- Kawanan monyet sering menjadi objek foto dan diberi makanan di jalan Trans Parigi-Palu, Sulawesi Tengah atau lebih terkenal dengan sebutan jalan Kebun Kopi.
- Kelompok monyet yang sering turun tersebut adalah monyet boti [Macaca tonkeana] dan Macaca hecki. IUCN, Lembaga Konservasi Dunia, memasukkan keduanya dalam kategori Rentan.
- Pemberian makanan pada kelompok monyet itu, dapat mempercepat terjadinya penurunan populasi, jika masyarakat sudah menganggap monyet endemik Sulawesi ini sebagai hama atau pengganggu.
- Macaca yang terlalu sering berinteraksi dengan manusia akan membawa risiko menjadi penyebar zoonosis dari virus, bakteri, maupun parasit penyakit dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Sebab monyet dapat menjadi perantara penyakit zoonosis, seperti tularemia, tuberkulosis, dan hepatittis.
Seorang pengendara motor memperlambat laju motornya, lalu berhenti dan memarkir motornya di tepi jalan. Tidak berapa lama dia mengeluarkan handphone, kemudian memotret gerombolan monyet yang ada di pinggir jalan.
Setelah itu, dia memberikan makanan berupa roti kepada seekor monyet. Melihat itu, monyet-monyet lain mendekatinya. Lokasinya, berada di jalan Trans Parigi-Palu, Sulawesi Tengah, atau lebih terkenal dengan sebutan jalan Kebun Kopi.
Ketika melewati jalan ini, pemandangan monyet turun ke jalan dan menjadi objek foto serta diberi makanan tampak lumrah. Setiap hari, gerombolan monyet yang turun ke jalan ini seperti menjadi hiburan tersendiri bagi para pengguna jalan. Apalagi, di tempat tersebut terdapat lokasi untuk berswafoto dan menjadi salah satu titik yang paling banyak dijumpai gerombolan monyet. Tempat ini pula merupakan bagian dari hutan lindung dan cagar alam Pangi Binangga.
Gerombolan monyet yang sering turun tersebut adalah monyet boti [Macaca tonkeana], monyet endemik Sulawesi, banyak dijumpai di Sulawesi Tengah. Selain Macaca tonkeana, di area hutan lindung dan cagar alam ini juga merupakan wilayah jelajah Macaca hecki, oleh IUCN, Lembaga Konservasi Dunia, keduanya masuk dalam kategori Rentan.
Baca: Inilah Primata Endemik Sulawesi dengan Jambul di Kepala
Penelitian yang dilakukan Trianto, dkk [2021], pada Jurnal Biologi Tropis menjelaskan, pemberian pakan non-alami dapat menimbulkan konflik antara macaca dengan masyarakat lokal. Karena, sebagian besar pakan non-alami ini tersedia di sekitar home range [wilayah jelajah] macaca.
Adanya konflik antara macaca dengan masyarakat dapat mempercepat terjadinya penurunan populasi, yang berujung pada kepunahan jika masyarakat sudah menganggap monyet endemik ini sebagai hama atau pengganggu.
Dijelaskan lagi, macaca yang diberi makan oleh manusia akan rentan tertular penyakit. Selain itu, pembiasan pemberian pakan non- alami [pakan yang berasal dari luar habitat asli] oleh masyarakat, menyebabkan macaca mengalami penurunan keterampilan bertahan hidup di alam. Mereka mulai ketergantungan dengan makanan yang diberikan manusia, sehingga kesulitan mencari makanan sendiri.
Beberapa pakan non-alami yang diberikan merupakan makanan olahan, buah yang di jajakan oleh penjual buah di kebun kopi, dan ada pula buah dan sayuran yang dibudidayakan oleh masyarakat lokal di sekitar home range.
Para peneliti mengatakan, turunnya kelompok macaca ke jalan menimbulkan masalah baru dalam upaya konservasi satwa liar di Sulawesi Tengah. Kelompok macaca yang turun ke jalan menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat, yang dalam hal ini adalah para pelaku perjalanan yang melintas di jalan trans Palu-Parigi.
“Tidak sedikit yang berswafoto dengan satwa liar ini. Namun sangat disayangkan, mereka juga memberi makan monyet-monyet tersebut. Hal ini tentunya akan memberikan dampak buruk bagi kelangsungan hidup monyet endemik Sulawesi,” ungkap peneliti dalam jurnal itu.
Baca: Kisah Sartam, Hibahkan Satu Hektar Kebun untuk Kehidupan Satwa Liar
Lebih lanjut dijelaskan, macaca yang terlalu sering berinteraksi dengan manusia maka memiliki risiko menjadi penyebar zoonosis dari virus, bakteri, maupun parasit penyakit dari manusia ke hewan atau sebaliknya. Sebab, monyet dapat menjadi perantara penyakit zoonosis, seperti tularemia, tuberkulosis, dan hepatittis.
Penelitian tersebut menyebutkan, terdapat 14 jenis pakan non-alami atau pakan berasal dari luar habitat asli yang diberikan oleh penduduk lokal maupun pengguna jalan pada kelompok bercampur macaca hecki dan macaca tonkeana di kawasan Cagar Alam Pangi Binangga.
Pakan non-alami tersebut antara lain pisang, mangga, lalampa [sejenis lemper], belimbing, jagung, lengkeng, kacang, tomat, roti, keripik, anggur, labu siam, wortel, dan telur rebus. Beberapa pakan non-alami yang diberikan merupakan makanan olahan, buah yang di jajakan oleh penjual buah di jalan Kebun Kopi. Ada pula buah dan sayuran yang dibudidayakan oleh masyarakat lokal di sekitar home range.
Penelitian tersebut menyimpulkan, keberadaan monyet endemik Sulawesi [M. hecki dan M. Tonkeana] di sepanjang jalan trans Palu-Parigi yang berada dalam kawasan Hutan Lindung dan Cagar Alam Pangi Binangga menimbulkan berbagai permasalahan.
Sebut saja, masyarakat mengalami kejadian tidak menyenangkan dengan keberadaan monyet, barang dicuri, masuk ke perkebunan masyarakat, dan merusak berbagai jenis tanaman pertanian, seperti alpukat, cengkih, coklat, dan lainnya.
Baca juga: Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita
Abdul Haris Mustari, dalam bukunya, “Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi” [2020] menjelaskan ciri-ciri macaca tonkeana atau monyet boti yaitu panjang tubuhnya berkisar antara 500–700 mm dengan panjang ekor 30–70 mm. Berat tubuhnya 12–14 kg, bagian anggota badan didominasi warna hitam mengkilap, bagian perut dan dada agak terang.
Sementara rambut bagian kepala berwarna cokelat hingga cokelat gelap dan agak berjambul. Pada monyet boti muda, warna rambut pada kepala dan lehernya lebih gelap, dibandingkan monyet boti dewasa.
“Tidak ada perbedaan warna rambut jantan dan betina. Namun, bantalan kawin [ischial callocity] berbentuk oval, berwarna merah jambu. Di antara bantalan kawin tersebut tidak terdapat celah pemisah. Untuk rambut pada kaki tumbuh pendek,” ungkapnya.
Sedangkan macaca hecki, panjang tubuhnya berkisar antara 479–557 mm dengan berat berkisar 6,8–11,2 kg. Umumnya, tubuh macaca hecki lebih pendek jika dibandingkan dengan ukuran tubuh monyet di Sulawesi lainnya.
Sementara, bentuk mukanya lebar dengan jambul tegak. Warna tubuh hitam kecokelatan, rambut bagian depan berwarna hitam sangat gelap, sedangkan warna kakinya lebih terang.
“Ukuran bantalan kawinnya paling besar dibandingkan jenis monyet di Sulawesi lain. Bentuknya menyerupai ginjal,” ungkap Haris Mustari dalam bukunya.