- Kayu sowang, Xanthosthemon novaguineense Valeton, adalah tumbuhan endemik Papua yang hanya akan ditemukan di pegunungan Cycloop, yang berdiri megah di antara Kota dan Kabupaten Jayapura.
- Tumbuhan ini memiliki kemampuan tahan api atau kebakaran namun memiliki daya regenerasi yang rendah.
- Kayu sowang sejak dahulu memainkan peran penting dalam kehidupan tradisional suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan Cycloop. Pemanfaatan sowang secara tradisional oleh masyarakat berhubungan dengan kegiatan ritual, pembuatan senjata tradisional, perkakas rumah, tiang pagar, tiang rumah, dan sebagai kayu bakar.
- Kayu sowang sudah dikenal sejak masa prasejarah di Danau Sentani. Hal ini berdasarkan hasil penelitian di situs Ayauge, Kampung Doyo Lama, Danau Sentani bagian barat. Tiang-tiang yang ditemukan merupakan bekas hunian prasejarah berupa rumah panggung di atas permukaan air.
Papua merupakan wilayah yang memiliki kekayaan alam dan keragaman ekosistem mengagumkan. Terlebih, flora dan fauna endemiknya.
Dari sekian banyak tumbuhan khas tersebut, salah satunya adalah kayu sowang, yang hanya akan ditemukan di pegunungan Cycloop; gunung yang berdiri megah di antara Kota dan Kabupaten Jayapura.
Kayu sowang memiliki nama latin Xanthosthemon novaguineense Valeton. Di Indonesia hingga saat ini tercatat lima jenis yaitu Xanthostemon confertiflorus, Xanthostemon natunae, Xanthostemon petiolatus, Xanthostemon verus, dan Xanthostemon novoguineensis. Spesies yang disebutkan terakhir merupakan satu-satunya jenis Xanthostemon yang hingga saat ini baru dilaporkan dari Papua.
Dalam jurnal berjudul “Karakterisasi morfologi Xanthosthemon novaguineensis Valeton [Myrtaceae] dari Papua” [2015], yang ditulis Sri Wilujeng dan Maikel Simbiak, menjelaskan bahwa Xanthostemon merupakan salah satu marga dalam famili tumbuhan Myrtaceae atau jambu-jambuan yang ditemukan dalam bentuk semak dan pohon.
Hingga saat ini telah diketahui sebanyak 45-50 spesies Xanthostemon yang tersebar di Kaledonia Baru, Australia, Kepulauan Solomon, Papua Nugini, Indonesia, dan Filipina dengan pusat keanekaragaman di Kaledonia Baru.
Tumbuhan ini memiliki kemampuan tahan terhadap api atau kebakaran, namun memiliki daya regenerasi yang rendah. Studi tersebut juga mencatat bahwa daerah habitat tumbuhan sowang di Jayapura adalah pegunungan Cycloop, tetapi sowang tumbuh tidak merata di pegunungan tersebut.
Sowang hanya tumbuh di sisi barat, selatan, sampai timur pegunungan Cycloop. Di kawasan ini sowang ditemukan pada ketinggian 15-450 mdpl. Sowang banyak dijumpai di kaki pegunungan Cycloop, atau daerah penyangga cagar alam, sehingga menjadi daerah yang bebas untuk dirambah.
“Beberapa tahun belakangan ini, eksploitasi kayu sowang secara besar-besaran dilakukan sebagai bahan baku arang sehingga menyusutkan populasi tegakan spesies ini secara drastis di habitatnya. Penyusutan populasi spesies-spesies Xanthostemon juga terjadi di beberapa negara seperti Australia, Kaledonia Baru, Papua Nugini, dan Filippina,” ungkap laporan itu.
Baca: Kayu Sowang Tumbuhan Asli Pegunungan Cyclops, yang Kini Terancam Punah
Dalam jurnal disebutkan bahwa secara tradisional masyarakat asli yang mendiami kawasan pegunungan Cycloop mengenal dua jenis tumbuhan sowang yaitu sowang putih dan sowang hitam. Dari hasil pengecekan terhadap kedua macam tumbuhan sowang ini diketahui bahwa sowang putih adalah spesies yang berbeda yaitu Gordonia papuana dari famili Teaceae, sedangkan yang dikenal sebagai sowang hitam adalah Xanthostemon novoguineensis.
Gordonia papuana sendiri tergolong kayu keras dan berdasarkan peta distribusi di Papua Nugini merupakan spesies yang tersebar luas karena mampu melakukan koloni area ekologis yang lebih luas hingga daerah ketinggian.
Meski demikian, menurut para peneliti, faktor antropogenik mengakibatkan pohon sowang ini dalam kondisi rentan atau menuju kepunahan. Empat pemicu antropogenik utama terhadap hilangnya biodiversitas, yaitu deforestasi dan fragmentasi [karena perubahan penggunaan lahan], eksploitasi yang berlebihan, spesis eksotik, dan perubahan iklim.
“Dua pemicu utama yang disebutkan di awal tercermin dalam faktor-faktor spesifik yang menyebabkan menyusutnya populasi tumbuhan sowang yaitu karena alasan tradisi, ekonomi, dan pembangunan,” ujar Sri Wilujeng dan Maikel Simbiak dalam penelitiannya.
Berkaitan dengan tradisi, masyarakat sekitar Teluk Youtefa, Danau Sentani, dan sebagian pesisir utara pegunungan Cycloop umumnya membuat perkampungan di area pasang surut. Kayu sowang telah dikenal sejak dahulu sebagai kayu yang kuat dan awet sehingga dimanfaatkan sebagai tiang penyangga rumah.
Kayu sowang juga digunakan sebagai alat pertukaran pada zaman dahulu. Kedua hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan kayu sowang secara intensif telah dilakukan dalam tradisi masyarakat lokal.
“Faktor ekonomi adalah fakta yang dapat dikatakan sebagai bencana bagi tumbuhan sowang, karena kebutuhan ekonomi menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan,” ujar keduanya lagi.
Baca: Kala Kayu Besi Menipis, Budaya Ukir Asmat Bisa Terkikis
Pemanfaatan arang kayu sowang dalam bisnis rumah makan yang tumbuh pesat di kota dan Kabupaten Jayapura juga diduga sebagai penyebab utama hilangnya tegakan-tegakan tumbuhan sowang di habitatnya, terutama di kawasan Kamp Walker hingga Doyo Baru.
Selain itu, fakta lainnya adalah kawasan tersebut merupakan kawasan pengembangan Kota Jayapura saat ini, sehingga area-area hutan telah berubah menjadi permukiman.
Faktor biologis tumbuhan sowang, yaitu daya regenerasi yang rendah diduga sebagai penyebab menyusutnya populasi tumbuhan ini di alam. Sifatnya, sepertinya merupakan sifat umum pada marga Xanthostemon sehingga marga ini rentan terhadap kepunahan di berbagai kawasan tempat tumbuhnya, bila terdapat eksploitasi berlebihan.
Kayu sowang juga sejak lama memainkan peran penting dalam kehidupan tradisional suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan Cycloop. Pemanfaatan sowang secara tradisional oleh masyarakat berhubungan dengan kegiatan ritual, pembuatan senjata tradisional, perkakas rumah, tiang pagar, tiang rumah, dan sebagai kayu bakar.
Masyarakat yang hidup di pesisir pantai menggunakan kayu sowang sebagai tiang-tiang penyangga rumah karena kualitas kayunya termasuk dalam kategori yang tahan terhadap penggerek kayu di laut.
Baca juga: Sejak 1974, Pari Gergaji Sentani Tidak Terlihat Lagi
Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Papua mengatakan, masyarakat Sentani secara tradisional punya peraturan adat dalam memanfaatkan kayu sowang untuk membuat rumah. Mereka tak sembarangan mengambil kayu di Cycloops dan harus memilih yang benar-benar tua, agar bangunan tidak cepat roboh.
Dalam mengambil kayu sowang juga itu khusus, di mana tempat leluhurnya mengambil maka keturunannya juga akan mengambil dari lokasi yang sama. Kayu ini hanya digunakan untuk tiang rumah, tidak boleh untuk fungsi lain.
“Keunggulan kayu sowang yang panas baranya mampu bertahan lama serta dinilai lebih hemat untuk pembakaran, menjadi alasan para pengelola rumah makan memilih kayu itu sebagai arang,” ungkapnya.
Selain itu, Hari mengatakan bahwa kayu sowang sudah dikenal sejak masa prasejarah di Danau Sentani. Hal ini berdasarkan hasil penelitian di situs Ayauge, Kampung Doyo Lama, Danau Sentani bagian barat. Tiang-tiang yang ditemukan merupakan bekas hunian prasejarah berupa rumah panggung di atas permukaan air.
Apalagi kayu sowang dikenal sebagai kayu keras dan mampu bertahan lama hingga ratusan tahun sehingga secara tradisional oleh masyarakat Sentani dijadikan tiang rumah dan peralatan hidup lainnya.
Masyarakat yang menghuni pesisir Danau Sentani telah menghuni kawasan tersebut sejak ribuan tahun lalu. Misalkan di situs Yomokho, pesisir Danau Sentani, dari hasil ekskavasi atau penggalian serta analisis uji laboratorium, di lokasi ini sudah ada kehidupan sejak 2950 tahun yang lalu. Jelajah manusia di situs Yomokho ini menjangkau sungai-sungai di daerah pegunungan Cycloop.
“Bagi masyarakat Sentani, kayu sowang yang dijadikan tiang rumah, mereka tidak mengubah bentuknya. Misalnya memotongnya menjadi balok panjang. Namun disesuaikan dengan kondisi asli kayu sowang. Masyarakat Sentani hanya membuat ukiran di tiang rumah dari kayu sowang. Ukiran ini berupa manusia, binatang mitologi seperti kadal, ikan, atau motif geometris,” jelas Hari Suroto.