- Setiap tanggal 30 Januari, Indonesia memperingati Hari Primata sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan terhadap perburuan dan perdagangan ilegal primata di Indonesia.
- Macaca nigra atau monyet hitam sulawesi berjambul [Crested black macaque] atau dengan nama lokal Yaki, adalah primata endemik Indonesia yang hanya bisa ditemui di Sulawesi Utara. Namun primata ini berstatus Kritis.
- Ada cara unik mengenali primata ini, yaitu jambul yang ada di atas kepalanya seperti model punk serta wajahnya yang hitam. Hal mencolok adalah tubuh bagian pantatnya yang berbentuk hati dan berwarna pink atau merah muda.
- Perubahan warna tersebut erat kaitanya dengan perubahan hormonal terutama menjelang kelahiran yaitu meningkatnya hormon estrogen yang menyebabkan terjadinya pelebaran pembuluh darah.
Sejak tahun 2014, Indonesia mencetuskan peringatan Hari Primata setiap tanggal 30 Januari. Peringatan Hari Primata ini sebagai bentuk keprihatinan dan juga kepedulian terhadap masalah perburuan dan perdagangan ilegal primata yang ada di Indonesia. Salah satu primata unik dan endemik di Indonesia, yang populasinya terancam punah adalah Macaca nigra atau monyet hitam sulawesi berjambul [Crested black macaque]. Kera ini hanya bisa ditemukan di Sulawesi Utara. Masyarakat di sana menyebutnya Yaki.
Macaca nigra adalah satu dari tujuh spesies macaca yang ada di Sulawesi dan menjadi simbol konservasi primata di Indonesia. IUCN menetapkan statusnya Kritis [Critically Endangered/CR], atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Hal ini sekaligus menggambarkan semakin berkurangnya jumlah mereka di alam liar, sekitar 90 persen dalam 30 tahun terakhir. Berdasarkan Permen LHK Nomor P.106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, jenis ini berstatus sebagai satwa dilindungi.
Baca: Bukan Perburuan, Ancaman Kebakaran yang Menghantui Cagar Alam Tangkoko
Ancaman yang kerap dihadapi oleh Yaki antara lain adalah perusakan habitat untuk permukiman atau perkebunan, perburuan untuk dikonsumsi hingga diperdagangkan sebagai satwa peliharaan, bahkan untuk atraksi. Namun, beberapa lembaga terus bekerja untuk penyelamatan kera hitam berjambul ini, salah satunya seperti yang dilakukan oleh sebuah program bernama Selamatkan Yaki. Hingga saat ini Yaki menjadi salah satu ikon konservasi di Sulawesi Utara.
Lokasi yang menjadi benteng populasi Yaki ada di hutan Dua Sudara dan Taman Wisata Alam Batupuih yang berada di Cagar Alam Tangkoko, di Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Baca: Kisah Sartam, Hibahkan Satu Hektar Kebun untuk Kehidupan Satwa Liar
Lantas bagaimana mengenali Yaki dengan jenis macaca lainnya di Indonesia?
Seperti namanya, kehadiran kera ini akan terlihat dengan jambulnya yang unik seperti model rambut punk. Ciri lainnya adalah wajah yang seluruhnya berwarna hitam. Namun yang unik dan sangat mencolok ketika dilihat dari kejauhan adalah tubuhnya pada bagian pantat yang berwarna pink atau merah muda dan menyerupai bentuk hati.
Para peneliti mengungkapkan, warna yang mencolok itu terjadi pada kera betina karena mengalami pembengkakan pada bagian pantat dan warnanya menjadi kemerahan pada masa estrus.
Penelitian yang dilakukan oleh Andre Pasetha, Dyah Perwitasari Farajallah, dan Gholib dalam Jurnal Sumberdaya Hayati [Juni 2019], menjelaskan mengenai perubahan intensitas warna di sekitar daerah urogenital Yaki. Berdasarkan riset berjudul “Perilaku Harian Monyet Hitam Sulawesi [Macaca nigra] pada Masa Kebuntingan di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara” dijelaskan bahwa perubahan warna yang jelas terjadi pada periode kebuntingan dan menjelang melahirkan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pendugaan kebuntingan dan prediksi waktu melahirkan.
Baca: Wallacea, Surga Keragaman Hayati yang Minim Penelitian
Masa kebuntingannya kurang lebih enam bulan yang dapat dibagi menjadi tiga mester yaitu: dua bulan pertama [mester 1], dua bulan kedua [mester 2], dan dua bulan ketiga [mester 3]. Proporsi perilaku harian tiap fase kebuntingan menunjukkan hal berbeda. Misalkan, pada perilaku makan, hasil penelitian itu menunjukkan bahwa perilaku makan pada mester kedua lebih besar atau 33.16 persen dibandingkan pada mester pertama 25.21 persen, dan mester ketiga 25.38 persen.
Ketika masa kebuntingan sudah sampai mester ketiga warna kulit di sekitar daerah urogenital tersebut akan mulai berwarna merah sedikit gelap. Dua sampai tiga minggu sebelum melahirkan warna merah akan semakin gelap ungu. Ketika sudah sampai pada satu minggu menjelang melahirkan warna akan semakin ungu gelap. Intensitas warna akan kembali seperti sebelum bunting beberapa minggu setelah melahirkan yaitu berwarna merah muda [light pink].
“Perubahan intensitas warna ini erat kaitanya dengan perubahan hormonal terutama menjelang kelahiran yaitu meningkatnya hormon estrogen. Hal ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi atau pelebaran pembuluh darah,” ungkap para peneliti.
Dijelaskan lagi bahwa betina bunting menunjukkan intensitas warna kulit yang lebih merah dibandingkan betina tidak bunting. Warna kulit pada betina tidak bunting lebih cerah dibandingkan ketika bunting. Intensitas warna kulit tersebut berubah menjadi merah keungu-unguan [magenta] terutama pada periode mendekati waktu melahirkan atau beberapa hari sebelum melahirkan.
Penelitian ini juga membandingkan dengan beberapa genus di primata, di mana individu betina menampilkan perubahan warna cerah selama masa kebuntingan. Misalkan pada spesies Macaca mulatta, betina bunting menunjukkan perubahan warna wajah dari merah menjadi merah keungu-unguan. Hal tersebut merupakan strategi betina bunting memberikan sinyal peringatan kepada individu lain untuk mengurangi perilaku agonistik terhadap dirinya, sehingga kebuntingan dapat terus dipertahankan.
Selain pada masa kebuntingan, perubahan warna kulit juga terjadi pada periode folikuler, ovulasi, dan luteal. Contoh lainnya adalah pada spesies Macaca fascicularis yang menunjukkan perubahan warna kulit seksual di daerah perineal, di mana pada periode folikuler berwarna merah dan semakin merah pada periode ovulasi. Pada periode luteal, kulit seksual di daerah perineal kembali menjadi merah muda.