- Selain warga yang sudah menggarap dan menempati lahan sejak tahun 1922, sebanyak 107 kepala keluarga mantan transmigran Timor Timur juga menempati Desa Sumberklampok tanpa kejelasan status kepemilikan lahan
- Selama hampir 20 tahun warga mantan transmigran memperjuangkan status hak milik 54 are lahan dengan tuntutan agar pemerintah memberikan hak milik sebagaimana mereka dulu dapatkan ketika transmigrasi di Timtim
- Tawaran tiga pilihan solusi konflik agraria yang diajukan pemerintah ditolak oleh mantan transmigran Timtim karena dianggap belum memberikan kepastian bagi masa depan nasib petani
- Pemerintah Provinsi Bali beralasan aturan terkait Perhutanan Sosial tidak mengizinkan warga untuk memiliki lahan yang mereka dan menyerahkan keputusan akhir di Pemerintah Pusat
- Tulisan ini merupakan bagian keempat atau terakhir dari empat tulisan. Tulisan pertama bisa dilihat di tautan ini. Tulisan kedua di tautan ini. Dan tulisan ketiga di tautan ini.
Berpisahnya Timor Timur (Timtim), sekarang Timor Leste, dari Indonesia pada 1999 memusnahkan mimpi para transmigran Bali yang sudah belasan tahun mengelola lahan di sana. Begitu salah satu provinsi di Indonesia tersebut merdeka setelah melalui jajak pendapat berdarah-darah, para petani itu pun harus kembali ke tanah asalnya, Bali.
Nengah Kisid hanya salah satu dari petani tersebut. Bersama istri dan tiga anak, warga Buleleng ini harus meninggalkan rumah dan 1,75 ha lahan pertanian yang sudah dia kelola sejak tahun 1984 di Kabupaten Kovalima, Timtim bagian barat, dekat perbatasan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Begitu hasil jajak pendapat Timtim dimenangkan kelompok prokemerdekaan, warga pro Indonesia pun harus keluar termasuk Kisid dan transmigran lainnya dari Bali.
“Padahal kami sudah senang hidup di sana. Tanah pertaniannya subur. Hasilnya juga bagus dan gampang dijual,” katanya pada pertengahan Desember lalu.
Tanpa memiliki lahan di desa asalnya sebelum transmigrasi, Kisid dan sekitar 127 kepala keluarga (KK) lain kemudian sempat berpindah-pindah tempat tinggal. Pernah di Gedung Kesenian ataupun kantor Imigrasi di Singaraja, mereka kemudian ditempatkan di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali bagian barat. Desa ini berada di perbatasan antara Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Jembrana.
baca : Sumberklampok, Bara Konflik Agraria di Bali Utara [Bagian 1]
Setelah sempat menjadi korban tarik ulur tanggung jawab penanganan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng, para mantan transmigran ini pun menempati kawasan hutan produksi terbatas (HPT) sejak tahun 2001. Mereka harus membuka lahannya sendiri. Lalu, sebagaimana kesepakatan dengan pemerintah, tiap orang mendapatkan lahan 4 are untuk tempat tinggal (pekarangan) dan 50 are untuk pertanian. Penentua lokasi antarwarga berdasarkan lotre.
Sumberklampok sendiri adalah desa di mana tak satupun warganya memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas lahan yang mereka garap dan tempati. Padahal, mereka sudah menggarap lahan di sini sejak 1922. Hingga akhir Desember 2020 lalu, warga masih memperjuangkan status atas lahan itu meski setidaknya sudah tiga generasi tinggal di sini.
Berbeda dengan warga Sumberklampok yang sudah turun temurun menempati dan mengolah lahan sejak 1922, sebanyak 107 KK mantan transmigran Timtim ditempatkan di seberang jalan. Kedua kelompok ini terpisah oleh jalan raya Gilimanuk – Singaraja. Warga lama menempati sisi utara jalan sedangkan mantan transmigran di sisi selatan. Kelompok mantan transmigran lebih dikenal dengan warga “eks Timtim” untuk membedakan dengan warga yang sudah lebih dulu tinggal sebelumnya. Mereka juga punya banjar sendiri dengan semua anggotanya mantan transmigran Timtim. Namanya Banjar Adat Bukit Sari.
Namun, seperti warga lama, para mantan transmigran Timtim pun memiliki masalah sama, status lahan yang tidak jelas. “Sampai sekarang status tanah kami belum jelas,” kata Kisid yang juga Ketua Kelompok Tani Tunas Mekar.
Inilah konflik agraria lain di Sumberklampok selain konflik yang sudah berlangsung sejak 1960-an.
baca juga : Konflik Agraria di Bali Utara : Polemik Pembangunan Bandara [Bagian 2]
Membabat Hutan
Putu Sumerta, yang bertransmigrasi ke Timtim pada 1987 dan kembali ke Bali setelah referendum, mengatakan, ketika mereka baru dipindahkan ke Sumberklampok pada tahun 2001, mereka juga membabat hutan yang diberikan oleh pemerintah. “Sama seperti ketika di Timtim dulu,” kata bapak dua anak ini.
Sumerta mengaku bersyukur mendapatkan lahan seluas 54 ha, termasuk untuk bertani. “Sayangnya, sampai sekarang kami belum mendapatkan status hak milik lahan yang kami garap,” lanjutnya.
Menurut Sumerta, pemerintah seharusnya melakukan hal sama seperti ketika para transmigran itu di Timtim. Saat itu, warga tidak hanya mendapatkan lahan untuk tempat tinggal, tetapi juga lahan pertanian seluas 1 ha. Lalu mereka masih diperbolehkan lagi untuk membuka lahan baru seluas 1 ha setelah berhasil mengelola lahannya. “Dalam setahun kemudian, kami sudah mendapatkan sertifikat hak milik. Sudah ada kepastian,” katanya.
Sekarang, hampir semua mantan transmigran Timtim di Sumberklampok bahkan masih menyimpan SHM tanah mereka di negara baru itu. “Biar ada kenang-kenangan sekaligus bukti kami pernah juga punya lahan di negara tetangga,” lanjut Sumerta lalu tertawa.
Toh, kenang-kenangan itu tak berguna sama sekali untuk menuntut kepemilikan tanah di tempat mereka saat ini. Semua mantan transmigran Timtim kini menggarap lahan tanpa kepastian status kepemilikan lahan.
perlu dibaca : Konflik Agraria di Bali Utara : Ancaman Burung Jalak Bali Berubah Jadi Burung Besi [Bagian 3]
Saat ini mereka menerapkan sistem pertanian tumpang sari. Dalam 50 are lahan, mereka menanam aneka palawija, seperti kacang tanah, cabai, jagung, dan kedelai hitam. Sumerta juga beternak sapi di lahannya.
Menurut Gede Sutapa, petani eks Timtim lain, hasil panen mereka sangat tergantung cuaca, tetapi secara umum bagus. “Cukuplah buat sehari-hari,” katanya. Sebagai mantan transmigran, dia berharap pemerintah bisa menghargai apa yang pernah mereka lakukan di Timtim. Pada saat itu, mereka ibarat guru bagi warga lokal. “Kami mengajari mereka untuk bertani. Membangun di sana bersama pemerintah. Bisa dibilang, kami ini guru pertanian lah di sana,” katanya.
Namun, kini pengorbanan mereka untuk bertransmigrasi dan mengajarkan pertanian itu seolah tak dihargai karena belum juga mendapatkan hak milik atas tanah. “Sekarang mengambang. Tidak jelas keputusan dari pemerintah,” keluhnya.
Pada pagi pertengahan Desember 2020 lalu, Sutapa yang berbadan tegap di usia 60-an tahun, sedang mencabuti rumput di hamparan kebunnya yang berisi tanaman kacang tanah. Di pematang terlihat deretan pohon mangga dengan sarang lebah madu menggantung di dahannya.
“Itu baru mendapat bantuan pemerintah untuk beternak lebah. Hasilnya lumayan untuk tambahan pendapatan,” katanya. Toh, bantuan itu saja tidak cukup bagi Sutapa dan petani eks Timtim lainnya. Mereka menginginkan kepastian kepemilikan lahan.
penting dibaca : Sentra Daun Pisang Bali di Pusaran Konflik Agraria [2]
Perjuangan Petani
Dari awal ditempatkan di Sumberklampok, warga eks transmigran Timtim sudah menuntut hak mereka. Tidak hanya terkait masalah lahan, tetapi juga bantuan perumahan. Pada tahun 2002, mereka bahkan sempat memprotes dengan cara memblokir jalan raya Gilimanuk – Singaraja selama 12 jam. “Setelah protes itu, kami baru mendapat bantuan pembangunan rumah,” kata Kisid yang juga Koordinator Warga Eks Transmigran Timtim.
Selain itu, warga juga pernah berkemah di depan kantor Gubernur Bali pada tahun 2004 untuk menuntut kompensasi sebesar Rp50 juta atas aset mereka di Timtim. Namun, lagi-lagi mereka tak mendapatkan hasil dari tuntutannya. Mereka juga pernah menuntut ke DPR RI, tetapi hasilnya tak jauh berbeda. “Waktu itu, Gubernur Bali hanya bilang bahwa Pemprov tidak punya lahan untuk eks transmigran,” Kisid melanjutkan.
Perkembangan terakhir, Kisid melanjutkan, pada Maret 2020 lalu, warga eks transmigran Timtim mengikuti pertemuan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Kuta, Kabupaten Badung untuk membahas masalah status lahan mereka. Dalam pertemuan itu, warga diberikan tiga pilihan resolusi yaitu tukar menukar, relokasi dan skema kehutanan sosial.
Pilihan pertama berarti Pemprov akan menukar lahan hutan yang sudah digunakan warga untuk bertani saat ini dengan kawasan hutan baru. Tujuannya agar Bali masih memiliki hutan sesuai persyaratan minimal 30 persen dari luas daratan. Pilihan kedua, warga pindah ke tempat lain. Pilihan ketiga, warga mendapatkan hak milik untuk pekarangan, tetapi lahan pertaniannya tetap sebagai hutan sosial. Periode penggunaan selama 25 sampai 35 tahun, tetapi warga tetap tidak mendapatkan SHM.
baca juga : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]
Namun, warga menolak tiga pilihan itu. “Kami di sini butuh perlu lahan pertanian. Kalau relokasi, kami belum setuju,” kata Sutapa.
Warga juga beralasan, mereka memerlukan kepastian kepemilikan agar bisa diwariskan kepada anak cucu mereka. “Biar ke depan tidak ada lagi masalah. Kalau tidak ada kepastian, pasti anak cucu kami yang kena masalah lagi. Apalagi manusia kan pasti bertambah,” ujar Kisid.
Agustus 2020 lalu, warga mengirimkan surat penolakan itu ke Presiden Joko Widodo meminta agar ada penyelesaian konflik agraria setuntas-tuntasnya. Tuntutan tersebut adalah warga mendapatkan SHM terhadap lahan yang sudah mereka tempati dan garap sejak 2000.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Bali mulai mendampingi warga eks transmigran sejak tiga tahun lalu. Menurut Ketua KPA Bali Ni Made Indrawati, pemerintah seharusnya memberikan hak-hak warga eks transmigran Timtim karena mereka juga korban. “Mereka pindah ke sini (Sumberklampok) kan bukan kemauan sendiri, tetapi pemerintah yang memerintahkan,” katanya.
Indrawati menambahkan ketika di Timtim, mereka rata-rata punya lahan seluas 2 ha, tetapi di sini hanya menuntut 50 are. “Seharusnya pemerintah ganti semua, rumah dan tanah,” lanjutnya. Status hutan sosial juga tidak menjamin karena kebijakan pemerintah bisa saja berubah dari waktu ke waktu.
Namun, solusi sengketa agraria antara eks transmigran Timtim dan pemerintah memang tak mudah. Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Teja pun mengakui kesulitan itu. “Tidak mudah untuk menyelesaikannya,” kata Teja melalui telepon.
Menurut Teja, pemerintah sudah menawarkan skema kehutanan sosial karena itu lebih masuk akal bagi kedua belah pihak. Di satu sisi petani tetap bisa mengelola, tetapi di sisi lain pemerintah juga tidak kehilangan hutan. “Menurut Permen Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, warga memang tidak bisa memiliki lahan tersebut,” tambahnya.
Pasal 53 Permen itu menyatakan bahwa jangka waktu penggunaan lahan dalam skema perhutanan sosial adalah 35 tahun dengan evaluasi tiap 5 tahun. Izin juga tak bisa diwariskan.
Selain itu, Teja melanjutkan, keputusan terkait status kepemilikan lahan juga sepenuhnya di KLHK. Mereka yang memiliki lahan di mana warga eks Timtim sekarang tinggal dan menggarap. “Ini kan milik pemerintah pusat, kami di Bali hanya mengelola,” ujarnya.
Belum jelasnya penyelesaian sengketa agraria antara eks transmigran Timtim dan pemerintah inilah yang menjadi kekhawatiran para petani di Sumberklampok. Apalagi jika mereka juga nanti terkena dampak pembangunan bandara di desa ini.
Karena itu, menurut Indrawati, pemerintah harus segera menyelesaikan satu per satu konflik agraria di Desa Sumberklampok, apalagi dengan adanya rencana pembangunan bandara yang menurutnya bisa menyulut konflik agraria baru. “Jika tidak segera diselesaikan masalahnya akan menumpuk. Harusnya cuma satu, sekarang ada dua. Pusing kan?” katanya.