- Indonesia berkomitmen mengalokasikan 10 persen wilayah lautan menjadi kawasan konservasi yang dilakukan bertahap dari 24,1 juta ha yang telah dicapai tahun ini menjadi 28,1 juta hektare pada 2024 mendatang sampai sedikitnya 30 juta ha pada 2030 mendatang.
- Ahli kelautan IPB melihat target perluasan kawasan konservasi perairan (KKP) menjadi rencana yang sangat ambisius, ditengah masih terjadinya perbedaan persepsi tentang konservasi dan kepentingan ekonomi diantara pemangku kepentingan
- Meski pengelolaan KKP terlihat makin baik, WWF menilai tantangan besar yang dihadapi, yaitu efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, dengan indikator utama yaitu biofisik, sosial ekonomi, dan tata kelola dengan pelibatan dua elemen kunci, yakni berbasis data/rekomendasi ilmiah, dan melalui proses konsultasi dengan seluruh elemen masyarakat atau pemangku kepentingan terkait.
- KKP menyebut kegiatan konservasi kawasan perairan sangat dipengaruhi oleh banyak data dan informasi. Tantangan terbesar yaitu yaitu efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, disamping minimnya alokasi sumber daya manusia pengelola, pendanaan, dan sarana dan prasarana
Pada peringatan Hari Kelautan Nasional setiap 2 Juli kali ini, ada hal yang menarik dibicarakan, yaitu tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan yang lestari melalui kawasan konservasi perairan (KKP).
Beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Indonesia sangat fokus untuk terus meningkatkan perlindungan wilayah laut melalui perluasan KKP. Perluasan dilakukan dengan terus memperbarui target yang sudah ditetapkan setiap tahun.
Pada tahun ini, Pemerintah menargetkan perluasan KKP bisa mencapai 28,1 juta hektare pada 2024 mendatang. Atau, 40 hektare lebih luas dibandingkan dengan capaian yang sudah didapat saat ini, yaitu seluas 24,1 juta ha.
Selain target yang ditetapkan pada 2024, Pemerintah Indonesia juga secara umum sudah menetapkan target perluasan kawasan konservasi perairan bisa mencapai sedikitnya 30 juta ha pada 2030 mendatang. Target tersebut berbeda dengan target pengelolaan kawasan konservasi yang sudah ditetapkan seluas 20 juta ha pada 2024.
Seluruh target tersebut, menjadi upaya yang sangat bagus dari Pemerintah Indonesia. Bahkan, tidak ada salahnya proses tersebut mendapatkan apresiasi dari para pihak yang terlibat dan memahaminya. Terlepas, masih ada kekurangan di sana sini selama proses perluasan dilaksanakan.
Lalu bagaimana sebenarnya upaya meningkatkan luasan kawasan konservasi perairan yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sejauh ini. Apakah sudah benar langkahnya, ataukah memang masih butuh perbaikan yang revolusioner?
baca : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal
Pakar ilmu kelautan dan perikanan Fredinan Yulianda mengatakan, apa yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini, seharusnya bisa menjadi upaya nyata untuk bisa mewujudkan perlindungan penuh wilayah perairan laut yang saat ini semakin banyak aktivitas di dalamnya.
Menurut pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut, mewujudkan luasan kawasan konservasi perairan menjadi program yang tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan. Namun, ada langkah yang lebih penting lagi yang seharusnya bisa dilakukan oleh Negara.
Fredinan yang memiliki keahlian dalam bidang Konservasi Perairan dan Ekowisata, Konservasi Sumberdaya Perairan, Ekowisata Perairan dan Ekologi Perairan, kalau melihat dari target perluasan saja sudah menjadi rencana yang sangat ambisius.
Para pihak yang berkepentingan dari Pemerintah, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), serta kementerian dan lembaga (K/L) lainnya, harusnya bisa memetakan dengan sangat detail seluruh tantangan perluasan wilayah konservasi perairan itu.
Fredinan melihat penetapan kawasan konservasi perairan belum menyentuh aspek kritis yang seharusnya menjadi sasaran utama dalam program tersebut.
Aspek yang dimaksud, di antaranya adalah berjalannya beragam fungsi yang berasal dari kawasan konservasi. Sebut saja, fungsi ekologi yang mencakup beragam fungsi lainnya seperti suplai benih larva, dan spin over.
“Sehingga ikan-ikan yang ada di kawasan konservasi bisa ada manfaatnya,” sebut pria yang juga Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB itu saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu, 30 Juni 2021.
baca juga : Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Harus Dilakukan Tepat, Seperti Apa?
Dengan melihat luasan kawasan konservasi yang sudah ada saat ini, dia merasa yakin bahwa fungsi-fungsi kritis tersebut masih banyak yang belum berjalan. Hal itu, dikarenakan masih adanya konflik kepentingan yang sangat kuat di dalam kawasan konservasi.
Adanya konflik kepentingan, membuat fungsi konservasi untuk mempertahankan keseimbangan kehidupan yang ada di laut akan sulit untuk bisa dijalankan. Meskipun, fungsi konservasi akan bisa menjaga keseimbangan ekologi dengan sangat baik.
Dari situ, maka akan tercipta kondisi perairan yang baik, dan pencemaran di perairan laut bisa dikendalikan hingga batas minimal. Kedua hasil tersebut akan memicu lahirnya indikator-indikator seperti ikan yang sehat dengan populasi yang baik, dan lingkungan yang baik.
Melalui penilaian seperti di atas, maka bisa disimpulkan bagaimana kondisi kawasan konservasi yang ada di wilayah perairan laut Indonesia. Hingga saat ini, semua fungsi disebutkan di atas, masih belum berjalan dan bahkan tidak ada sama sekali.
Itu artinya, “Kalau kawasan konservasi ada di sana, maka di sekitarnya harus ikut mendukung. Namun, jika di sekitar kawasan konservasi masih ada docking kapal, atau pembangunan reklamasi, maka itu tidak akan maksimal,” kata Fredinan.
Masih belum terciptanya indikator kebaikan yang menjadi tanda keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi perairan, bisa terjadi karena manajemen pengelolaan yang dilakukan saat ini belum optimal. Padahal, manajemen pengelolaan itu sifatnya harus terintegrasi antara satu dengan yang lain, dan tidak bersifat mono saja.
“Kalau melihat ke sana, masih belum berjalan ya (fungsi konservasi). Masih jauh. Jadi bukan sekedar fungsi untuk melindungi saja,” tambah dia.
perlu dibaca : Begini Dampak Pandemi Bagi Masyarakat di Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Timur
Salah satu sebab kenapa manajemen pengelolaan masih belum sesuai harapan, adalah karena tidak adanya regulasi tentang tata ruang wilayah laut yang benar-benar fokus membela tentang konservasi. Kalaupun ada, itu sifatnya hanya normatif saja.
Fredinan Yulianda memaparkan, beberapa regulasi yang mengatur tentang konservasi, di antaranya adalah Undang-Undang No.26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No.7/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Kedua UU tersebut di dalamnya sudah tegas mengatur alokasi untuk ruang konservasi. Namun, apakah dalam pelaksanaan di lapangan apakah sudah sesuai dengan kaidah yang berlaku, ataukah belum. Jangan sampai, implementasi kedua UU tersebut hanya fokus untuk mengejar luasan kawasan konservasi saja.
Dengan fokus pada perluasan kawasan saja, maka itu bisa menjelaskan bahwa prinsip lain yang menjadi implementasi dari UU masih belum diterapkan hingga sekarang. Contohnya saja, di dalam kawasan konservasi tidak seharusnya ada aktivitas apapun, termasuk aktivitas ekonomi.
Menurut dia, “Kawasan konservasi itu harus strict, masuk kawasan konservasi harus ada izin. Kalau tidak ada perizinan atau kontrol, maka itu akan lemah. Tidak akan efektif jika hanya mengejar luasnya, namun di dalam kawasan masih membolehkan aktivitas lain.”
Perbedaan Persepsi Konservasi dan Kepentingan
Di mata Fredinan Yulianda, belum berjalannya pengelolaan yang ideal, karena masih ada perbedaan persepsi tentang konsep dan prinsip dari konservasi pada kawasan perairan laut antara Pemerintah Pusat, Daerah, dan juga para pihak yang berkepentingan.
Lalu bagaimana agar konservasi wilayah perairan laut bisa berjalan menjadi lebih baik dan sesuai dengan harapan para pihak? Jawabannya kembali ke pemangku kepentingan masing-masing, terutama Pemerintah yang berperan sebagai regulator.
Hal utama adalah penyamaan persepsi tentang konservasi yang sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ekonomi.
Dan bagaimana Pemerintah bisa membua aturan yang fokus membela pada prinsip konservasi. Di mata Fredinan Yulianda, selama ini regulasi justru menjadi pegangan para pemilik modal besar dan membenturkannya dengan prinsip konservasi.
“Jadi selama ini, regulasi yang ada masih tidak kompatibel. Tidak efektif,” tegas dia.
baca juga : Jalan Berliku Mewujudkan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Bali
Tahapan sangat penting selanjutnya untuk perbaikan program konservasi nasional, adalah berkaitan dengan kelembagaan. Tahapan tersebut adalah tentang struktur organisasi, dan tugas yang ada di dalamnya.
Bagi dia, melaksanakan program konservasi perairan laut, berarti harus berani melawan arus yang sangat kuat dan selama ini sudah menjadi kebiasaan. Termasuk, persepsi yang ada di lingkup pemerintahan, mencakup para pejabat dan tingkatan jabatannya.
“Jangan sampai kalah kekuasaan. Jadi, (yang mengurus) konservasi itu harusnya setingkat badan, atau bahkan menteri,” tegas dia.
Tanpa adanya kekuatan dalam level kebijakan, Fredinan merasa yakin bahwa konservasi untuk kawasan perairan laut akan mengalami hambatan. Bahkan, bisa jadi akan tercipta penyekatan-penyekatan antara satu dengan yang lain.
“Padahal harusnya menyatu dengan aktivitas di sekitar konservasi. Mengingat, kegiatan konservasi tidak hanya di kawasan konservasi saja, tapi juga berkaitan dengan yang ada di sekitarnya,” tegas dia.
Dengan adanya keterlibatan para pihak di sekitar lokasi kawasan konservasi, maka tahapan berikut yang harusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan konservasi, adalah penegakan hukum. Upaya tersebut harus dilakukan, karena bisa memicu banyak dampak negatif di kemudian hari.
baca juga : Kerjasama Indonesia-Amerika Serikat: Maluku Utara Punya Tiga Kawasan Konservasi Perairan Baru
Tantangan Implementasi Konservasi
Pada kesempatan terpisah, Kepala Program Kelautan dan Perikanan WWF Indonesia Imam Musthofa menilai kegiatan konservasi di kawasan perairan sudah berjalan cukup baik dan positif.
Penilaian itu diberikan, terutama berkaitan dengan aspek luasan kawasan konservasi perairan dan pengelolaannya secara kolaboratif. Dia melihat bahwa upaya yang sudah dilakukan Pemerintah terus memperlihatkan kemajuan dari waktu ke waktu.
Akan tetapi, selain kemajuan, dia melihat hingga saat ini ada tantangan besar yang masih harus dihadapi, yaitu efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan. Tantangan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah saja, namun juga menjadi tantangan bersama para pemangku kepentingan.
Adapun, dalam melaksanakan pengelolaan yang efektif, itu dirumuskan dengan penilaian tiga indikator utama, yaitu biofisik, sosial ekonomi, dan tata kelola. Biofisik adalah bagaimana kawasan konservasi mampu memelihara sumber daya alam. Sementara sosial ekonomi adalah bagaimana keberadaan kawasan konservasi mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat secara berkelanjutan.
“Sedangkan indikator tata kelola adalah bagaimana entitas atau lembaga pengelola berikut sumber daya manusia, sarana dan prasarana, regulasi, program kerja dan pembiayaannya tersedia optimal dan berkelanjutan untuk mengelola kawasan konservasi,” papar Imam yang dihubungi Mongabay Indonesia, Kamis, 1 Juli 2021.
Namun demikian, ada jalan keluar yang bisa dilakukan agar ketiga tantangan tersebut bisa dilewati. Pertama, adalah melaksanakan pengelolaan aktivitas manusia yang berdampak pada kawasan konservasi perairan.
Kedua, mengintegrasikan pengelolaan kawasan konservasi perairan dengan pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, untuk mewujudkan konsep marine protected area (MPA) for sustainable fisheries. Ketiga, melaksanakan penguatan kapasitas pengelola kawasan konservasi perairan, termasuk tentang mekanisme pendanaan untuk operasionalisasinya.
Keempat, “Adalah mendorong adanya pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.”
baca juga : Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Dideklarasikan sebagai Hope Spot. Apa Itu?
Agar bisa melewati setiap tantangan yang dihadapi, pengelolaan kawasan konservasi perairan harus senantiasa melibatkan dua elemen kunci, yakni berbasis data/rekomendasi ilmiah, dan melalui proses konsultasi dengan seluruh elemen masyarakat atau pemangku kepentingan terkait.
Dua elemen kunci tersebut harus ditindaklanjuti dengan komitmen penuh seluruh pihak yang berwenang dan masyarakat untuk pengelolaan wilayah konservasi dalam jangka panjang. Informasi sains disajikan dengan memperlihatkan kawasan yang potensial untuk dilindungi penuh ataupun dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Namun demikian, Imam Musthofa melihat kalau persetujuan dari hasil informasi sains tetap ada di tangan para pemangku kepentingan. Hal itu untuk memastikan hak ulayat adat, hak pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang sudah ada, bisa terakomodasi dalam pengembangan kawasan konservasi.
“Oleh karena itu bisa dibilang bahwa pengembangan kawasan konservasi mengombinasikan pendekatan top-down dan bottom-up,” tegas dia.
Dengan melaksanakan dua elemen kunci tersebut, maka pengelolaan kawasan konservasi akan senantiasa mempertimbangkan kekayaan hayati pesisir dan laut Indonesia yang luar biasa, dan beranekaragam dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Selain melalui dua elemen kunci, penilaian terhadap pengelolaan kawasan konservasi juga dilakukan melalui evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi (EVIKA), yaitu satu sistem penilaian yang sudah diterapkan oleh KKP.
Hasil evaluasi tersebut kemudian dijadikan tolok ukur sejumlah perbaikan yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait, demi mewujudkan suatu kawasan konservasi perairan yang beroperasi dengan baik dan memberikan keuntungan, baik untuk ekosistem maupun masyarakat.
Dengan demikian, pengelolaan akan menuai sukses jika tujuan konservasi perairan berhasil memberikan dampak positif yang tidak sedikit bagi masyarakat dan sosial. Di antaranya, menjaga keberlangsungan habitat penting, dan keanekaragaman jenis/biota laut yang ada.
Dalam perjalanannya, Indonesia dinilai sudah terus meningkatkan komitmennya untuk mengalokasikan sebanyak 10 persen wilayah perairannya atau minimal seluas 32,5 juta ha menjadi kawasan konservasi pada 2030 mendatang.
Selain itu, upaya lain juga sudah ditempuh dengan membuat peta (road map) yang dipimpin langsung Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan periode waktu 10 tahun (2020-2030). Peta jalan tersebut akan dipublikasikan KKP dalam waktu dekat ini.
menarik dibaca : Lima Tahun Program USAID SEA Realisasikan 1,6 Juta Hektar Kawasan Konservasi Perairan
Kendala Birokratif
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Hendra Yusran Siry menyebut bahwa pelaksanaan kegiatan konservasi kawasan perairan akan sangat dipengaruhi oleh banyak data dan informasi.
Terutama, informasi yang berkaitan dengan perubahan sumber daya pesisir dan laut pada rentang waktu aktiva-pasiva. Informasi tersebut bisa menjadi bahan formulasi untuk melaksanakan kegiatan pemanfaatan kawasan konservasi.
“Penilaian juga penting sebagai dasar penghitungan kerugian ketika ada kecelakaan atau kapal kandas yang menghantam terumbu karang,” jelas dia ketika dihubungi Mongabay Indonesia awal minggu ini.
Hendra menerangkan, KKP bersama dengan Pemerintah Daerah telah membentuk 201 Kawasan Konservasi dengan total luasan mencapai 24,1 juta ha, dengan tujuan untuk melindungi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya dan keanekaragaman hayati laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sedangkan Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) KKP Andi Rusandi menambahkan bahwa dari hasil evaluasi pengelolaan kawasan konservasi, sebanyak 48 dari 51 kawasan konservasi daerah (KKD) atau sekitar 94 persen adalah yang sudah ditetapkan, namun statusnya masih Dikelola Minimum.
“KKD menemui kendala-kendala pengelolaan berupa minimnya alokasi sumber daya manusia pengelola, pendanaan, dan sarana dan prasarana, sehingga proses operasional KKD kurang berjalan dengan baik,” papar dia.
Meskipun belum maksimal, Andi mengatakan berbagai upaya penyelesaian kendala tersebut terus dilakukan, baik oleh KKP maupun Dinas. Di saat yang sama, KKP juga telah melakukan pengalokasian dana dekonsentrasi untuk penyusunan zonasi kawasan konservasi.
Selain itu, juga melakukan penyediaan menu Dana Alokasi Khusus (DAK) konservasi untuk melengkapi sarana dan prasarana kawasan konservasi yang telah ditetapkan, penyusunan norma standar prosedur dan kriteria pengelolaan kawasan konservasi, sertifikasi pengelola kawasan konservasi, kesepakatan kemitraan, dan jejaring kawasan konservasi.
Seperti kita tahu, Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan garis pantai membentang sepanjang 108.920 km. Sekitar 78 persen wilayah Indonesia atau seluas 6,4 juta km persegi adalah wilayah ditutupi oleh perairan dangkal di bagian Barat dan Timur.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, Indonesia juga memiliki habitat laut yang paling beragam dan telah lama dianggap memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi.
Keunikan geografis wilayah laut Indonesia, memicu hadirnya kekayaan spesies laut yang didominasi tiga spesies, yaitu perudangan (krustasea), moluska, dan pisces. Sementara, dari sisi lingkungan laut, perairan Indonesia terbentuk menjadi perairan pantai dan lepas pantai.
***
Keterangan foto utama : Salah satu pesisir di pulau yang termasuk dalam kawasan konservasi laut Taman Nasional Perairan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Foto pusluh.kkp/Mongabay Indonesia