- Para ilmuwan pertama kali menemukan jenis tarsius yang sebelumnya tidak diketahui di Kepulauan Togean di Sulawesi, Indonesia, pada 1993. Perlu 25 tahun penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan primata kecil ini sebagai spesies baru dalam ilmu pengetahuan.
- Tarsius Niemitz [Tarsius niemitzi] diambil dari nama Carsten Niemitz, ilmuwan yang mengunjungi Kepulauan Togean di fase awal, yang oleh para penulis penelitian disebut sebagai “bapak biologi lapangan tarsius.”
- Sekarang ada 12 spesies tarsius ditemukan di Sulawesi dan pulau-pulau sekitar, tetapi penulis makalah riset itu mengatakan bahwa wilayah tersebut bisa menjadi rumah bagi setidaknya 16 spesies.
- Pernyataan ini memberikan perspektif baru mengenai hilangnya habitat “cukup masuk akal” dan bahwa beberapa spesies tarsius mungkin akan punah sebelum para ilmuwan memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi memang ada peluangnya.
Tahun 1993, dua ilmuwan, Alexandra Nietsch dan Carsten Niemitz melaporkan menemukan tarsius, sejenis primata kecil, di rangkaian pulau lepas di Pulau Sulawesi, Indonesia timur.
Keanekaragaman hayati Sulawesi tidak banyak diketahui waktu itu, dan gagasan tarsius dari Kepulauan Togean mungkin merupakan spesies baru mendorong dilakukannya serangkaian penelitian. Tentunya, dengan segala kemungkinan mulai dari vokalisasi tarsius hingga urutan DNA-nya.
Akhirnya, sebuah penelitian yang terbit 2019 di jurnal tahunan Primate Conservation, menunjukkan penemuan awal Nietsch dan Niemitz seperempat abad lalu itu resmi dikonfirmasi sebagai spesies baru: tarsius Niemitz [Tarsius niemitzi], yang dinamai untuk menghormati peneliti tersebut. “Secara universal dianggap sebagai bapak biologi lapangan tarsius,” menurut penelitian tersebut.
“Keanekaragaman hayati Sulawesi sangat mirip dengan Kepulauan Galapagos, yang terkenal dengan pekerjaan Darwin,” tutur Myron Shekelle, profesor antropologi di Western Washington University di Bellingham, WA, dan penulis utama makalah riset yang menggambarkan spesies baru, kepada Mongabay melalui email.
“Sejumlah spesies dicocokkan secara spesifik dengan spesifikasi pulau tertentu,” tambahnya. “Mengapa ada di antara kita yang memilih berhenti, sementara ada spesies yang belum terdeskripsikan dan ada pertanyaan belum terjawab?”
Shekelle juga penulis utama laporan tahun 2017 yang menggambarkan dua spesies tarsius baru dari semenanjung utara Sulawesi.
Meski baru dimasukkan dalam ilmu pengetahuan, T. niemitzi telah lama dikenal penduduk setempat dengan nama bunsing, tangkasi dan podi. Bobot dan panjang ekornya sebagaimana kisaran sejumlah spesies tarsius lain. Namun, tarsius dari Kepulauan Togean tidak memiliki tonjolan ekor yang lebih kecil, yang tidak lazim untuk tarsius endemik pulau-pulau kecil, menurut penelitian.
Analisis vokalisasi berdasarkan rekaman menunjukkan, duetnya secara struktural sederhana, mungkin yang paling sederhana dari semua duet tarsius yang dikenal, sebagaimana dijelaskan makalah itu. “Tarsius Togean unik karena dari bentuk akustik yang dikenal, mereka merespons dalam percobaan pemutaran untuk semua panggilan duet tarsius lainnya, dengan melakukan duet sendiri,” tulis para penulis.
Mereka juga melihat status konservasi tarsius Niemitz dan menyarankannya diklasifikasikan sebagai Genting [Endangered], sebagian besar disebabkan isolasi di Kepulauan Togean, terputus dari pulau utama Sulawesi dengan air yang turun ke kedalaman lebih dari 120 meter [400 kaki].
“Implikasinya lebih luas adalah Kepulauan Togean memiliki biota taksa endemik yang sebagian besar tidak menyebar dengan mudah melintas karena ada halangan berupa perairan,” jelas penelitian itu.
Makhluk nokturnal ini dapat dengan mudah melompat 3 meter [10 kaki] atau lebih dalam satu lompatan, berkat kaki super panjangnya – kaki relatif panjang dibanding lengan spesies primata mana pun. Tarsius, yang hanya ditemukan di beberapa pulau di Asia Tenggara, menggunakan kemampuan melompatnya yang luar biasa untuk menargetkan mangsa dengan presisi seperti laser. Mereka satu-satunya primata karnivora murni di Bumi, dengan makanan yang sebagian besar terdiri dari serangga dan kadal.
Untuk dapat melihat makanan dalam kegelapan malam, tarsius telah mengembangkan mata relatif terbesar dibanding ukuran tubuh mamalia lain. Ini merupakan adaptasi penting yang memberi mereka penglihatan malam lebih baik, bahkan tanpa adanya jaringan bola mata reflektif yang dimiliki sebagian besar spesies noktural [bandingkan dengan cahaya rakun atau mata kucing yang menyeramkan].
Mata tarsius begitu besar, bahkan tidak bisa memutarnya di rongga matanya- batasan fisik yang telah mereka adaptasi dengan mengembangkan kemampuan untuk memutar kepala 180 derajat ke arah mana pun, seperti burung hantu.
Deskripsi T. niemitzi memberikan pengetahuan tambahan atas 12 spesies tarsius yang sudah ditemukan di Sulawesi dan pulau-pulau sekitar. Tetapi Shekelle dan rekan penulisnya mengatakan bahwa Sulawesi bisa menjadi rumah bagi setidaknya 16 spesies tarsius, sehingga penyelidikan lebih lanjut masih diperlukan.
“Sementara, pada saat yang sama cukup masuk akal beberapa spesies tarsius mungkin punah sebelum kita dapat mengidentifikasinya,” kata Shekelle.
Pendanaan konservasi satwa liar secara umum, dan tarsius khususnya, tidak memadai untuk menjadikan riset ini sepenuhnya efektif atau untuk menstabilkan hilangnya habitat spesies beserta keanekaragaman hayati yang ada.
“Meski demikian, sementara pergerakan konservasi masih suram, kami sadar bahwa tarsius Sulawesi dapat berfungsi sebagai maskot konservasi yang kuat untuk pariwisata. Spesies unggulan untuk meningkatkan kesadaran, dan spesies ‘payung’ untuk membantu melindungi semua biota Sulawesia lain, baik yang sudah diketahui maupun yang belum,” pungkasnya.
Sumber:
Shekelle, M., Groves, C. P., Maryanto, I., Mittermeier, R. A., Salim, A., & Springer, M. S. (2019). A new tarsier species from the Togean Islands of Central Sulawesi, Indonesia, with references to Wallacea and conservation on Sulawesi. Primate Conservation, 33.
Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.