- Maluku Utara, merupakan daerah rawan bencana seperti gunung api, gempa bumi, abrasi air laut, gelombang pasang, dan banjir bandang. Juga, banjir lahar dingin, longsor, puting beliung, kebakaran hutan, tsunami, banjir rob, kekeringan dan konflik sosial.
- Maluku Utara, memiliki 1.407 pulau dengan luas mencapai 140.255 kilometer persegi, 76% lebih atau 106.977,32 km² lautan, hanya 33.278 km² (23,73%) daratan ini berada di jalur cincin api (ring of fire) serta berhadapan dengan beragam bencana.
- Berbagai bencana, seperti letusan gunung api sudah terjadi ratusan tahun lalu.
- Para pakar pun memberikan berbagai masukan dalam memitigasi berbagai bencana, antara lain, pendidikan bencana masuk dalam kurikulum sekolah.
Maluku Utara, rawan bencana. Provinsi yang memiliki 1.407 pulau dengan luas mencapai 140.255 kilometer persegi, 76% lebih atau 106.977,32 km² lautan, hanya 33.278 km² (23,73%) daratan ini berada di jalur cincin api (ring of fire) serta berhadapan dengan beragam bencana.
Data Badan Penangggulangan Bencana Daerah (BPBD) Malut, menyebutkan, daerah ini terancam bencana seperti gunung api, gempa bumi, abrasi air laut, gelombang pasang, dan banjir bandang. Juga, banjir lahar dingin, longsor, puting beliung, kebakaran hutan, tsunami, banjir rob, kekeringan dan konflik sosial. Bencana dan upaya memitigasi berbagai masalah ini mengemuka dalam seminar bertema “Melindungi Bumi dan Tangguh Menghadapi Bencana” yang digelar Jurusan Geografi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Khairun Ternate awal Mei lalu.
Hadir sebagai pembicara, Peneliti Senior Geofisika Univeristas Gadjah Mada, Wiwit Suryanto, Ketua Forum Penanggulangan Bencana (PRB) Kota Ternate Abdul Kadir D Arief dan Basri Kamarudin dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Ternate. Mereka mengupas beberapa persoalan terutama soal kondisi bumi dan bencana terkini Malut dan upaya mitigasi yang masih menghadapi berbagai kendala.
Wiwit Suryanto meminta, semua pihak harus belajar dengan berbagai kejadian di bumi. Bumi masih aktif, katanya, menandakan masih hidup. Dia malah khawatir kalau bumi sudah tak punya aktivitas lagi itu jadi pertanda mungkin hidup bumi akan berakhir. Jadi, berbagai aktivitas bumi, seperti gempa, tsunami dan bencana lain, mestinya jadi bahan pembelajaran dan mencari cara pencegahan ataupun bagaimana hidup dengan beragam bencana itu.
Bicara trend bencana di Indonesia, katanya, sejak 2012 terus meningkat. Ia sebagai isyarat, Indonesia selain mendapat anugerah tanah nan subur, juga berada di kawasan rawan bencana.
Beragam bencana alam terjadi di Indonesia, contoh, tsunami, gelombang pasang, tanah longsor, gempa bumi, banjir maupun gunung meletus.
“Karena ragam bencana itu, Indonesia kadang ibarat super market bencana. Mau pilih bencana apa saja semua ada,” katanya.
Untuk Malut, berdasarkan peta gempa semua wilayah di Halmahera terindikasi rawan. Selain itu, bencana lainn gunung api. “Kalau Jawa, dilihat dari peta masih ada sela-sela. Artinya, tidak didominasi gunung berapi. Halmahera dilihat dari peta di kelilingi gunung api.”
Indonesia, punya sekitar 140 gunung api, sebagian di Malut, melebihi Jepang ada 120. Gunung-gunung ini sejak 1600-an pernah meletus , bahkan ada dikatakan sudah mati, tetapi hidup lagi.
Dalam catatan, bencana alam di Malut terjadi sejak lama, terutama gempa dan gunung meletus.
Dari catatan Belanda, pada November dan Desember 1550, di Galela, Halmahera Utara, Gunung Dukono, meletus sangat besar menyebabkan air Danau Galela naik sampai empat meter atau terjadi tsunami air danau. Di Ternate, pada 29 September 1546 gempa hebat. Sayangnya, tak ada catatan di Indonesia.
Ternate, juga sama. Wilayah ini memiliki kerawanan bencana gunung api dan gempa bumi, antara lain bukti dengan kemunculan Danau Tolire dan batu angus.
“Tugas kita, bagaimana mengetahui sumber bencana agar ada penguatan warga agar mereka tangguh bencana. Satu poin penting, edukasi atau pelatihan dengan memberi pendidikan bencana .”
Dia bilang, di Jepang, mitigasi bencana didapatkan siswa mulai dari sekolah dasar hingga mereka tahu cara berlindung dan menyelamatkan diri. “Kita perlu mitigasi kontinyu.”
Untuk perbandingan, misal di Jepang, pernah terjadi gempa kekuatan sama dengan Jogja 2006, tetapi korban satu orang karena penyakit jantung. Di Jogjakarta, korban meninggal sampai 6.000-an orang.
Bagi dia, gerakan mitigasi melalui ilmu pengetahuan sangat penting. Dia juga menyesalkan, anggaran riset di Indonesia, minim. Padahal, dengan riset bisa membantu mitigasi bencana.
Tak hanya anggaran minim, manajemen data juga bermasalah, terutama bagi-bagi data. Kadang- kadang periset memerlukan data tetapi sulit dapat. “Proses mendapatkan susah, prosedur panjang dan rumit. Ke depan lembaga pemerintah dan lembaga penelitian di kampus harus ada sinergi dan kerjasama,” katanya.
Persoalan lain, adalah mengkomunikasikan bencana kepada masyarakat. Dia contohkan, kasus Lombok gempa skala 7 SR, kemudian muncul statemen secara sains gempa susulan tak akan sebesar itu lagi. “Ternyata terjadi gempa susulan 7 SR SR. Ini masyarakat protes. Itulah sains, perlu belajar lagi, kenapa bisa seperti itu.”
Abdul Kadir Arif, berbicara dalam persepketif bencana di Kota Ternate, sebagai kota kecil yang memiliki Gunung Gamalama.
Dia menyoroti pengembangan kota mengarah pada ancaman bencana, seperti proses pembangunan ke arah gunung api. Bahkan, proses reklamasi hampir mengelilingi Ternate.
Kota Ternate, katanya, menghadapi bahaya bencana besar seperti gunung api, banjir bandang, lahar dingin, gelombang pasang dan banjir rob, gempa bumi, abrasi sampai tsunami.
Kadir menyayangkan, proses pembangunan yang menyerang pantai dengan reklamasi dan membangun ke daerah elevasi hingga lebih berbahaya kalau terjadi aktivitas Gamalama. Proses pembangunan ini, katanya, tanpa melalui kajian mendalam yang melibatkan akdemisi dan pakar.
“Kota ini kadang dibangun tanpa kajian detail. Terkesan hanya proyek mengejar pembangunan fisik tanpa mempertimbangkan bencana.”
Dia contohkan, di kawasan Dodoki Ali, sebuah teluk di Ternate. Ada tata guna lahan dipaksakan manusia. Kawasan ini, katanya, dulu tempat berlabuh kapal, kini jadi daratan buatan dengan berbagai pembangunan fisik. Kondisi ini, katanya, bisa jadi pendorong bencana.
Ketika pembangunan merambah kawasan puncak, persoalan yang dihadapi ancaman bencana gunung api. Pemerintah juga kesulitan melarang warga membangun menuju arah puncak atau kawasan rawan bencana.
Pemerintah, katanya, sudah mulai bikin jalur evakuasi gunung api. Ke depan, katanya, perlu juga membangun shelter tsunami. Juga perlu payung hukum upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana.
Dia juga sarankan, upaya pengurangan resiko bencana dengan memasukkan pelajaran soal bencana dalam kurikulum pendidikan. Contoh sederhana, katanya, minimal satu jam dalam pendidikan jasmani sekaligus simulasi bencana.
Dengan begitu, anak-anak mendapatkan pengetahuan soal bencana terus menerus sejak dini.
Upaya lain, dia usulkan ada peraturan daerah kawasan konservasi di area puncak gunung. Hingga dalam pengembangan kota, katanya, memperhatikan soal konservasi kawasan.
Keterangan foto utama: Letusan Gamalama pada 18 Juli 2015. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia