Ulang
Sedangkan Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi NTT Agust Bataona kepada Mongabay Indonesia, Minggu (3/7/2022) mengatakan pihaknya setuju ada sistem pembatasan atau kuota pengunjung.
Pembatasan ini penting untuk mengurangi dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi biawak komodo dan satwa lainnya (carrying capacity).
“Kami mendukung penerapan kebijakan kuota pengunjung dengan sistem digitalisasi manajemen pengunjung (online booking/E-ticketing),” ungkapnya.
Meski begitu Agust tegaskan,pihaknya keberatan bila diberlakukan tiket masuk ke kawasan TNK menjadi Rp3,75 juta per orang untuk periode setahun atau Rp15 juta per empat orang per tahun (membership).
Alasannya kebanyakan wisatawan hanya datang berkunjung sekali selama hidupnya. Sangat tidak mungkin seseorang atau sekelompok wisatawan berkunjung kembali dalam tahun yang sama.
“Sangat mungkin bila seseorang atau sekelompok orang itu adalah para peneliti, penulis, pembuat film dokumenter, dapat kembali lagi dalam kurun waktu satu tahun yang sama,” terangnya.
baca juga : Proyek Wisata di TN Komodo, Organisasi Masyarakat Desak Evaluasi Menyeluruh
Agust menilai kenaikan harga tiket masuk ke kawasan konservasi TNK sangat fantastis, tidak realistis dan tidak wajar. Apalagi harga tiket tersebut dalam sistem membership.
Saat ini para pelaku pariwisata dan para calon wisatawan mengalami kebingungan dengan pemberlakuan harga tiket masuk tersebut. Banyak calon wisatawan bakal yang membatalkan kedatangan dan meminta dikembalikan deposit pembayarannya.
“Demikian pula terhadap strategi sales, promotion dan marketingnya,” ucapnya.
Agust tekankan, situasi dan kondisi pariwisata NTT khususnya Flores yang mulai bangkit dari keterpurukannya, akan kembali terpuruk dengan pemberlakuan kebijakan tiket masuk ini.
HPI meminta pemerintah mengkaji ulang hingga memperoleh angka yang realistis dengan kenaikan harga yang lebih sedikit. Tidak naik secara drastis menjadi sangat mahal. Dalam dalam proses kaji ulang, dia mengharapkan melibatkan para pelaku pariwisata.
“Pemberlakuannya harus dibedakan antara harga tiket buat wisatawan domestik dan wisatawan asing. Sistem pembayarannya berlaku hanya untuk satu hari kunjungan, bukan setahun,” tuturnya.
menarik dibaca : Perairan TN Komodo, Rumah Bagi Pari Manta Karang yang Rentan Punah
Perbaiki Hulunya
Deputi WALHI NTT Yuvensius Stefanus Nonga kepada Mongabay Indonesia, Minggu (3/7/2022) meminta agar pemerintah juga harus tegas soal pembatasan terhadap investasi di dalam kawasan TNK.
Yuven menegaskan terkait konservasi pemerintah harusnya tegas dengan mengaturnya dari hulu bukan sekedar tegas kepada pengunjung saja.
“Harusnya ketika pembatasan kuota pengunjung maka pemerintah juga harus tegas dari sisi hulunya. Misalnya pembatasan investasi dan privatisasi di dalam kawasan TNK,” sarannya.
Yuven menambahkan banyaknya kapal pesiar di dalam perairan TNK juga perlu diatur, karena emisi karbon yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap habitat laut.
Lanjutnya, ketika melakukan tambat perahu, jangkar kapal berdampak terhadap terumbu karang. Harus ada standar khusus sehingga tidak merusak biota laut.
“Tiket masuk itu untuk kepentingan siapa? Kepentingan investor yang ada di dalam kawasan, pemerintah atau konservasi? Bagaimana tentang masyarakat lokal dan kapal-kapal kecil milik masyarakat?” tanyanya.
Sedangkan Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi katakan, terdapat tiga perusahaan swasta yang telah diberikan ‘karpet merah’ melalui izin konsesi dengan skema Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).
Dalam skema IPPA dibagi menjadi dua izin yakni Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) dan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA).
Ketiga perusahaan tersebut yakni Segara Komodo Lestari (SKL), sebagai perusahaan pertama yang menerima IUPSWA seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca sesuai Keputusan Menteri LHK No. 5.557/Menhut/II/2013.
PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo dan Pulau Padar dengan izin IUPSWA, yang terdiri dari 274,81 hektar (19,6% dari luas Pulau Padar) dan 154,6 Ha (3,8% dari luas Pulau Komodo).
PT Synergindo Niagatama (PT SN) di lahan seluas 6.490 hektar di Pulau Tatawa. Pada 2018, pemerintah mengubah desain situs zona pemanfaatan di Pulau Tatawa. Perubahan site plan ini mengurangi ruang publik menjadi hanya 3.447 hektar dan meningkatkan ruang usaha menjadi 17.497 hektar.
Tahun 2012 KLHK melalui SK No.21/IV-SET/2012 mengkonversi 303,9 hektar lahan di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik.
“Sebanyak 274,13 hektar dari total 275 hektar ruang usaha diserahkan kepada perusahaan itu untuk dibangun resort-resort eksklusif,” pungkasnya.