- Sten Lodge Eco Homestay dan Restoran Dapur Tara sangat terkenal di kalangan wisatawan asing yang mengunjungi destinasi wisata super premium Labuan Bajo, NTT. Tempat ini berada di tengah rimba, lebatnya hutan alam Manggarai di daerah yang tidak ada listrik dan sinyal telepon genggam
- Sang pemiliknya, Elisabeth Yani Tararubi mengaku tetap mempertahankan keasrian alamnya saat membangun tempat usaha ini dan tanpa menebang satu pohon pun. Ia mengusung konsep pondok di tengah kebun atau hutan yang bisa mendatangkan kedamaian yang justru dicari wisatawan mancanegara
- Lis sapaannya mengaku gelisah dengan perilaku masyarakat yang suka menembak burung. Menurutnya, pegunungan Mbeliling kaya akan burung termasuk burung endemik Flores, berpotensi sebagai ekowisata bird watching yang bagus dan belum disadari masyarakat. Ini membuatnya kerap menegur siapa saja yang dijumpainya membawa senapan angin di daerahnya
- Restoran Dapur Tara menyajikan kuliner lokal dengan bahan-bahannya berasal dari kebun yang ada di lokasi usaha ini termasuk juga membeli dari petani sekitar. Segala perlengkapan makan pun berasal dari bahan-bahan alam
Pepohonan besar dan hutan lebat tampak di pelupuk mata saat memarkir kendaraan di depan papan nama restoran Dapur Tara. Jalan berbatu dan becek ke arah barat harus dilewati sesuai penunjuk arah.
Hati kecil bertanya, apakah benar ini jalan menuju ke tempat Sten Lodge dan Restoran Dapur Tara. Usai diguyur hujan, jalan berbatu tersebut tampak becek dan tergenang air. Terlihat sepeda motor berderet di parkir di pinggir jalan beraspal mulus Trans Flores Labuan Bajo-Ruten.
Sepanjang jalan menuju Sten Logde diapit kebun dan hutan. Perasaan tersesat di tengah hutan menghantui meski kaki tetap melangkah pelan menapaki jalan.
“Welcome to the jungle,” sapa Elisabeth Yani Tararubi pemilik Dapur Tara dan Sten Lodge sambil tertawa kecil, saat ditemui Mongabay menjelang senja pada pertengahan Desember 2021 lalu.
baca : Pulau Peucang Yang Bikin Hati Tenang
Terinspirasi Gua
Dapur Tara dan Sten Lodge berjarak sekitar 22 km dari Kota Labuan Bajo. Menyusuri jalan negara Trans Flores Labuan Bajo-Ruteng ke arah selatan di Melo, Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Tempat ini dulu dikenal bernama Lembah Pesari, daerah yang dihuni para pembuat gula aren. Sten Lodge mulai dibangun sejak 2018 di atas tanah seluas sehektar yang dibeli dari penduduk setempat.
Sebelum kembali ke Flores, Lis sapaan perempuan asal Kloangrotat, Desa Pogon, Kabupaten Sikka ini telah malang melintang di Jawa sebagai bidan. Kecintaan pada Nusa Nipa (Pulau Ular) menghantar Lis kembali ke pulau ini.
“Karena saya anak gunung dan saya senang sekali memperkenalkan kehidupan orang Flores ke orang lain. Saya cinta sekali dengan budaya Flores dan mencintai Indonesia,” ucapnya.
Kehidupan masa kecil di kampung membuatnya mempertahankan konsep alam dan kebun di tempat usahanya. Cinta pula yang membuat ia tidak ingin menebang pohon karena terkenang keasrian hutan di kampungnya masa kecil dulu.
Ini tampak nyata dari hijaunya lingkungan tempat usahanya. Ia pertahankan konsep kebun dengan menanam aneka sayur-sayuran, buah-buahan dan obat herbal. “Kami setahun melakukan penataan dan tanpa menebang pohon. Setiap hari wajib menanam dan wajib berkebun,” tuturnya.
Sebanyak lima penginapan Sten Lodge Eco Homestay tampak unik. Bangunan ini mirip pondok di tengah kebun diapit rimbunnya pepohonan dan semak belukar.
Batu ceper disusun sebagai pijakan sepanjang jalan di dalam lokasi ini. Bisa dimaklumi, selain musim hujan,lokasinya pun tergolong lembab.
Saat hujan, air mengalir dari bebatuan. Sebuah bilah bambu dipakai mengalirkan air ke pancuran dekat pohon besar di sisi barat restoran.
“Saya terinspirasi dengan banyaknya gua yang ada di Manggarai sehingga bangunan penginapan berbentuk seperti ini. Semua bahan-bahannya seperti bambu, kayu dan ilalang termasuk tukang yang mengerjakannya dibawa dari Maumere,” terangnya.
baca juga : Menengok Waturaka, Desa Ekowisata Terbaik Nasional di NTT
Konsisten Jaga Alam
Selain tempat tidur, kursi dan kelambu, sebuah lampu serta tempat charge baterei ponsel dan peralatan elektronik disediakan di dalam setiap pondok berkapasitas dua orang. Listriknya dari panel surya.
“Belum ada sama sekali tamu asal Indonesia yang menginap, makanya kita heran. Apakah orang Indonesia suka yang modern sementara orang asing suka yang tradisional ataukah tempat kita yang belum dikenal orang Indonesia?” ucapnya seraya menerawang.
Lis menggarisbawahi, tempat usahanya berlumpur, sepi, tidak ada sinyal telepon genggam dan listrik. Namun ia bangga sebab wisatawan mancanegara senang. Alasannya, tidak ada elektromagnet untuk tubuh.
Sisi lain, dia mengaku gelisah dengan tingkah laku masyarakat yang suka menembak burung. Menurutnya, pegunungan Mbeliling ini kaya akan burung yang bagus untuk bird watching dan belum disadari masyarakat.
Sikap geram ditunjukkannya dengan menegur siapa saja yang ditemuinya menenteng senapan angin di dekat lokasinya. Ia tak ingin merdunya kicauan burung di hutan ini kelak tinggal ceritera.
“Kesadaran masyarakat untuk tidak menembak burung masih minim. Padahal di hutan Mbeliling banyak burung endemik Flores. Tamu saya mau menginap lama karena ingin mendengar kicauan burung dan melihatnya,” ucapnya.
baca juga : Ini Pariwisata Kerakyatan Ala Pemprov NTT. Seperti Apa?
Perempuan kelahiran Maumere tahun 1985 ini sedikit menyinggung soal Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium.
Ia akui tidak mengerti dengan pariwisata super premium. Apakah mungkin ke arah modernisasi dengan pembangunan di kota yang begitu banyak?.
Lis melihat Labuan Bajo menjadi kota yang sangat cepat berkembang tanpa edukasi dan informasi yang bagus kepada masyarakat. Dampaknya akan ada 2 gelombang besar nantinya.
Dia takutkan, masyarakat lokal hanya jadi penonton dan tidak berbuat apa-apa ataukah orang akan benar-benar modern dan melupakan akar budayanya. Menurutnya,kualitas masyarakat lokal perlu ditingkatkan.
“Bisa jadi kita menjadi kehilangan identitas. Premium ini untuk siapa? Pembangunan Labuan Bajo efeknya untuk siapa? Orang lokal tempatnya dimana?,” ucapnya penuh tanya.
Istri Lars Borgudd asal Swedia ini berpesan jangan kita terkesima dengan status premium. Tetaplah jaga alam dan budaya kita. Jangan sampai pulau kita yang kecil ini kehilangan identitas hanya karena pariwisata.
“Flores kalau jadi ekowisata maka wisatanya sangat kuat, tapi kalau semua dijadikan beton termasuk di Pulau Rinca maka tidak ada kekuatan lagi. Yang dicari wisatawan adalah keindahan alam dan keramahan manusianya,” ungkapnya.
Kuliner Lokal
Bangunan restoran Dapur Tara pun mengusung konsep alam. Konstruksinya dari kayu, berdinding bambu belah dan anyaman bambu serta beratap ilalang.
Dua pohon besar mengapitnya di bagian belakang. Bagian depan, tanaman merambat memayungi pelataran pintu masuk.
Restoran ini menyajikan menu masakan tradisional Flores. Bahan makanan berasal dari kebun organik yang ada di lokasi ini. Pengunjung bisa bersantap di bawah rindangnya pepohonan sambil menikmati suasana alam.
Ada minuman kopi Manggarai dan teh herbal. Makanannya ada Nasi Kolo (nasi yang dibakar di bambu), dan ayam asap serta lawar.
“Kami mengkhususkan diri sajikan makanan tradisional Flores dengan bahan-bahan utamanya dari kebun organik kami atau petani sekitar sini. Ada jungle breakfast dan jungle lunch yang disajikan dengan buah-buahan segar,” ucap Lis.
menarik dibaca : Nikmatnya Masakan dari Hutan Papua Ala The Jungle Chef
Ia mengaku awalnya tidak percaya diri membuka restoran karena tidak bisa menyediakan makanan yang biasa dikonsumsi wisatawan asing. Sang suami katakan, harus hidangkan makanan lokal.
Terbukti banyaknya komentar positif diperoleh. Ini yang membuat dirinya terlecut agar terus hidangkan panganan lokal.
“Kami senang dan para tamu juga senang kalau mereka tahu makanan yang dimakan kita tanam dan kita petik. Ini yang membuat mereka menyadari makanan yang dimakan merupakan makanan sehat,” tuturnya.
Tak hanya kuliner, perlengkapan makan pun terbuat dari bahan alam. Piring, gelas, sendok dan garpu terbuat dari kayu, buah labu, tempurung kelapa, bambu serta anyaman bambu dan pelepah pinang.
Terkadang tamu diajak memetik bahan makanan di kebun dan mengolahnya sendiri. Tamu wajib makan malam bersama agar ada kesempatan berbagai ilmu dan pengalaman.
Omzet dari tempat usahanya 10 persen disisihkan bagi pendidikan dan kesehatan anak-anak sekitar. Ia mendirikan PAUD Pelangi Baru dengan biaya sekolah berupa hasil kebun orang tua murid.
Ia juga mendirikan sekolah Anak Alam Flores dengan jumlah siswa 100 orang. Sekolah alam ini menekankan pendidikan karakter. Anak diajari mengenai adat, budaya, mencintai alam dan lingkungan selain ilmu pengetahuan.
Tamu yang menginap pun diajak menjadi relawan dan mengajar di sekolah ini serta berinteraksi dengan masyarakat. Wisata budaya dikedepankan sehingga tamu yang datang disapa secara adat, disambut tarian, musik dan ritual adat.
Lis mengaku tetap dan harus konsisten dengan konstruksi alam sebab kalau harus menjadi modern maka kita akan kehilangan akar budaya kita.
“Saya tukang protes tapi melakukannya dengan berbuat dan mempertahankan keaslian alam, lingkungan dan mempertahankan adat budaya. Saya merasa lebih damai sebab bisa kembali ke akar kehidupan saya,” pungkasnya.
***
Keterangan foto utama : Bangunan Sten Lodge Eco Homestay Sten Lodge Eco Homestay di Melo, Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, NTT yang terinspirasi dari gua dan dibuat dari bahan-bahan alam dari Flores. Foto : Sten Lodge Eco Homestay