- Pariwisata massal di Bali umumnya berdampak buruk pada lingkungan. Sehingga ada pihak yang menawarkan ekowisata berbasis alam dan kehidupan desa
- Salah satunya ekowisata glamour camping (glamping) Desa Gunung Salak, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, yang menawarkan suasana perkebunan yang indah.
- Selain kebun cengkeh dan kakao, pengunjung dapat menikmati indahnya terasering sawah sekaligus menikmati ikan bakar hasil dari mina padi
- Warga Desa Gunung Salak bersyukur karena lingkungannya masih asri sebagai modal ekowisata, termasuk banyak seperti sumber mata air yang terjaga dari eksplorasi investor air kemasan
Niatnya hanya menggelar tenda menikmati kabut dari Desa Gunung Salak, Tabanan, Bali. Namun ternyata ada bonus menikmati indahnya panorama kebun kakao dan cengkeh di tengah pemukiman, terasering sawah yang indah terawat, dan percontohan mina padi.
Senja menggelinding cepat di kaki langit pada Sabtu (11/7). Petang hampir tiba. Satu grup yang hendak kemah membatalkan rencana ke sebuah desa karena warga setempat masih melakukan pembatasan aktivitas. Walau Pemerintah Provinsi Bali sudah melonggarkan dan membuka tempat-tempat publik per 9 Juli.
Maha, pemimpin grup itu mengalihkan tujuan mendirikan tenda menuju Desa Gunung Salak. Sebuah titik di peta digital jadi tujuan untuk mendirikan tenda, Ecoturismo Kemetug. Jaraknya sekitar 38 km dari pusat kota Denpasar.
Melewati kebun di sisi kanan dan persawahan di sisi kiri, perjalanan ini meneduhkan setelah keluar dari jalan Raya Denpasar-Gilimanuk di daerah Megati. Memasuki desa tujuan, jalanan utama mulai rusak, berlubang dalam, dan berbatu. Hingga sekitar satu kilometer.
Sampai tujuan, ternyata lokasi masih tutup karena pandemi. Tetapi pengelola Kemetug mengijinkan kemah karena sudah malam, dengan syarat tidak membuat aktivitas keramaian. Tenda menghadap ke arah selatan dengan pemandangan desa-desa sekitar, kebun, kabut, dan laut di pesisir barat.
Kemetug berasal dari kata kema; artinya ke sana, dan tugtug; ikuti. Secara umum bermakna, ayo ikuti. Berlokasi di Banjar Apit Yeh, Desa Gunung Salak, area ini hendak mengajak menjelajah sekitarnya.
baca : Di Bukit Asah, Berkemah jadi Begitu Mudah dan Indah
Rasa penasaran akhirnya terobati ketika seorang pengelola ekowisata di desa ini, Wisli Sagara memandu mengelilingi sebagian desa. Ia mengaku senang menjelajah dengan sepeda gunung. Bahkan lebih sering jalan kaki. Namun karena waktu terbatas, kami berkeliling dengan motor.
Motor melalui jalan-jalan desa dan pemukiman yang berdampingan dengan kebun berisi cengkeh dan kakao, pohon penghasil bahan baku cokelat. Namun sebagian besar kakao terlihat terlalu tinggi, jarang dipangkas, dan buahnya tak sebesar biasa.
Perhentian pertama adalah titik melihat panorama terasering sawah yang sangat tertata rapi, tanda terawat baik. Saking rapinya, lapisan-lapisan terasering ini seperti layer kue lapis legit namun berwarna hijau. Saluran irigasi terlihat bersih, airnya jernih. Desa ini terkenal dengan sejumlah sumber air yang berhulu di Gunung Batukaru. Warga disebut memanfaatkan sumber air ini untuk kebutuhan sehari-hari dan retribusinya diorganisir desa.
Seorang kakek terlihat duduk santai menghadap sawah dari kebunnya. Dari sinilah ada informasi menjawab pohon-pohon kakao yang kurang terawat itu. “Petani kecewa hasil panen banyak yang rusak. Dua tahun ini pohon kakao baru diremajakan,” sebut Nyoman Cetug. Ia sendiri juga baru melakukan peremajaan. Penghasilan lain selain padi adalah cengkeh. Namun harga panen terakhir menurutnya tidak bagus karena sekitar Rp50 ribu/kg. Dibandingkan harga sebelumnya mencapai Rp120 ribu/kg.
Kami harus berpisah dengan kakek ramah ini melanjutkan perjalanan berikut. Wisli memandu dengan tangkas melewati jalan utama persawahan yang baru dibeton. Terasering terlihat sambung menyambung, tak terputus mirip sarang laba-laba. Di beberapa sudut, sejumlah petani membuat lahan sayur dan bumbu untuk keperluan sendiri di sepotong lahan sawahnya.
baca juga : Asyiknya Kemah Manja di Bali Jungle Camping Padangan
Glamour Camping dan Mina Padi
Ada juga lahan yang disewakan untuk area glamping (glamour camping), istilah untuk jasa berkemah mewah dengan layanan tambahan seperti konsumsi, internet, dan lainnya. Ini adalah tawaran akomodasi di kawasan ini. Ada glamping yang menyepi tanpa akses listrik, dan glamping dengan layanan penuh. Wisli mengelola area glamping istimewa karena memiliki akses langsung pada air terjun di halaman depannya. Galalima, nama lokasi glamping ini ditata mengikuti lansekap alam sekitarnya dengan titik perhatian air terjun setinggi sekitar 5 meter.
“Kami bekerja sama dengan warga sekitar untuk penyediaan konsumsi. Ikan segar dari kolam dekat area ini dan ayam kampung dari peternakan sekitar,” seru Wisli. Demikian juga paket wisata lain seperti tracking, menikmati hasil pertanian seperti kedai dan kebun kopi, dan berkunjung ke desa tetangga yang memiliki potensi alam lain.
Salah satu kolam ikan pemasok pangan lokalnya adalah sebuah area mina padi. Kami memacu kendaraan melewati jalan desa yang hijau, sampai ke sebuah hamparan sawah dengan petak-petak kolam yang ditata rapi.
Pengelolanya, I Nyoman Arsana sedang sibuk bekerja di sawah. Ia menyambut bercampur keheranan karena kami tidak membuat janji sebelumnya. Aliran irigasi dibendung sehingga ada banyak pancuran air yang menciptakan suara gemericik nan menenangkan.
Sampai tiba di sebuah kolam yang penuh riak dengan lebih dari 6000 ekor ikan mengelilingi area rumpun padi. Saat pakan ikan dilempar, terlihat ribuan ikan nila berebut makanan. Arsana awalnya hanya ujicoba membuat area mina padi yang didampingi dinas pemerintah setempat. Salah satu alasannya, jenis air di areal ini cocok untuk budidaya ikan laut, kerapu putih.
Arsana menunjukkan sebuah kolam lain, tempat si kakap putih ini dibudidayakan. “Jenis ikan yang malas ke permukaan karena jam makannya disiplin, kalau jam makan baru naik,” tuturnya. Beda dengan nila, lele, atau gurame yang tiap saat semangat makan.
Areal sawah dan kolam ikan yang dikelolanya sekitar 78 are. Ia senang kini ada beberapa warga lain juga yang mengintensifkan lahan sawah dengan kolam ikan, karena itu ia hendak membuat kelompok mina padi. “Silakan kemah atau mancing di sini, sambil bakar ikan,” ajaknya.
baca juga : Suksesnya Minapadi di Indonesia, Jadi Rujukan ke Seluruh Dunia
Keuntungan sistem mina padi yang baru dimulai 2019 ini mulai dirasakan. Hasil panen padi tak berbeda walau area tanam berkurang untuk kolam ikan, dan panen padi pun berbarengan dengan panen ikan. Pembagian arealnya sekitar 20% untuk kolam ikan. “Mungkin karena tidak dimakan tikus, males berenang,” ia tertawa. Padinya tumbuh lebih subur, ia mengira karena kotoran ikan yang memupuk padinya.
Namun, tantangan baru adalah burung cangak atau bangau besar. Uniknya lagi, burung ini punya siasat untuk mendapatkan ikan banyak. Menurut Arsana, si bangau akan menipu ikan dengan membuang kotorannya di kolam untuk direbut ikan. Kemudian dalam sekali hap, beberapa ikan berhasil dilahap. Jika melahap beberapa ikan sih tak masalah, namun si bangau bisa makan sampai 100 ekor jika dibiarkan.
Persoalan ini agaknya harus dicari solusi yang berkelanjutan agar bangau-bangau bisa berdampingan dengan petani tanpa dijebak. Karena bangau juga bagian dari ekosistem pertanian. Di Bali, satu sebuah desa, Petulu di Tegalalang, Kabupaten Gianyar jadi ikon burung bangau putih atau populer disebut kokokan, salah satu dari tiga jenis bangau yang mukim di desa ini. Desa ini jadi tujuan wisata karena populasi burung yang mukin di pepohonan sepanjang jalan di desa Petulu. Bahkan ada ritual yang terkait dengan kehadiran burung ini.
Gunung Salak memberikan energi dan pengetahuan yang lengkap mengenai daur dan alur kehidupan bersama alam. I Gede Komang Malando, jro mangku Pura Bunut Sakit, ini pun bersyukur karena desa ini memiliki banyak sumber mata air, dan warga masih bertahan tidak memberikan izin eksplorasi pada investor air kemasan yang tertarik memanfaatkan.