- Sejak 4 Februari terjadi semburan gas di pemukiman warha di Pekanbaru, Riau. Pada 15 Februari 2021, semburan mulai reda dan pemerintah daerah menutup area semburan dengan menyemennya.
- Semburan di Pesantren Al Ihsan ini membuat pengurus pesantren mengevakuasi santri. Pada hari pertama, diketahui gas mengandung racun dan berisiko tinggi bisa terbakar. Pada hari ketiga, diameter lubang gas melebar hingga empat meter. Esoknya, diameter sumur melebar lagi menjadi enam meter. Sejak itu semburan makin berkurang.
- Muslim, Dekan Fakultas Teknik Universitas Islam Riau (UIR) meminta pemerintah membuat peta daerah rawan bencana hingga kasus serupa bisa diantisipasi.
- Pemerintah daerah bisa memulai pemetaan dengan memanfaatkan data perusahaan-perusahaan gas dan minyak yang beroperasi di Riau. Data eksplorasi sumberdaya mineral dari perusahaan itu, akan valid karena menggunakan teknologi yang mumpuni. Bahkan bisa memperoleh berapa jumlah kandungan mineral.
Terjadi semburan gas di pemukiman warga, tepatnya, di Pesantren Al Ihsan, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru, Riau, sejak 4 Februari 2021. Pada 15 Februari 2021, semburan mulai reda dan Pemerintah Riau sudah mulai penutupan dengan target selesai pekan ini. Muslim, Dekan Fakultas Teknik Universitas Islam Riau (UIR) meminta pemerintah membuat peta daerah rawan bencana hingga kasus serupa bisa diantisipasi.
Semburan gas terjadi ketika pekerja membuat sumur bor hingga kedalaman 119 meter di kawasan Pondok Pesantren Al Ihsan Boarding School Kampus 2 Kelurahan Tuah Negeri, Tenayan Raya, Pekanbaru. Peristiwa itu terjadi pukul 14..00 siang. Semburan gas itu disertai pasir dan batu.
“Infonya waktu kejadian pertama kali, pipa sumur bor melambung ke atas. Di hari kedua suara gemuruh kencang,” kata Akhwan, jurufoto media lokal di Pekanbaru kepada Mongabay.
Akhwan datang ke lokasi di hari kedua setelah gumpalan lumpur sudah menyebar hingga puluhan meter ke dataran yang lebih rendah ke arah halaman pondok pesantren. Bangunan terdekat berjarak sekitar lima meter luluh lantak. Begitu juga bangunan di sebelah kiri kanan dari pusat semburan. Atap ruang sekolah ambruk karena tertimpa material lumpur berpasir dan berbatu. Gundukan lumpur sudah lebih empat meter di pusat semburan.
Semburan ini membuat pengurus pesantren mengevakuasi santri. Evakuasi pertama malam hari lalu pada pagi hari kedua. Mereka ada yang dibawa orangtuanya dan sebagian ke ponpes pusat.
Pengurus pesantren tidak berkenan diwawancarai Mongabay untuk mengetahui kondisi terkini proses belajar termasuk berapa kerugian materi dan nonmateri akibat musibah itu.
Pada hari ketiga, diameter lubang gas melebar hingga empat meter. Esoknya, diameter sumur melebar lagi menjadi enam meter. Sejak itu semburan makin berkurang.
Terdeteksi kadar racun
Beberapa narasumber yang diwawancarai Mongabay mengatakan, mereka tak mencium aroma aneh di sekitar lokasi semburan. Di hari kedua ternyata kadar Hidrogen Sulfida (H2S) sangat lemah. Hal itu terdeteksi setelah analisa lapangan tim Pemprov Riau pada hari pertama.
Chairul Riski, Kepala Dinas Kominfo Pemerintah Riau, menyebut, setelah mendapatkan laporan semburan gas, tim dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Riau bersama tim perusahaan gas, PT Energi Mega Persada (EMP) Bentu langsung meninjau lokasi.
Lokasi semburan hanya berjarak 180 meter dari pipa gas milik EMP Bentu dan berjarak satu kilometer dari sumur gas perusahaan gas swasta itu. Pada hari pertama, diketahui gas mengandung racun dan berisiko tinggi bisa terbakar.
Tim mengukur tingkat lower explosive limit (LEL) dan H2S di lokasi. Pada jarak lima meter dari titik semburan, terdeteksi kandungan LEL 13% dan H2S 1ppm.
“Artinya, gas itu cukup berbahaya, potensi terbakar cukup tinggi dan beracun. Untuk itu, petugas menginstruksikan agar mengevakuasi sementara warga pondok pesantren dan (warga) tidak diperkenankan mendekat,” katanya dalam siaran pers, 5 Februari.
Muslim, Dekan Fakultas Teknik Universitas Islam Riau mengatakan, telah memberi saran kepada pemerintah untuk memantau ketat perkembangan LEL dan H2S. Pemantauan itu penting untuk mendeteksi lebih awal potensi risiko yang berdampak pada warga dan lingkungan hidup.
“Dari awal saya sudah sampaikan apa saja yang harus direkam, dan pemantauan ketat. Kalau terjadi penurunan ketinggian semburan, kadar H2S menurun, diameter tidak bertambah, data itu menjadi kabar baik.”
“Yang kita takutkan itu tiga hal yakni ledakan terus terjadi, gas beracun dan lumpur yang bertambah banyak, ini bisa seperti di Lapindo,” kata doktor dari Sejong University Korea Selatan ini kepada Mongabay.
Menurut dia, kalau angka LEL di bawah 5%, maka potensi ledakan sangat kecil. Ledakan sangat mungkin terjadi kalau LEL berada kisaran 5-15%. Untuk kandungan gas, lingkungan dan masyarakat aman kalau H2S di angka nol.
“Gas yang ditakutkan itu gas beracun dan bisa menyebar dan terhirup. Yang saya pantau sekitar 1%, kalau berkurang sampai 0%, kecil potensi (keracunan).:
Keracunan bisa dieleminir kalau H2S-nya nol. “Soal kekhawatiran lumpur, media bisa cek volume lumpur, kalau makin melebar dan radiasi luas, ini yang dikhawatirkan.”
H2S, gas tidak berwarna, tetapi beracun bisa mematikan dan mudah terbakar. Gas ini bisa terbentuk dari aktivitas biologis ketika bakteri mengurai bahan organik saat keadaan tanpa oksigen. Gas ini, katanya, biasa terdapat pada kawasan berawa dan pembuangan kotoran.
Akhwan, kembali mengunjungi lokasi pada hari ke-12, Senin kemarin. Tidak ada semburan seperti sepekan lalu. Lubang sumur sudah tertutup lumpur namun masih mengeluarkan gas yang terlihat dari gelembung-gelembung udara.
“Semburan sudah ndak ada. Tapi masih menggelegak,” katanya.
Perlu peta rawan bencana
Dinas ESDM Pekanbaru menutup sumur bor yang mengeluarkan gas itu bekerjasama dengan perusahaan gas EMP Bentu.
Jumat (12/2/21), kepada Kompas.com, Indra Agus, Kepala Dinas ESDM Riau, mengatakan, sejumlah alat berat telah disiagakan di lokasi. Tim pekerja dari EMP Bentu mempersiapkan rencana penutupan. Skenarionya, kalau lumpur berhenti menyembur, lubang ditutup semen.
Muslim juga menyarankan penutupan. Penutupan itu, katanya, untuk memastikan keamanan lingkungan. Meskipun begitu, katanya, ada pilihan lain dengan jadikan lubang sebagai tempat penelitian.
Riau, katanya, banyak mengandung gas karena wilayah berawa. Analisisnya, gas di bawah ponpes itu adalah rawa atau biogenic gas. Gas ini biasa ada di kedalaman dangkal dan jumlah sedikit.
“(Gas) Itu perkiraan saya biogenic gas. Mungkin tersebar (di beberapa daerah), tapi tiga sampai empat hari habis. Itu gas yang terjebak,” kata Muslim.
Dengan kondisi daratan Riau berawa ini, dia mengusulkan pemerintah membuat peta rawan bencana terkait sumberdaya mineral. Risiko bencana ini, katanya, akan makin tinggi kalau di atas lokasi itu ada pemukiman dan banyak aktivitas manusia.
Pemerintah daerah, katanya, bisa memulai pemetaan dengan memanfaatkan data perusahaan-perusahaan gas dan minyak yang beroperasi di Riau. Data eksplorasi sumberdaya mineral dari perusahaan itu, katanya, akan valid karena menggunakan teknologi yang mumpuni. Bahkan bisa memperoleh berapa jumlah kandungan mineral.
“EMP ada beberapa ladang gas. Pemda harus memanfaatkan data EMP soal kandungan gas dan minyak di kawasan itu. Kalau sudah ada data, pemerintah sudah bisa buat imbauan kepada warga. Terutama di wilayah yang lima tahun terakhir ada kejadian serupa,” kata Muslim.
Indra Agus, belum bisa diwawancarai Mongabay terkait dengan perlunya pemetaan dan sosialisasi daerah-daerah rawan bencana seperti usulan Muslim.
*****
Foto utama: Santri melintas di lokasi semburan gas di Ponpes Al Ihsan Boarding School Kampus 2, Pekanbaru, Jumat (5/2/21). Foto: Wahyudi