- Burung sikatan aceh [Cyornis ruckii], keberadaannya masih sangat misterius. Terakhir kali ditemukan satu abad silam.
- Sikatan aceh hanya dikenali dari empat awetan yang ditemukan tahun 1917 di Delitua dan di Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara pada 1918 oleh warga Belanda, August van Heijst. Spesimennya tersimpan rapi di Paris dan Leiden
- Ciri utama jenis ini adalah panjang tubuhnya sekitar 17 cm dengan bulu biru mendominasi. Untuk detil kehidupannya, baik sarang, musim kawin, serta suaranya masih misteri.
- Ornitolog senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] Dewi Malia Prawiradilaga,mengatakan, kemungkinan populasi sikatan aceh masih ada meskipun belum ditemukan lagi.
Burung sikatan aceh [Cyornis ruckii], keberadaannya masih sangat misterius. Terakhir kali ditemukan satu abad silam. Hingga saat ini, burung yang dalam Bahasa Inggris bernama Rueck’s Blue-flycatcher atau atau Rueck’s Niltava belum terlihat lagi.
Sikatan aceh hanya dikenali dari empat awetan yang ditemukan tahun 1917 di Delitua dan di Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara pada 1918 oleh warga Belanda, August van Heijst. Berdasarkan informasi, spesimennya tersimpan rapi di Paris dan Amerika.
Ciri utamanya adalah panjang tubuhnya sekitar 17 cm dengan bulu biru mendominasi. Untuk jantan, kepala, tenggorokan, dan dada biru, sedangkan tunggir dan penutup ekor atas biru kilap.
Sementara betina, tubuh bagian atasnya cokelat-merah bata dengan tunggir dan ekor merah bata, serta dada merah karat hingga keputih-putihan pada perut. Makanan favoritnya adalah serangga.
Untuk detil kehidupannya, baik sarang, musim kawin, serta suaranya masih misteri. The International Union for Conservation of Nature [IUCN] memasukkan statusnya Kritis [Critically Endangered].
Peneliti burung yang juga berafiliasi dengan BirdLife International, Nigel J. Collar dalam tulisannya: Rück’s Blue-flycatcher Cyornis ruckii: the evidence revisited mengatakan, empat spesimen itu telah difoto dan didiskusikan.
“Satu dari dua jantan dewasa itu memiliki bagian bawah yang seluruhnya biru, gambar yang tersedia secara luas menunjukkan terlalu banyak warna putih pada bagian bawah,” terangnya dalam tulisan yang dipublikasikan oleh Kukila, edisi 23 tahun 2020.
Nigel juga mengatakan, tinjauan naskah-naskah awal menunjukkan, tidak pernah diberikan keterangan mengenai lokasi dua spesimen pertama dan dua spesimen berikutnya.
“Informasi yang ada hanya ditemukan di dekat Medan, Sumatera Utara, dan hampir bisa dipastikan habitat burung ini berada di kawasan hutan primer. Bukan hutan yang sudah dieksploitasi manusia,” ungkap Nigel yang juga menyebutkan, upaya pencarian harus menargetkan hutan dataran rendah primer di Sumatera bagian utara.
Baca: Hilang Selama 172 Tahun, Burung Pelanduk Kalimantan Ditemukan Kembali
Saya coba mencari informasi tentang sikatan aceh dari sejumlah pengamat burung di Provinsi Aceh. Sebagian besar mereka mengaku, burung ini sangat misteri dan tidak pernah ditemukan.
“Belum ada yang menemukan burung, meski ada kabar pernah terlihat beberapa tahun yang lalu, namun tidak dilengkapi dokumen pendukung,” sebut Heri Tarmizi, Koordinator Kelompok Studi Lingkungan Hidup [KSLH] Provinsi Aceh, baru-baru ini.
Heri menambahkan, minimnya survei atau pendataan burung menyeluruh di Aceh, bisa juga merupakan penyebab burung ini menyisakan misteri. “Apakah di Kawasan Ekosistem Leuser, Ulu Masen, maupun pulau-pulau kecil lainnya.”
Berdasarkan data, habitatnya di hutan primer dataran rendah. Hutan primer adalah kawasan hutan alam yang terbentuk secara alami dan belum dieksploitasi atau adanya campur tangan manusia di dalamnya. Biasa disebut juga hutan perawan.
“Hutan primer ini sebagian sudah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan atau permukiman penduduk. Bisa jadi, karena habitatnya terganggu, burung ini semakin sulit ditemukan,” ungkapnya.
Heri berharap, pendataan jenis-jenis burung di kawasan hutan Aceh dapat dilakukan, sebagai bentuk perlindungan sekaligus menjaga dari kepunahan.
“Jangan sampai sikatan aceh bernasib sebagaimana tokhtor sumatera [Carpococcyx viridis] yang dianggap punah karena tidak pernah ditemukan sejak 1916. Namun, pada 1997 muncul, bahkan berhasil didokumentasikan gambarnya.
Baca juga: Dewi Malia Prawiradilaga akan Terus Menemukan Jenis Burung Baru
Sulit ditemukan
Ornitolog senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] Dewi Malia Prawiradilaga, pada 25 Maret 2021 mengatakan, kemungkinan populasi sikatan aceh masih ada meskipun belum ditemukan lagi.
“Burung ini belum banyak menarik perhatian peneliti, sehingga belum ada survei atau penelitian khusus tentangnya.”
Dewi menyebutkan, sikatan aceh termasuk marga Cyornis. Sampai saat ini, jenis-jenis dari Cyornis, memiliki morfologi yang mirip satu sama lain. Sangat sulit dibedakan, atau disebut ‘cryptic species’.
“Kemungkinan, jenis yang ditemukan di Malaysia atau dari luar Indonesia adalah kerabat sikatan aceh. Sementara, sikatan aceh sampai saat ini diyakini hanya terdapat di Sumatera. Tetapi di Malaysia juga ada jenis sikatan yang wilayah sebarannya luas,” ujarnya.
Sebagai tambahan, ujar Dewi, berhubung secara morfologi jenis-jenis dalam kerabat Cyornis sulit dibedakan, penelitian telah dilakukan untuk melihat perbedaan dari karakter suara atau kicauannya.
“Hanya setahu saya, saat ini belum ada rekaman suara sikatan aceh yang bisa dianalisa, juga dibandingkan dengan kerabatnya untuk diketahui perbedaannya.”
Secara ilmiah, sikatan aceh yang sebelumnya diperkirakan di dataran rendah, juga bisa pindah ke dataran tinggi. Terutama, bila habitatnya terganggu dan merasa terancam.
“Tentunya, burung tersebut harus berusaha beradaptasi dan hidup berdampingan dengan jenis lainnya. Seperti diketahui, sikatan aceh termasuk kerabat burung yang disukai kicauannya oleh para penggemar burung sangkar,” ungkapnya.
Dewi mengatakan, keberadaan burung-burung yang telah lama menghilang atau tidak ditemukan lagi, harus menjadi perhatian kita semua, seluruh masyarakat. Tidak hanya pemerintah atau pemerhati burung.
“Harapan saya, masyarakat sadar akan keberadaan dan fungsi burung bagi lingkungan kita. Memiliki burung tidak harus menangkap dan mengurungnya di sangkar. Biarkan mereka hidup di alam bebas, melaksanakan tugasnya di ekosistem dengan baik, sebagaimana makhluk ciptaan Tuhan lainnya,” tegasnya.