- Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno meresmikan Desa Salenrang sebagai desa wisata.
- Awalnya Rammang-rammang dibangun sebagai tujuan wisata sebagai simbol perlawanan warga terhadap kehadiran tambang marmer yang sempat masuk ke kawasan ini.
- Keinginan untuk melindungi kawasan ini mendorong berbagai pihak untuk memperjuangkan regulasi perlindungan, yang melahirkan Perda No.3 tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Karst Maros Pangkep.
- Kunjungan Sandiaga ke Maros juga bertujuan untuk memberi dukungan dan penguatan dari Kemenparekraf menuju proses penilaian lapangan tim asesor UNESCO pada Juli 2021 mendatang.
Warga Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan hari Kamis (17/6/2021) sedang bergembira. Karena hari itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno meresmikan desa Salenrang sebagai desa wisata.
Kunjungan singkat Sandiaga, yang didampingi influencer Atta Halilintar dan Thoriq Halilintar, menandai era baru pengelolaan wisata di daerah tersebut. Selain mendapat dukungan promosi, menteri juga menjanjikan akan membuat jaringan internet dengan pembuatan tower BTS untuk agar koneksi lebih kuat sinyal dan stabil.
“Bagi kami ini adalah pemerataan ekonomi yang tidak tersentuh langsung oleh program pembangunan nasional yang sedang berjalan,” ungkap Sandiaga.
Muhammad Ikhwan atau dikenal dengan nama Iwan Dento, aktivis lingkungan hidup yang juga salah satu pelopor kawasan wisata ini, menyambut dengan haru biru peresmian ini.
“Melihat hari ini, jadi ingat belasan tahun lalu ketika kampung ini hampir habis oleh tambang yang direstui. Dan sedikit yang memilih berdiri di atas terjal karang yang muncul ke permukaan. Cintalah yang menyelamatkannya dan cinta pula yang akan menjaganya,” kata Iwan dalam status Facebooknya.
baca : Beginilah Kawasan Wisata Rammang-rammang, Bentuk Perlawanan Warga terhadap Tambang
Kegembiraan Iwan beralasan. Kawasan tersebut sempat menjadi incaran tambang. Keberadaan Rammang-rammang sebagai tujuan wisata adalah simbol perlawanan warga terhadap kehadiran tambang marmer yang sempat masuk ke kawasan ini.
Pengelolaan kawasan ini untuk wisata dilakukan baru 7 tahun terakhir ini. Dulunya, kawasan ini hanya dikenal sebagai pegunungan kapur yang kaya akan marmer. Lokasinya yang tak jauh dari pabrik semen Bosowa, menjadikannya rentan untuk dieksploitasi.
Bahkan beberapa perusahaan sedang mempersiapkan penambangan di daerah ini, meski kemudian terhenti karena mendapat penolakan dari warga yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Salenrang (PRS).
Tak ingin tambang ini masuk lagi ke daerah tersebut warga kemudian berinisiasi melakukan upaya perlindungan melalui pendekatan lain, yaitu melalui wisata. Pariwisata menjadi alat perjuangan warga merebut ruang kelola wilayah dari dominasi swasta dan pemerintah.
“Ini adalah buah dari perjuangan yang panjang ketika adanya IUP marmer di tahun 2008 lalu dimana terdapat 3 perusahaan China yang mendapat izin. Satu perusahaan bahkan sudah mulai beroperasi. Sejak 2011 masyarakat terus melakukan perlawanan hingga IUP itu dicabut di tahun 2013,” ungkap Iwan.
Menurut Iwan, pilihan Rammang-rammang sebagai kawasan wisata mungkin bukan pilihan terbaik, namun jauh lebih baik dibanding tambang.
“Ini jika dilihat dari perspektif perlindungan kawasan. Melihat situasi sekarang kita cukup senang dimana bisa membuktikan bahwa kita bisa kelola tempat ini dengan baik melalui wisata.”
baca juga : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia
Proses eksplorasi sebagai kawasan wisata sendiri mulai dilakukan sejak 2014, dimana mereka mencoba mematenkan potensi tersebut dan kampanye di media dan media sosial. Pada tahun 2015 mereka mendorong lahirnya Peraturan Desa dan SK Kepala Dinas Pariwisata Pemkab Maros terkait pengelolaan wisata di Rammang-rammang.
Keinginan untuk melindungi kawasan ini mendorong berbagai pihak untuk memperjuangkan regulasi perlindungan, yang kemudian direspons pemerintah dan DPRD Sulsel dengan melahirkan Perda No.3/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Karst Maros Pangkep.
Keberadaan Perda ini dinilai sangat penting bagi warga Salenrang yang tinggal di sekitar kawasan karst, termasuk keberlangsungan industri pariwisata mereka.
Iwan menilai kehadiran Perda ini akan berdampak pada keberlangsungan wilayah kelola.
“Kami berharap aktivitas kami sekarang ini akan bisa diwariskan ke generasi mendatang. Kita butuh pengakuan negara, karena ini ternyata penting. Makanya kami berambisi untuk mewujudkan pengakuan ini,” ungkapnya.
Perda perlindungan karst akan melindungi kawasan dari dampak eksploitasi yang berlebihan, baik dari perusahaan ataupun masyarakat sendiri. Termasuk potensi konflik masyarakat dengan pemerintah.
“Konflik akan bisa dihindari dengan adanya kejelasan batas-batas ruang kelola ini, dan itu harus melibatkan dan mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar kawasan,” jelas Iwan.
perlu dibaca : Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi
Terkait dampak wisata ini bagi masyarakat, keberadaan wisata ini berdampak langsung kepada 200 orang warga, mulai dari pemilik perahu, homestay, warung hingga parkir.
Setelah sekian tahun berdiri sebagai wisata mandiri hasil swadaya warga, perhatian pemerintah akhirnya muncul dengan bantuan pembangunan fasilitas jalan, jembatan dan sejumlah infrastruktur lainnya. Bantuan juga banyak mengalir dari pihak lain seperti Bank Indonesia dan sejumlah pihak swasta.
Geopark Maros–Pangkep
Selain meresmikan Desa Salenrang sebagai desa wisata, kunjungan Sandiaga juga bertujuan untuk memberi dukungan dan penguatan dari Kemenparekraf menuju proses penilaian lapangan tim asesor UNESCO pada Juli 2021 mendatang.
“Saya hari ini memberikan dukungan penuh terhadap Maros-Pangkep, geopark yang kita ajukan sebagai UNESCO Global Geopark,” kata Sandiaga saat meninjau pusat informasi Geologi Maros-Pangkep, Kamis, (17/6/2021).
Pada pertengahan tahun 2020, 15 taman bumi nasional, termasuk di dalamnya Geopark Maros-Pangkep diajukan oleh berbagai kalangan menjadi UNESCO Global Geopark (UGG). Pada akhir tahun 2020, pihak UGG telah memilih dua geopark yang memenuhi persyaratan, yakni Geopark Maros-Pangkep dan Geopark Ijen Banyuwangi.
Menurut Dedi Irfan, General Manager Badan Pengelola Geopark Nasional Maros-Pangkep, Geopark Maros Pangkep sendiri telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan strategis pengembangan pariwisata di Sulawesi Selatan khususnya wisata alam dan petualangan yang memiliki alam geodiversity (geologi), biodiversity (flora fauna) dan cultural diversity (budaya) yang bertaraf Internasional.
Ia berharap dengan kunjungan menteri untuk mengecek dan memberi dukungan akan memperkuat konektivitas berbagai pihak yang terlibat dalam upaya pengakuan ini.
“Melalui kedatangan pak menteri diharapkan terjalin sebuah konektivitas sehingga terbangun kawasan pariwisata Geopark Maros Pangkep yang terintegrasi dan berkelanjutan di masa depan,” katanya.
baca juga : Warga Rammang-rammang Gundah Lahan Tani Terkena Proyek Rel Kereta Api
Geopark Maros-Pangkep sendiri adalah sebuah konsep manajemen pengelolaan kawasan yang menyerasikan keragaman geologi, hayati, dan budaya, melalui prinsip konservasi, edukasi, dan pembangunan yang berkelanjutan yang secara administratif berada di dua kabupaten, yaitu Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan.
Geopark ini resmi ditetapkan pada tahun 2015 dan menyandang status geopark nasional sejak 2017. Geopark Maros-Pangkep adalah salah satu dari 15 geopark nasional yang dimiliki oleh Indonesia dan satu-satunya geopark berstatus nasional di Pulau Sulawesi.
Delineasi kawasan Geopark Maros-Pangkep meliputi 2 kabupaten (Maros dan Pangkep), dengan wilayah darat seluas 2.243 km² dan kawasan laut dengan luas 2.815 km², dengan presentase luas daratan sebesar 44,6% dan lautan 55,4% dengan panjang garis pantai 88,5 km. Tercakup dalam 7 jalur Geotrail dan 30 Geosite. Jumlah populasi manusia yang mendiami kawasan sebesar 665.000 jiwa, bersuku Bugis dan Makassar.
Sebagai geopark, terdapat berbagai destinasi pariwisata berbasis alam nan berkelanjutan yang ada di Maros-Pangkep. Mulai dari situs geografis, situs biologi, dan situs budaya. Situs geografis seperti Kompleks Rijang Bantimala, Kompleks Metamorfik Pateteyang-Cempaga, Batuan Kerak Samura Parenreng, dan lainnya.
Sementara situs biologi seperti Hutan Keilmuan Bengo-Makaroewa, Karaenta Primary Forest, Taman Kehati, Taman Botanik Tonasa, juga Taman Argo Botanik Puncak. Sedangkan situs budaya seperti Komplek Prehistorik Bellae, Taman Prehistorik Sumpang Bita, Situs Berburu, dan lainnya.