- Kambing hutan sumatera [Capricornis sumatraensis] adalah satwa liar penikmat sepi.
- Satwa ini suka bermain di tebing terjal serta bersembunyi di goa.
- Selain di Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], populasi kambing hutan juga berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL], juga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS]. Dahulu, persebarannya hampir di seluruh pegunungan dan dataran tinggi Sumatera.
- Berdasarkan Permen LHK Nomor P.106/2018, kambing hutan sumatera merupakan satwa dilindungi. Sejauh ini, penelitian terhadap satwa ini masih sedikit dikarenakan individunya sulit dijumpai dan habitatnya susah dijangkau.
Di balik lebatnya hutan hujan tropis di bentang alam Bukit Barisan Sumatera, ada satu jenis satwa yang suka bermain di tebing terjal serta bersembunyi di goa.
Si penyendiri itu memiliki langkah pasti ketika menuruni lereng curam berkarang.
Bila siang, ia hanya berdiam dan bersembunyi di semak yang lebat, atau daerah berbatu kapur. Biasanya, di sekitar tebing curam yang menghadap ke lembah atau jurang. Ketika malam, ia istirahat di goa yang tidak jauh dari tebing-tebing di puncak bukit.
Urusan makan, hanya ada dua waktu, yaitu pagi dan sore. Untuk kawin, hanya dilakukan saat musimnya saja, Oktober dan November. Selebihnya, ia bakal sembunyi dan menyendiri lagi.
Kambing hutan sumatera [Capricornis sumatraensis] nama hewan penikmat sepi itu. Rabu, 27 Mei 2020 lalu, sepasang kambing hutan sumatera terpantau penampakannya di Taman Nasional Gunung Leuser.
Baca: Kambing Hutan Sumatera, Penakluk Lereng Terjal yang Tak Kenal Lelah
Berdasarkan penelitian Endah Dwi Meirina dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2006, berjudul Karakteristik Habitat Kambing Hutan Sumatera [Capricornis sumatraensis sumatraensis Bachstein, 1799] di Kawasan Danau Gunung Tujuh, Taman Nasional Kerinci Seblat, dijelaskan kambing ini hanya menyukai belantara hutan primer di ketinggian 200 meter hingga 3.000 meter di atas permukaan laut.
“Kambing hutan sumatera adalah pendaki berkaki kokoh yang dapat mendaki tebing-tebing curam. Kambing hutan ini biasanya berlindung di semak belukar lebat pada siang hari, dan keluar mencari makan ke daerah yang lebih terbuka pada pagi-pagi sekali,” tulis Endah.
Ihwal makanan, hewan endemik Pulau Sumatera ini memakan hampir setiap tumbuhan, namun kesukaannya adalah daun-daun muda dan pucuk-pucuk daun, khususnya dari tumbuhan beraroma tertentu. Misalnya, daun talas [Colocasia antiquorum], ketela pohon [Manihot utilissima], lidah-lidah [Bauhinia tomentosa], balik angin [Mallotus chinensis], daun rigo-rigo [Elatostema latifolium], dan lainnya.
Baca: Terkena Jeratan, Anak Kambing Hutan Langka Ini Terpisah dari Induknya…
Populasi
Selain di Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], populasi kambing hutan berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL], juga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS].
“Dahulu, persebaran kambing hutan sumatera hampir di seluruh pegunungan dan dataran tinggi Sumatera,” lanjut Endah.
Namun walau habitat kambing sudah terpetakan, masih sedikit penelitian terkait hewan ini. Hingga sekarang, belum diketahui berapa jumlah pasti populasi di habitatnya. Salah satu alasannya, karena individunya yang sulit dijumpai, dan habitatnya yang susah dijangkau.
“Sulit untuk diamati karena penciuman, pendengaran, dan penglihatannya tajam. Ditambah kebiasaannya menyendiri serta habitatnya yang sulit,” tulis Endah.
Endah juga menyampaikan, bila tiba-tiba kambing hutan sumatera ini berhadapan dengan manusia, ia akan segera berdiri diam-diam dan memandang beberapa saat. Kemudian, bergegas pergi menuruni bukit ke vegetasi yang lebat.
“Tanda bahayanya bermacam, seperti antara embikan dan raungan, siulan melengking yang aneh.”
Berbeda dengan kambing ternak, Sumatran Serow memiliki ciri fisik lebih kekar, berotot. Tubuhnya sekilas mirip anak kerbau, mempunyai bulu lebat dan kasar dengan warna hitam keabuan, tanduknya ramping, pendek dan lurus ke belakang dengan panjang rata-rata 12 hingga 16 sentimeter. Berat badannya antara 50-140 kilogram dengan tinggi bisa mencapai 85-94 sentimeter.
Perkembangbiakannya tergolong lambat. Anaknya 1 hingga 2 ekor setiap kelahiran. Lama hidup kambing hutan sumatera jantan maupun betina sekitar 10-20 tahun.
Baca juga: Hidup di Hutan Toba Samosir, Kambing Langka Ini Selamat dari Jeratan
Dilindungi
Kambing hutan sumatera telah dilindungi sejak tahun 1931 berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Nomor: 266 tahun 1931 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan diperkuat dangan Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan Permen LHK Nomor P.106/2018, keberadaannya merupakan sebagai satwa dilindungi.
IUCN [The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources] telah menetapkan kambing hutan sumatera sebagai satwa berstatus Rentan [Vulnarable/VU], yang menghadapi risiko tinggi menuju kepunahan di alam liar.
Menurut CITES [The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna], kambing hutan sumatera termasuk satwa dalam kategori Appendix I, artinya satwa yang dilindungi dan tidak boleh diperjualbelikan.
Melansir detik.com, pada Kamis 17 September 2020, seorang warga Kelurahan Jalan Gedang, Kecamatan Gading Cempaka, Bengkulu berinisial AS [48 tahun] ditangkap polisi karena menyimpan tanduk kambing hutan sumatera.
“Atas perbuatannya, pelaku terancam hukuman pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 juta Rupiah,” kata Kepala Bidang Humas Polisi Daerah [Polda] Bengkulu, Kombes Sudarno.
Bengkulu merupakan wilayah yang menjadi habitat kambing hutan ini. Dari makalah yang dikeluarkan Universitas Bengkulu, 2003, ditulis oleh Rocmah Supriati dan Hendri Tarigan dengan judul Penyebaran Kambing Hutan Sumatera [Capriconis sumatraensis] di Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu, dituliskan habitatnya berada di wilayah Bukit Kelam dan Gunung Condong. Dari makalah itu diketahui pemburu yang mengincar kambing tersebut sangat masif.
“Dilihat dari pengurangan jumlah populasi mamalia ini dari tahun ke tahun, kemungkinan kepunahan di habitatnya bisa terjadi. Butuh penyuluhan [sosialisasi] kepada masyarakat, dan juga harus dibuat penangkaran untuk konservasi, baik in situ maupun ex situ sesegera mungkin,” tulis laporan tersebut.