- Saat pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran COVID-19, kualitas udara di Kota Bandung, Jawa Barat membaik.
- Biasanya, udara di kota berjuluk Paris Van Java ini dipenuhi lima jenis polutan yang menjadi polusi yakni, partikulat atau debu (PM10), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan ozone (O3).
- Saking sibuknya, Asian Development Bank (ADB) pada akhir tahun 2019, menyebut Bandung adalah kota termacet, melebihi DKI Jakarta ke-17 se-Asia. Posisinya berada diurutan 14 dari 278 kota yang diteliti.
- Udara sehat di Kota Bandung hanya berlangsung 55 hari dalam setahun
Di jalan raya, sirine mobil Damkar keras menyala. Di atas mobil, petugas sibuk menyemprotkan disinfektan ke segala arah. Sebagai pencegahan penyebaran pandemi COVID-19, cairan itu dilepaskan di jalan – jalan Kota Bandung, Jawa Barat.
Penutupan beberapa ruas jalan sudah lebih dulu dilakukan polisi. Sehingga bising kelakson sampai raung mesin kendaraan bermotor yang akrab memenuhi Kota Bandung, nyaris senyap dari biasanya.
Dampaknya, kualitas udara Bandung cenderung membaik selama pembatasan sosial oleh pemerintah. Warga RW 010 Taman Sari, Adi Permana (27), misalnya, merasakan perubahan itu. Adi merasa lebih segar menghirup udara belakangan ini.
“Nafas rasanya enak, ditambah lagi bisa melihat langit biru yang sudah lama hilang di tengah kota seperti ini,” katanya, Kamis (2/4/2020).
baca : Setelah 28 Tahun, Kualitas Udara di Jakarta Membaik
Ahli Polusi Udara Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Puji Lestari, membenarkan jika kualitas udara Bandung masuk kategori baik pasca pembatasan kendaraan bermotor. Namun, kondisi itu tidak berarti ibukota Jabar ini bebas dari polusi.
Lima jenis polutan yang menjadi polusi di udara yakni, partikulat atau debu (PM10), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan ozone (O3). Untuk memudahkan pemahamannya, dibuat indeks satuan pencemar udara (ISPU) dengan tingkatan baik, sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat dan bahaya.
“Pasca pembatasan sosial, udara Bandung ada pada level baik,” ujar Puji. Akan tetapi, alat pemantau udara di ITB mendeteksi adanya perubahan, “Cenderung turun pada malam hari, lalu naik di pagi hari. Karena sedang ada pembatasan sosial saya belum bisa cek lapangan.”
baca juga : COVID-19, Isolasi Warga, dan Emisi Global
Puji mengkhawatirkan tentang partikulat. Polutan paling bahaya di antara kelima polusi pencemar udara. Dalam ukuran 50 mikron, debu polutan masih kasat mata dan bisa disaring oleh bulu hidung.
Namun, partikel yang berukuran kurang dari 10 mikron (particulate matter atau PM 10) atau seukuran PM 2,5 yang tak kasat mata amat membahayakan. Karena bisa bebas masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru lalu mengikuti aliran darah.
PM 2,5 dengan mudah ditemukan di berbagai tempat. Debu tak kasat mata yang berasal dari polusi asap mobil, truk, bus, dan kendaraan bermotor lainnya, termasuk hasil pembakaran batu bara, atau hasil cerobong asap pabrik dengan gampang memasuki sistem pernapasan manusia. Itulah mengapa PM 2,5 menjadi partikel udara paling mematikan bagi manusia.
Laporan terbaru Air Quality Life Index (AQLI) oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC), seperti dikutip Kompas, juga menyebutkan, Indonesia menjadi satu dari 20 negara berpolusi tertinggi di dunia jika dilihat dari pencemaran PM 2,5. AQLI menunjukkan bahwa polusi partikulat di Indonesia mulai muncul menjadi masalah sejak 1998.
AQLI juga menyebutkan, pencemaran udara menurunkan rata-rata angka harapan hidup orang Indonesia sekitar 1,2 tahun. Khusus untuk tingkat pencemaran NO2 di kota-kota di Indonesia, menurut pantauan Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), masih di bawah ambang batas.
perlu dibaca : Budaya Work from Home dan Perbaikan Kualitas Lingkungan
Kendati demikian, lonjakan penduduk serta peningkatan kendaraan bermotor potensial mengubah data itu menjadi di luar ambang batas. Polusi udara jarang mendapatkan perhatian dibandingkan epidemik lainnya. Padahal, polusi ini merupakan pembunuh senyap.
Kondisi Kota Bandung tak jauh berbeda. Kepadatan dan kemacetan kendaraan di Kota Bandung kian meresahkan. Hampir 70 persen penyumbangnya emisi gas buang kendaraan bermotor. “Kandungannya akan semakin tinggi saat volume kendaraan bertumpuk dan menimbulkan kemacetan panjang,” imbuh Puji.
Sejak lama, Puji sudah mengumpulkan data kecepatan kendaraan. Kepadatan jalan raya membuat kendaraan melaju pelan. Semakin lambat laju kendaraan, semakin berat beban kendaraan yang butuh asupan bahan bakar lebih banyak.
baca juga : Nyepi 2020: Merehatkan Alam, Manusia, dan Pandemi Corona
Permasalahan
Merujuk hasil survei Asian Development Bank (ADB) pada akhir tahun 2019, menyebut Bandung adalah kota termacet, melebihi DKI Jakarta ke-17 se-Asia. Posisinya berada diurutan 14 dari 278 kota yang diteliti.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Bandung memiliki luas wilayah 16.767 hektare atau 167,7 kilometer persegi. Sedangkan total panjang jalan hanya 1.160,80 kilometer.
Luasan jalan yang ada tak sebanding dengan populasi kendaraan yang melintasi Kota Bandung. Itu terlihat dari Survei Primer Bandung Road Safety Annual Repot 2017 yang menyebutkan, rata-rata kecepatan lalu lintas di Kota Bandung berkisar 14,1 kilometer per jam. Alhasil, kemacetan menjadi suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi.
Di tahun yang sama, Dinas Perhubungan Kota Bandung mencatat, kendaraan pribadi mendominasi jalan – jalan umum dengan jumlah mencapai 1,8 juta unit. Itupun hanya dihitung di tiga ruas jalan saja yaitu Pajajaran, Kawaluyaan dan Soekarno – Hatta.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki Paedong, kondisi itu memicu memburuknya kualitas udara. Jika berakumulasi secara terus menerus akan menjadi masalah krusial bagi Kota Bandung.
Masalah lainnya adalah laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,47 persen per tahun. BPS mencatat kota ini dihuni penduduk sebanyak 2,5 juta jiwa dengan tingkat kepadatan mencapai 14.932 jiwa per kilometer persegi pada 2018.
Tata kota tumpang tindih dituding memperkeruh keadaan Bandung saat ini. Ahli tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, mengatakan, kegagalan Kota Bandung adalah karena lambatnya penguasa kota merespons pertumbuhan kotanya.
Kewajiban membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30% dari luas kawasan kota, katanya, sulit dipenuhi. Selain itu, perbaikan tata ruang begitu lambat dilakukan. Padahal, hal itu merupakan antisipasi dini terhadap bencana akibat perubahan lingkungan yang tak membikin hidup nyaman warganya.
Kini, dampak pembangunan yang tidak terkendali itu menimbulkan cuaca panas yang dikenal sebagai fenomena urban heat island (UHI). Fenomena ini dampak menyusutnya kawasan hijau sekitar kota.
Peningkatan suhu di beberapa daerah di kawasan Kota Bandung terjadi secara pesat. Catatan BMKG, suhu tertinggi Bandung pernah mencapai 33 derajat Celcius. Seharusnya, rata-rata suhu kota yang terletak di ketinggian 768 mdpl ini berkisar antara 20,2 derajat hingga 29,5 derajat Celsius.
Predikat Bandung sebagai salah satu kota yang sejuk pun kini terancam. Fenomena UHI semakin meningkat karena panas yang diserap oleh kawasan terbangun di perkotaan menjadi lebih banyak.
Kerusakan hutan di sekeliling Bandung dan minimnya ruang terbuka hijau atau RTH kota juga menjadi penyebab terbesar. Sehingga kandungan polutan udara akhirnya meningkat dan memperburuk kualitas udara perkotaan.
Sementara itu, Kepala Seksi Rehabilitasi Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung, Irene Irnamurti, mengatakan, secara topografi, Kota Bandung dikelilingi oleh pegunungan yang berpotensi mengalami pencemaran udara.
Sejauh ini, pemantauan DLHK Kota Bandung menunjukan kualitas udara paling tinggi di Kota Bandung berada di level sedang dengan rentang nilai ISPU 51 – 100. Setidaknya, hasil itu didapat dari empat alat ukur kualitas udara melalui Air Quality Monitoring System yang di pasang di Dago, Pajajaran, Ujung Berung dan Gedebage.
Namun, Puji memprediksi. Kulitas udara seperti penentuan ambang batas kadar CO di udara yang hanya 9 ppm rentan dilampaui oleh polusi kendaraan bermotor. Masalahnya, perencanaan kota saat ini terkesan “Business As Usual”.
Meiki juga mengingatkan, udara sehat di Kota Bandung hanya berlangsung 55 hari dalam setahun. Selebihnya dipenuhi berbagai polutan atau senyawa berbahaya bagi kesehatan. “Kajian itu sudah ada sejak 10 tahun lalu. Dan jika melihat kondisi Bandung saat ini agaknya masih relevan,” imbuhnya.