- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus mengejar kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sepanjang 2021. Seluruh kegiatan dan program kerja bersama sumber daya manusia (SDM) dikerahkan untuk bisa mendapat nilai PNBP terbaik
- Semua kerja keras tersebut berbuah hasil di penghujung tahun dengan torehan sejarah berupa nilai PNBP tertinggi selama KKP berdiri. Selama setahun ini, KKP sukses mengumpulkan PNBP hingga mencapai Rp1 triliun
- Namun, walau mencetak nilai terbaik PNBP, KKP tidak boleh hanya fokus pada itu saja. Tetapi, harus juga melihat permasalahan lain yang belum diselesaikan. Utamanya, adalah tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam
- Selain PNBP, KKP juga fokus menerapkan ekonomi biru dalam kegiatan pengelolaan ruang laut. Selama setahun ini, penambahan luas kawasan konservasi perairan menjadi fokus, bersama dengan pengelolaannya dengan melibatkan masyarakat pesisir
Sektor kelautan dan perikanan yang semula dinilai tidak mampu mendulang banyak pemasukan buat kas Negara, kini mulai bisa berbuat lebih baik. Sepanjang 2021, sektor tersebut mampu mengumpulkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan nilai mendekati Rp1 triliun.
Pendapatan fantastis tersebut diklaim menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berdiri. Capaian tersebut bisa terjadi, karena ada perbaikan tata kelola, khususnya pada subsektor perikanan tangkap dan pengelolaan ruang laut (PRL).
Menteri Kelautan dan Perikana Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, angka PNBP 2021 hampir pasti akan melampaui Rp1 triliun, karena masih ada tagihan yang belum terbayarkan dengan nilai masing-masing Rp35 miliar dan Rp350 miliar.
Sebagai perbandingan, PNBP KKP dalam dua tahun sebelumnya berada di angka Rp600-an miliar dan Rp500-an miliar. Sehingga perolehan PNBP menjadi Rp1 triliun di 2021 menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan.
Menteri Trenggono memastikan, PNBP yang didapat akan digunakan sepenuhnya untuk percepatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Mulai dari perbaikan sarana dan prasarana di pelabuhan, program bantuan kepada masyarakat, hingga program-program yang tujuannya meningkatkan kualitas dan ekspor produk perikanan Indonesia.
Walau dinilai berhasil mencetak angka fantastis PNBP, namun dia mengakui kalau capaian tersebut belum maksimal dan akan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang. Dia optimis, PNBP akan naik terus seiring diterapkannya tiga program terobosan mulai 2022 mendatang.
Selain kebijakan penangkapan ikan secara terukur yang menjadi sorotan publik, ada dua program lainnya, yaitu pengembangan perikanan budi daya komoditas berorientasi ekspor, dan pembangunan kampung budi daya perikanan berbasis kearifan lokal di banyak lokasi.
baca : Catatan Akhir Tahun : Era Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap Dimulai pada 2022
Tentang capaian yang diraih KKP, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim berpendapat lain. Menurut dia, kepada Mongabay Indonesia pada Sabtu (25/12/2021), capaian tersebut tidak seharusnya membuat KKP merasa lega dan berbangga diri.
Pasalnya, walau capaian tersebut patut untuk mendapatkan apresiasi, namun raihan signifikan tersebut tidak bisa diklaim karena prestasi dari kepemimpinan KKP periode sekarang. Menurutnya, PNBP bisa terus merangkak naik signifikan, karena ada peran bersama dari beberapa Menteri sebelum Sakti Wahyu Trenggono memimpin.
Dia menyebutkan kalau upaya perbaikan sistem dan tata kelola sudah dilakukan sejak Susi Pudjiastuti memimpin dan berlanjut pada era Edhy Prabowo. Perbaikan tersebut secara bertahap melahirkan banyak kebijakan yang bisa mendorong peningkatan PNBP.
Abdul Halim mengatakan, dengan capaian yang sudah diraih pada 2021, maka tidak ada jalan lain yang harus dilakukan oleh KKP, selain memberikan pelayanan terbaik dan perbaikan di semua lini. Dengan demikian, para pemilik modal akan memberikan layanan terbaik yang bisa dilakukan.
“Misalnya, fokus bagaimana meningkatkan pelayanan, administrasi, dan atau pelayanan pada nelayan saat mereka pulang dari melaut. Juga, untuk penyewaan lahan, pengolahan, dan lainnya yang bisa menjadi pemasukan bagi Negara,” papar dia.
Dengan naiknya nilai PNBP, maka tantangan berikut juga harus bisa dilewati oleh KKP pada periode kepemimpinan sekarang dan akan datang. Tantangan itu, utamanya adalah bagaimana memperbaiki kinerja menjadi lebih bagus lagi, dan meningkatkan produktivitas kelautan dan perikanan.
Selain itu, pekerjaan rumah yang hingga kini masih belum bisa diselesaikan, adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam skala kecil yang ada di seluruh wilayah pesisir Indonesia.
baca juga : Klaim Keberhasilan di Catatan Akhir Tahun Pemerintah 2021 untuk Sektor Perikanan Budidaya
Tak lupa, Halim juga meminta agar KKP bisa memperbaiki pengelolaan perikanan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang sejak 2016 hingga sekarang, belum ada revisi peraturan untuk tata kelolanya.
Dengan memperbaiki tata kelola, maka permasalahan yang masih dijumpai di WPPNRI diharapkan bisa diselesaikan. Misalnya saja, tumpang tindih pelaksanaan kewenangan di tingkat daerah, provinsi, dan pusat dalam melaksanakan pengelolaan kelautan dan perikanan.
“Karena masih semrawut implementasi, berimbas pada kesemrawutan pada level daerah untuk mengelola perikanan. Itu berimbas pada ketidakpastian usaha bagi skala kecil dan menengah di daerah,” tegas dia.
Dengan semua pertimbangan tersebut, Abdul Halim merasa pesimis kalau kebijakan penangkapan ikan secara terukur yang rencananya akan mulai berlaku pada 2022, akan berjalan dengan baik. Baginya, persoalan mendasar yang ada saat ini belum juga dibenahi oleh KKP.
Paling mendasar dari semua itu, adalah kajian stok ikan yang hingga sekarang belum ada pembaruan sejak terakhir kali dilaksanakan pada 2017. Padahal, dengan adanya kajian terbaru stok ikan, itu akan bisa memetakan wilayah mana yang bisa dimanfaatkan dan dengan jumlah armada kapal yang jelas.
“Jangan hanya fokus pada peningkatan PNBP saja, namun juga lihat persoalan lainnya,” pungkasnya.
baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?
Ekonomi Biru dalam Konservasi
Selain PNBP, fokus yang berjalan pada 2021 juga adalah penerapan ekonomi biru yang terus diakselerasi dalam semua program kerja dan kegiatan oleh KKP. Prinsip tersebut, juga berlaku dalam melaksanakan pengelolaan ruang laut yang di dalamnya mencakup pembentukan kawasan konservasi perairan.
Sepanjang 2021, luas kawasan konservasi perairan sudah mencapai 28,4 juta hektare (ha). Luasan tersebut, mencakup di dalamnya adalah kawasan yang dinilai sudah mencapai status efektivitas pengelolaan.
Dalam melakukan penilaian, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) KKP menggunakan metode evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi (EVIKA) yang berperan sebagai alat penilaian. Sejauh ini, luasan kawasan yang dinilai EVIKA sudah efektif mencapai 12,5 juta ha.
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen PRL KKP Pamuji Lestari mengatakan, penilaian yang dilakukan dengan alat EVIKA tersebut, adalah untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan yang berjalan di dalam kawasan konservasi yang sudah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dengan total yang sudah ditetapkan saat ini, kawasan konservasi perairan diharapkan bisa berperan untuk ikut mengendalikan beragam dampak buruk yang timbul akibat pembangunan. Dengan pengelolaan yang tepat, juga diharapkan bisa mengendalikan ekosistem laut dan pesisir.
Dia menyebutkan, dengan luas 28,4 juta ha, saat ini terdapat 411 kawasan konservasi perairan yang menyebar di berbagai provinsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70 kawasan ditetapkan langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Dan, kawasan seluas 12,5 juta hektare yang sudah dinilai dengan EVIKA, adalah kawasan yang ditetapkan oleh Menteri langsung,” jelas dia di Jakarta belum lama ini.
perlu dibaca : Hari Laut Nasional : Apakah Konservasi Kawasan Perairan Sudah Berjalan Baik di Indonesia?
Selain kawasan yang ditetapkan langsung oleh KKP, ada juga kawasan konservasi perairan yang ditetapkan oleh instansi pemerintah lainnya. Kawasan-kawasan tersebut, akan saling terhubung dan membantu dalam mewujudkan Indonesia bisa mencapai target pada 2030 mendatang.
Target yang dimaksud, adalah total luas kawasan konservasi minimal mencapai 10 persen dari luas wilayah laut Indonesia atau mencapai minimal 32,5 juta ha. Itu berarti, dengan luas 28,4 juta ha saat ini, Indonesia sudah hampir mendekati target yang diinginkan.
Adapun, rincian 411 kawasan konservasi perairan yang saat ini ada, 10 lokasi diantaranya adalah berstatus kawasan konservasi nasional (KKN) dengan luas mencapai 5,3 juta ha. Kemudian, 30 kawasan konservasi seluas 4,6 juta ha saat ini dikelola langsung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sementara, sisanya sebanyak 371 lokasi adalah berstatus kawasan konservasi daerah dengan luas mencapai 18,5 juta ha. Dari luasan tersebut, di dalamnya terdapat kawasan konservasi yang fokus pada ekosistem terumbu karang.
Seluruh kawasan konservasi perairan tersebut, dalam pengelolaannya melibatkan masyarakat sekitar yang terdiri dari masyarakat hukum adat (MHA) dan masyarakat pesisir. Saat ini, ada 32 MHA di wilayah pesisir Indonesia.
Keterlibatan MHA dan masyarakat pesisir, menjadi kunci karena sudah ada mandat bahwa pengelolaan kawasan konservasi perairan harus membentuk kelembagaan. Dengan demikian, kawasan yang sudah ditetapkan bisa dikelola dengan maksimal.
Pamuji Lestari mengklaim kalau kawasan konservasi perairan yang ada saat ini sudah dilakukan pengelolaan dengan maksimal. Namun, dia tidak membantah jika ada kawasan yang pengelolaannya masih belum cukup baik.
“Dan yang masih minimum (pengelolaannya) akan kita tingkatkan lagi,” jelasnya.
baca juga : Fokus Kegiatan Riset Kelautan dan Perikanan: Ekonomi Biru
Selain yang sudah ada, upaya untuk menambah luasan kawasan konservasi juga terus dilakukan. Sepanjang 2021, penyusunan rencana zonasi untuk 12 kawasan terus dikebut oleh KKP.
Rinciannya dokumen dilakukan untuk penetapan dua kawasan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN), delapan pulau untuk Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT), dan dua kawasan untuk Rencana Zonasi Kawasan Antar Wilayah (RZ KAW).
Selain itu, dilakukan juga pengintegrasian Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan RZ KSN ke dalam Rencana Tata Ruang (RTR) KSN sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja.
Pengesahan dokumen rencana zonasi menjadi sangat penting, karena menurut Pamuji Lestari, itu bisa menjawab berbagai isu yang sudah ada sejak lama. Misalnya saja, tentang isu belum tertatanya pemanfaatan ruang laut; dan tingginya tingkat degradasi habitat dan sumber daya ikan, pesisir, dan laut.
Dengan semua permasalahan yang ada saat ini, maka diperlukan intervensi pengelolaan melalui perencanaan ruang laut yang terintegrasi, upaya konservasi dan keanekaragaman hayati laut, pendayagunaan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta penataan dan pemanfaatan jasa kelautan.
Intervensi yang dilakukan tersebut, memiliki kaitan erat dengan penerapan pembangunan kelautan dan perikanan dengan landasan ekonomi biru yang kuat melalui penyiapan regulasi dan kebijakan yang terintegrasi. Tujuan tersebut, salah satunya untuk menjaga kesehatan laut, sekaligus mencegah munculnya konflik pemanfaatan ruang laut dan sumber daya kelautan.
Lebih detail, Sekretaris Ditjen PRL KKP Hendra Yusra Siry mengungkapkan bahwa penerapan ekonomi biru juga dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil/terluar, mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan kawasan konservasi dan jenis ikan.
Selain itu, ekonomi biru juga berjalan dalam kegiatan untuk MHA, tradisional, dan lokal; serta kegiatan pemanfaatan ruang laut, sumber daya, dan jasa kelautan, yang di dalamnya mencakup tentang pergaraman, wisata bahari, dan biofarmakologi.