- Potensi perikanan tangkap Indonesia diklaim sangat besar oleh Pemerintah Indonesia. Saat ini, nilai produksi perikanan tangkap jumlahnya ditaksir bisa mencapai Rp132 triliun per tahun, dengan potensi produksi hingga mencapai 10 juta ton dalam setahun
- Namun, selama ini potensi itu tidak bisa dimanfaatkan maksimal karena berbagai faktor penghambat. Salah satunya, karena ada praktik kecurangan yang dilakukan para pemilik kapal perikanan di Nusantara
- Praktik itu mengakibatkan ikan yang sudah diambil dari laut, akan mengalami penyusutan jumlah saat dilakukan penghitungan di tempat pendaratan ikan. Akibatnya, Negara harus mengalami kerugian dalam jumlah banyak, meski ikan sudah masuk ke dalam kapal perikanan
- Agar praktik itu menghilang, Pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah RI No.85/2021 dan akan diberlakukan mulai awal 2023 mendatang. Aturan tersebut akan mengubah penghitungan dari pra produksi menjadi pasca produksi
Wilayah perairan laut di Indonesia sejak lama menjadi lokasi favorit bagi para pemilik kapal yang terbiasa memalsukan ukuran kapal perikanan mereka menjadi lebih rendah dibandingkan dengan ukuran aslinya. Praktik tersebut membuat Negara mengalami kerugian karena nilai pajak menjadi berkurang.
Akibat praktik tersebut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan nilainya tidak signifikan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut harus diatasi secara bersama dengan membuat terobosan yang bisa memperbaiki keadaan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhamamd Zaini menjelaskan, salah satu upaya yang telah dilakukan KKP dalam mencegah terjadinya praktik ilegal tersebut, adalah dengan menetapkan skema pungutan PNBP pasca produksi.
Penetapan skema tersebut diyakini bisa menjadi solusi dalam upaya memberantas praktik pengelabuan ukuran kapal menjadi lebih rendah (mark down) yang bisa dilakukan oleh pemilik kapal-kapal perianan berukuran di Nusantara.
“(Juga) mendongkrak PNBP sumber daya alam perikanan yang selama ini masih minim,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.
Dengan kata lain, melalui penetapan skema pungutan PNBP pasca produksi, celah untuk melakukan praktik kecurangan ukuran kapal perikanan akan tertutup sama sekali. Hal itu bisa terjadi, karena formulasi untuk skema pungutan tidak akan lagi menyertakan ukuran kapal.
Akan tetapi, saat dilakukan penghitungan besaran pungutan PNBP Pasca Produksi, yang akan dilakukan oleh KKP adalah penekanan pada dua poin. Di antaranya adalah penghitungan indeks tarif dan nilai produksi ikan saat didaratkan di pelabuhan perikanan.
baca : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara
Penghitungan skema pungutan tersebut sudah diatur secara resmi dan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Zaini menerangkan, sebelum PP tersebut ditetapkan, penghitungan skema pungutan PNBP pasca produksi pada sektor kelautan dan perikanan sangat dipengaruhi oleh ukuran tonase kapal. Akibatnya, banyak pemilik kapal yang melakukan kecurangan dengan mengelabui ukuran kapal yang sebenarnya.
“Ini bukan hanya merugikan keuangan Negara saja, tapi juga mengacaukan penghitungan sumber daya ikan yang dimanfaatkan,” jelas dia.
Meski demikian, walau sudah ditetapkan dalam bentuk PP, skema pungutan PNBP pasca produksi pada subsektor perikanan tangkap baru akan diberlakukan secara resmi pada awal 2023 mendatang. Aturan tersebut akan diterapkan secara menyeluruh di pelabuhan perikanan seluruh Indonesia.
Menurut dia, saat ini hingga akhir 2022 mendatang, sistem yang berlaku dan digunakan secara resmi adalah penghitungan pra produksi yang skemanya meliput penghitungan poin tarif range gross tonnage, produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan tonase kotor kapal.
Dengan melihat skema penghitungan pra produksi tersebut, Muhammad Zaini menilai kalau skema penghitungan pasca produksi adalah cara yang tepat untuk menegakkan keadilan bagi Negara dan juga pelaku usaha perikanan.
“Sebab pemilik kapal membayar tarif PNBP sesuai dengan jumlah ikan yang didaratkan dan harga ikan ketika didaratkan,” ungkap dia.
baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?
Rasa adil yang dijamin akan didapat oleh kedua belah pihak, adalah karena ada kategori persentase tarif yang terbagi menjadi dua. Pertama, adalah besaran tarif 5% dari hasil tangkapan untuk kapal penangkapan ikan berukuran maksimal 60 gros ton (GT).
Kedua, adalah besaran tarif 10% dari hasil tangkapan ikan untuk kapal penangkapan ikan berukuran di atas 60 GT. Persentase tarif ini lebih sedikit dibanding sistem pra produksi yang menyertakan tarif PNBP 25 persen.
Zaini menerangkan, penerapan skema penghitungan pasca produksi dinilai lebih baik, karena itu akan menghitung seluruh ikan yang sudah berhasil ditangkap dan kemudian didaratkan. Juga, akan dihitung berapa harga jual ikan yang berlaku pada saat tersebut.
“Jadi tidak bisa lagi kira-kira. Jadi berapa jumlahnya, lakunya berapa, jenis (kapalnya) apa. Itulah yang menjadikan patokan, apakah lima persen atau sepuluh persen,” tegas dia.
Penetapan PP 85/2021 menjadi langkah awal untuk memperbaiki kinerja keuangan dari KKP yang selama ini selalu tidak mencapai hasil yang memuaskan. Aturan yang menjadi dasar penerapan tarif pasca produksi itu, bisa menjadi momentum untuk meningkatkan PNBP dari subsektor perikanan tangkap.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan Kementerian Keuangan RI Kurnia Chairi. Menurut dia, meski tumbuh positif dalam lima tahun ini, namun kontribusi PNBP perikanan hanya mencapai 1,5 persen dari rerata penerimaan sumber daya alam non migas.
Detailnya, sepanjang periode 2015 hingga 2020 rerata nilai PNBP perikanan baru mencapai Rp417 miliar tahun. Angka tersebut dinilai masih jauh di bawah angka PNBP dari minerba, kehutanan, dan panas bumi yang nilainya mencapai angka triliunan rupiah setiap tahun.
“Secara besaran, sumber daya alam dari perikanan ini memang yang paling kecil dibanding sumber daya alam lain dari sisi non migas,” tutur dia.
perlu dibaca : Ini Tantangan Menyeimbangkan Fungsi Ekonomi dan Ekologi di Laut Nusantara
Di sisi lain, walau mendapat sorotan karena menjadi instansi Negara yang menyumbangkan nilai PNBP kecil, KKP terus berupaya untuk mewujudkan peningkatan PNBP melalui kebijakan perikanan terukur.
Diketahui, untuk meningkatkan PNBP perikanan, KKP akan mulai menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur pada awal 2022. Kebijakan tersebut adalah pengendalian yang dilakukan dengan menerapkan sistem kuota (catch limit) kepada setiap pelaku usaha.
Kebijakan tersebut akan memberikan batasan untuk area penangkapan ikan dan jumlah ikan dengan memberlakukan sistem kuota melalui kontrak penangkapan untuk jangka waktu tertentu, musim penangkapan ikan, dan jenis alat tangkap.
Juga, memberlakukan pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan/pembongkaran ikan, suplai pasar domestik, dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang ditetapkan.
Adapun, kuota penangkapan sendiri ditentukan berdasarkan kajian dari Komite Nasional Pengkajian Stok Ikan (Komnas Kajiskan) dan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Kuota akan diberikan kepada pelaku usaha atau nelayan dengan pembagian kuota untuk nelayan tradisional, tujuan komersial, dan non komersil.
Terakhir, penerapan kebijakan tersebut juga untuk menghentikan penangkapan ikan berlebihan (overfishing) yang mengancam populasi perikanan, dan sekaligus menghapus praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tak sesuai regulasi (IUUF) dan mengubahnya menjadi praktik legal, dilaporkan, dan sesuai regulasi (LRRF).
baca juga : Pengawasan Terintegrasi untuk Penangkapan Ikan Terukur Mulai Awal 2022
Sebelumnya, Direktur Jenderal PSDKP KKP Adin Nurawaludin mengaku sudah menyusun strategi pengawasan saat kebijakan penangkapan terukur mulai berjalan pada awal 2022. Strategi yang sudah disiapkan itu terdiri dari empat tahapan.
Rinciannya, adalah pengawasan sejak dari sebelum kegiatan penangkapan ikan (before fishing), saat sedang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan (while fishing), selama pendaratan hasil tangkapan ikan (during landing), dan setelah pendaratan hasil tangkapan ikan (post landing).
Selain penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur yang merupakan bagian dari program peningkatan PNBP dari sumber daya alam perikanan tangkap, ada dua program prioritas lain KKP yang diharapkan bisa ikut membangkitkan ekonomi dari perikanan dan kelautan.
Keduanya adalah pengembangan subsektor perikanan budi daya untuk peningkatan ekspor yang didukung riset kelautan dan perikanan. Kemudian, pembangunan kampung-kampung perikanan budi daya tawar, payau, dan laut berbasis kearifan lokal.
Tiga program prioritas tersebut akan berjalan dalam kurun waktu dari 2021 hingga 2023 mendatang. Khusus untuk penangkapan terukur, KKP berharap bisa mendorong peningkatan PNBP dengan cepat, karena nilai produksi perikanan laut Indonesia mencapai Rp132 triliun per tahun.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trengono, nilai produksi sebanyak itu memberikan peluang produksi hingga melebihi 10 juta ton per tahun. Selain itu, kebijakan penangkapan terukur bisa memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekologi dan ekonomi.