- Keuskupan Ruteng telah mengirimkan surat kepada Presiden RI terkait rencana pembangunan proyek geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Ngoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Keuskupan Ruteng mengapresiasi jaminan pemerintah atas keamanan proyek geothermal serta eksistensi kampung dan situs adat dimana tidak ada relokasi permanen
- Menanggapi surat rekomendasi Keuskupan Ruteng dan mempertegas sikap penolakannya, warga kampung Wae Sano telah membuat dan mengirimkan surat terbuka kepada Uskup Keuskupan Ruteng, pemerintah, perusahaan dan sesama warga Flores serta sejumlah pihak lainnya.
- Warga mengaku tidak menolak pembangunan tapi letak titik eksplorasinya yang diprotes warga. Warga pertanyakan kenapa masyarakat tidak dilibatkan dalam MoU antara pemerintah dan Keuskupan Ruteng bahkan lembaga yang dilibatkan dalam mendampingi warga malah tidak menyampaikan suara warga
- Vikjen Keuskupan Ruteng Romo mengaku ingin memediasi warga Desa Wae Sano dengan pemerintah maupun dengan pihak perusahaan SMI. Keuskupan Ruteng memegang prinsip keselamatan dan kesejahteraan masyarakat berkelanjutan dan mengatakan proyek geothermal justru akan menjaga keselamatan dan menjamin kesejahteraan warga
Keuskupan Ruteng telah mengirimkan surat kepada Presiden RI berisikan rekomendasi untuk meneruskan proses proyek geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) NTT.
Dikutip dari ekorantt, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat menyebutkan, surat tersebut berangkat dari dialog dan kerjasama intensif antara pihak pemerintah, gereja Katolik dan masyarakat Wae Sano.
Keuskupan Ruteng mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah serius menanggapi problematika sosial yang timbul dari rencana proyek geothermal Wae Sano, seperti yang terungkap dalam surat pada tanggal 9 Juni 2020 silam.
Uskup mengatakan, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTK) Kementerian ESDM telah menandatangani MoU dengan Keuskupan Ruteng tertanggal 2 Oktober 2020 guna mencari solusi komprehensif terkait persoalan sosial yang muncul dari proyek geothermal ini.
“Kami mengapresiasi pemerintah yang melibatkan para pihak termasuk Gereja Katolik dalam perjuangan bersama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” sebut Uskup Sipri.
Keuskupan Ruteng mengapresiasi jaminan pemerintah atas keamanan proyek geothermal tersebut dan eksistensi kampung dan situs adat dimana tidak ada relokasi permanen.
Juga terkait pembentukan lembaga mekanisme pengaduan masyarakat, komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Wae Sano dan mengembangkan kehidupan ekonomi kawasan tersebut.
baca : Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi
Merujuk identifikasi dan kajian isu strategis, Tim Bersama Pengelolaan Sosial telah merekomendasikan titik bor alternative dan akses jalan masuk yang melingkari danau Sano Ngoang guna mengurangi risiko sosial dari proyek geothermal.
“Ini sekaligus membuka isolasi wilayah serta meningkatkan potensi ekonomi dan pariwisatanya,” ucapnya.
Uskup Sipri mengatakan, dalam dialog intensif dengan warga terungkap pentingnya integrasi proyek panas bumi dengan berbagai kegiatan community development.
Hal ini agar ada peningkatan kesejahteraan masyarakat Wae Sano di bidang pertanian lewat penyediaan lahan pertanian berkelanjutan. Ini dilakukan dengan cara membebaskan lahan hutan produksi.
“Dikembangkan ekowisata, pendidikan dengan memberikan fasilitas beasiswa, kesehatan, kesempatan kerja dengan menerima warga lokal bekerja di proyek tersebut serta memberikan bantuan modal usaha,” terangnya.
Surat Terbuka Warga
Dalam surat pernyataan warga Wae Sano yang diterima Mongabay Indonesia, Kamis (17/6/2021) disebutkan warga Wae Sano sering kali tidak dilibatkan dan tidak menjadi pihak “tujuan” dari surat rekomendasi Keuskupan Ruteng.
Dalam pernyataan tersebut, Yoseph Erwin, warga Wae Sano mengatakan pihaknya telah memperoleh dan mempelajari seluruh isi surat itu dari berbagai pihak, termasuk dari pemberitaan media.
Yoseph katakan, pemerintah, perusahaan, dan lembaga keuangan yang berupaya melanjutkan proses proyek geothermal Wae Sano, hampir seluruh proses secara dominan dijalankan dengan pendekatan ‘jalur atas’ atau berbasis wewenang atau kekuasaan, bukan sepenuhnya pendekatan pelibatan masyarakat.
“Tiga tahun terakhir, kami belajar bersama dengan beragam komunitas warga terdampak geothermal dan jejaring perlawanan lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Ini sebagai salah satu bekal perjuangan di tengah dominasi informasi dan pengetahuan oleh pihak-pihak tertentu atas permasalahan kehidupan kami,” ungkapnya.
baca juga : Rencana Pengeboran Geothermal di Poco Leok dan Pengabaian Warga
Yoseph sebutkan, warga Wae Sano sebagai pemilik kampung, telah membuat dan mengirimkan surat terbuka kepada Keuskupan Ruteng, pemerintah, perusahaan dan sesama warga Flores serta sejumlah pihak lainnya.
Surat tersebut sebagai bentuk tanggapan resmi atas surat rekomendasi Keuskupan Ruteng, sekaligus ingin mempertegas sikap penolakan warga kampung Wae Sano atas proyek geothermal Wae Sano.
Warga Wae Sano lainnya Valentinus Emang, menyebutkan, surat terbuka telah diantar langsung ke Keuskupan Ruteng pada Rabu (16/6/2021) dan dikirim ke sejumlah pihak yang berkepentingan lainnya.
Valentinus jelaskan surat ini mempermasalahkan sejumlah hal, baik yang sudah dan tengah dilakukan pemerintah dan perusahaan.
Juga terkait Surat Rekomendasi Keuskupan Ruteng yang dikirim ke Presiden RI pada 29 Mei 2021 lalu, perihal rekomendasi tindak lanjut proyek geothermal Wae Sano.
Ia memaparkan isi suratnya, pertama, warga Wae Sano sejak awal usaha pelaksanaan proyek di tahun 2018 telah menolak dan tidak pernah memberikan persetujuan dan atau mandat ke pihak manapun agar proyek geothermal Wae Sano boleh dilanjutkan.
“Lantas, mengapa pemerintah begitu gencar untuk melanjutkan proses proyek geothermal Wae Sano yang jelas-jelas mengancam keselamatan dan ruang hidup kami warga kampung?,” tanyanya.
Valentinus mempertanyakan, untuk siapa dan atau mewakili kepentingan apa Keuskupan Ruteng memberikan rekomendasi bagi keberlanjutan proses proyek geothermal Wae Sano, sementara warga pemilik kampung, pemilik persoalan, tetap konsisten menolak?
Poin kedua, proses pencarian pemecahan menyeluruh, sebagaimana tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) antara Komite Bersama Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi dan Keuskupan Ruteng pada 2 Oktober 2020 lalu, telah menempatkan warga Wae Sano sebagai obyek yang harus ‘dipecahkan’.
“Maka pemecahan teknis yang keluar adalah jalan memutar yaitu dengan cara merelokasi akses penyelenggara proyek ke wilayah yang hendak ditambang panas buminya, maupun titik-titik penting pengeboran termasuk Wellpad A,” ucapnya.
Valentinus menegaskan, pemecahan menyeluruh jelas dan sederhana yakni batalkan proyek geothermal Wae Sano.
perlu dibaca : Keluhan Seputar Pembangkit Panas Bumi, Ada Omnibus Law Khawatir Perburuk Kondisi
Poin ketiga, sebutnya, di balik upaya pemerintah dan pihak perusahaan, warga berkesimpulan sejak awal proyek ini memang tidak dimaksudkan sebagai tanggapan atas keberadaan dan keadaan kehidupan warga Wae Sano.
Melainkan merupakan turunan dari rencana-rencana pembangkitan listrik skala raksasa yang diputuskan dan bahkan didorong atau diminta oleh pihak pemberi hutang, termasuk Bank Dunia.
Tidak Menolak Pembangunan
Dalam diskusi media secara daring bersama warga Wae Sano, Kamis (17/6/2021) Yoseph Erwin menjelaskan, pihaknya membuat surat terbuka karena surat yang dibuat Kesukupan Ruteng tidak mewakili masyarakat yang tergabung dalam kelompok penolakan geotermal Wae Sano.
Yoseph katakana rekomendasi itu sepihak sebab seharusnya disampaikan ada sebagai masyarakat yang setuju dan sebagian lagi menolak sehingga masyarakat belum sepakat.
“Di masyarakat masih terjadi pro kontra dan ketakutan kami jangan sampai rekomendasi tersebut menyebabkan pemerintah mengambil sebuah keputusan diatas sikap masyarakat yang masih pro dan kontra,” ucapnya.
Yoseph sebutkan bila dalam rekomendasinya suara warga yang menolak juga dimasukan maka pihaknya tidak akan membuat surat terbuka. Pihaknya ingin menjelaskan fakta di masyarakat.
“Wae Sano adalah ruang hidup kami. Ada golo lonto, mbaru kaeng, natas labar (perkampungan adat), uma duat (lahan pertanian/perkebunan), wae teku (sumber mata air), compang takung, lepah boa (tempat-tempat adat), puar (hutan) dan sano (danau),” terangnya.
baca juga : Pabrik Semen Vs Keteguhan Orang Flores Pertahankan Ekologi Pulau Kecil
Yoseph menjelaskan, tahun 2020 melalui 3 lembaga JPIC Keuskupan Ruteng pihaknya memberikan pelimpahan kepada gereja untuk menyuarakan suara penolakan warga terkait pembangunan geothermal Wae Sano.
Dia tegaskan kondisi ini yang membuat Uskup Ruteng mengirim surat pertama kepada presiden.
Ditambahkannya, waktu kunjungan ke lokasi di areal eksplorasi Uskup Ruteng mengatakan dengan tegas di depan masyarakat bahwa lokasi tidak bisa dilakukan karena ada gereja, hutan dan pemukiman.
“Bapa uskup mencoba menawarkan titik eksplorasinya dipindahkan 5 kilometer dari pemukiman. Saya jawab, kalau jarak itu aman bagi masyarakat maka kami akan diam,tapi kalau tidak aman maka kami akan protes terus,” ungkapnya.
Yoseph tegaskan, warga tidak menolak pembangunan, tapi letak titik eksplorasinya yang diprotes warga. Lanjutnya, dalam perjalanan waktu ada MoU antara Keuskupan Ruteng dan pemerintah.
Ia berpikir untuk apa ada MoU dan kenapa masyarakat tidak dilibatkan. Dirinya menyesal lembaga yang dilibatkan dalam mendampingi warga malah tidak menyampaikan suara warga.
“Meskipun ada pendekatan dari rumah ke rumah dan pendekatan secara budaya kami tetap menegaskan sikap menolak pembangunan geothermal,” tuturnya.
Dikutip dari beritaflores.com, Vikjen Keuskupan Ruteng Romo Alfons Segar membantah tudingan warga Desa Wae Sano. Menurut Romo Alfons, pihaknya hanya ingin memediasi warga Desa Wae Sano dengan pemerintah maupun dengan pihak perusahaan SMI.
Romo Alfons menambahkan, Keuskupan Ruteng memegang prinsip keselamatan dan kesejahteraan masyarakat berkelanjutan. Ia katakan, proyek geothermal justru akan menjaga keselamatan dan menjamin kesejahteraan warga.
“Surat rekomendasi kepada presiden merupakan lanjutan dari seluruh proses yang telah dilalui sebelumnya. Kami akan mengawal seluruh proses proyek ini dan kami telah memegang komitmen perusahaan untuk menjalankan prinsip keselamatan dan kesejahteraan warga Wae Sano. Tidak ada standar ganda yang dilakukan Keuskupan Ruteng,” pungkasnya.