- Sejumlah pihak melakukan penanaman 7000 bibit mangrove di kawasan wisata mangrove Dewi Biringkassi, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu pagi (7/4/2019)
- Penanaman itu merupakan bagian dari rehabilitasi kawasan pesisir WWF-Indonesia bersama PT. Bogatama Marinusa dengan target penanaman 57.000 pohon untuk praktik perikanan budidaya berkelanjutan sebagai pemenuhan standar sertifikasi ASC (Aquaculture Stewardship Council) untuk udang.
- ASC merupakan sertifikat internasional yang mendorong upaya pengurangan dampak negatif dan penguatan dampak positif tambak terhadap lingkungan, penguatan dampak positif tambak terhadap kehidupan sosial, dsb.
- Selain meningkatkan keanekaragaman hayati mangrove, kawasan mangrove itu juga bisa menjadi salah satu ikon wisata di Kabupaten Pangkep
Minggu pagi (7/4/2019) udara cerah di kawasan wisata mangrove Dewi Biringkassi, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Meski matahari agak terik, namun tak menghalangi aktivitas puluhan mahasiswa yang tengah melakukan penanaman mangrove.
Genangan lumpur di lokasi penanaman setinggi betis dan lutut juga tak menjadi halangan.Terkadang telapak kaki mereka terluka karena kerang mati. Dan bahkan ada yang mengalami gatal-gatal karena mikro organisme tertentu. Semuanyadijalani dengan kegembiraan.
Aksi penanaman mangrove tersebut dilakukan oleh WWF-Indonesia bersama Aquaculture Celebes Community (ACC), dan mahasiswa pencinta alam Greenfish Perikanan Universitas Hasanuddin. Sebanyak 7000 bibit mangrove jenis Rhizophora macronata ditanam pagi itu. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk menuntaskannya.
Menurut Idham Malik, Aquaculture Staff WWF-Indonesia, penanaman ini merupakan rangkaian agenda rehabilitasi kawasan pesisirWWF-Indonesia bersama PT. Bogatama Marinusa, yang didukung oleh JCCU. Program ini telah berlangsung sejak 5 Juli 2017 dan dikonsentrasikan di beberapa kawasan pesisir yang dekat dengan area pertambakan.
“Total penanaman hingga 7 April 2019 ini sebesar 23.885 pohon,” ujar Idham.
baca : Kembali Lebat, Ini Cerita Sukses Rehabilitasi Mangrove Kurricaddi
Menurut Idham, rehabilitasi mangrove ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban perusahaan yang bergerak di sektor perikanan budidaya, dalam hal ini perusahaan pengelola udang asal Makassar yang dibantu oleh perusahaan pengelola udang dari Jepang.
“Keterlibatan perusahaan ini yang difasilitasi oleh WWF-Indonesia dalam rangka mendorong perusahaan melakukan praktik perikanan budidaya yang baik, bertanggungjawab dan berkelanjutan, melalui pemenuhan standar sertifikasi ASC atau Aquaculture Stewardship Council untuk udang,”jelasnya.
ASC sendiri merupakan sertifikat internasional yang mendorong upaya pengurangan dampak negatif dan penguatan dampak positif tambak terhadap lingkungan, penguatan dampak positif tambak terhadap kehidupan sosial, penguatan aspek hukum, adanya jaminan asal usul benih yang baik, jaminan asal usul bahan pakan yang baik, dan mencegah masuknya dan tersebarnya penyakit di alam.
Salah satu poin dari ASC, yaitu rehabilitasi 50 persen kawasan tambak yang akan didaftarkan dalam sertifikat ASC Shrimp (Udang) 56,95 hektare, sehingga luasan yang harus disertifikasi yaitu 28,47 Ha. Untuk memenuhi luasan 28,47 dibutuhkan penanaman mangrove sebanyak 57.000 pohon.
“Sampai saat ini telah dilakukan penanaman sebanyak 23.885 pohon yang berarti sudah hampir mencapai setengah dari yang diwajibkan, dengan jumlah pohon yang diperkirakan masih hidup sebesar 16.000 pohon,” tambah Idham.
baca juga : Mangrove Terjaga, Kesejahteraan Nelayan Meningkat di Lantebung
Menurut Idham ada dua alasan sehingga praktik-praktik perikanan harus melakukan rehabilitasi mangrove. Pertama, ekosistem mangrove sebagai habitat kritis. Praktik perikanan di wilayah pesisir pada umumnya dimulai dengan membuka lahan dikawasan mangrove.
Di Kabupaten Pinrang saja, lanjut Idham, pada 1985 telah dilakukan konversi lahan mangrove ke lahan tambak sekitar 85%. Sedangkan kawasan pesisir merupakan habitat kritis, lantaran begitu banyaknya organisme yang bergantung pada ekosistem pesisir.
Menurut hasil pendataan CV. DECO, tim BEIA (Biodiversity Environmental Impact Assessment) pada lokasi kawasan budidaya udang windu mitra PT. Bomar, ditemukan 17 jenis burung (aves), 3 jenis reptil,5 jenis ikan, dan 1 jenis cacing.
“Dari sekian banyak keanekaragaman hayati tersebut, ditemukan 6 hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.P20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, yaitu Kuntul Besar, Kuntul Kecil, Kowak Maling, Dara Laut Biasa, Gagang Bayam Belang, Dara Laut Kecil.”
Keanekaragaman hayati ini masih bertahan dalam kondisi mangrove yang sudah berkurang drastis. Populasi mangrove di kawasan Pallameang Pinrang misalnya, hanya berkonsentrasi di 4 titik tertentu, dan sisanya tersebar di sebagian alur saluran air. Meski begitu jenis-jenis mangrove di kawasan tambak tetap cukup banyak.
Alasan kedua, perbaikan ekosistem mangrove dapat memperbaiki lingkungan peruntukan budidaya udang. Secara umum, paradigma yang berkembang dalam dunia perudangan yaitu penyebab munculnya penyakit pada udang disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan, yang mendorong berkembangnya patogen yang menyerang inang.
“Perbaikan lingkungan dengan rehabilitasi mangrove dapat berarti menyeimbangkan keanekaragaman hayati di sekitar tambak, dan dapat meminimalisir patogen-patogenyang berbahaya,” tambahnya.
Selain itu,akar mangrove dapat menyerap bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh praktik perikanan, seperti amoniak dan hidrogen sulfide (H2S) yang berbahaya bagi kehidupan organisme budidaya. Sedangkan daun-daunnya dapat menjadi serasah yang berguna untuk menyuburkan lahan, di samping berguna sebagai antibiotik alami/bakterisida di sekitar tambak. Seperti jenis mangrove Excoercia agalocha, Osbornia octodonta, Euphatorium inulofilium dan Acanthusilliefolius.
“Tumbuhan mangrove dapat juga berfungsi sebagai penguat pematang tambak.”
menarik dibaca : Beginilah Semangat Perempuan Lampoko Sulsel Menjaga Pantainya
Untuk penanaman mangrove di Desa Bulu Cindea, menurut Idham, didasari oleh sejumlah faktor.
Berdasarkan hasil survei lokasi yang dilakukan pada 21 Maret 2019 di kawasan Bulu Cindea sudah terdapat sebelumnya ekosistem mangrove yang dikelola dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat desa Bulu Cindea.
“Pada kawasan tersebut masih terdapat lahan sekitar 2 hektar yang belum ditanami tumbuhan mangrove. Sangat baik jika dilanjutkan penanaman mangrove pada lokasi tersebut, yang nantinya dapat berfungsi sebagai ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati serta dapat bermanfaat bagi manusia sebagai destinasi wisata mangrove.”
Penanaman mangrove diDesa Bulu Cindeia menggunakan jenis Rhizophora mucronata dengan mempertimbangkan bahwa pada lokasi tersebut sudah didominasi mangrove Rhizophora jenis Rhizophora stylosa, diselingi Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, Avicennia alba.
“Untuk itu, penanaman Rhizophora mucronata bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati mangrove yang ada pada kawasan tersebut.”
Di Desa Cindea juga terdapat keanekaragaman hayati untuk fauna, antara lain terdapat burung kuntul kecil, jenis trinil, dan ciblek, biawak dan ikan glodok. Kemungkinan juga terdapat hewan-hewan lain, namun belum sempat diidentifikasi.
“Kondisi substrat kawasan mangrove Bulu Cindea cukup baik bagi pertumbuhan mangrove, sehingga, dengan kondisi bibit yang baik dan didukung oleh substrat yang baik, serta kondisi pasang surut air laut yang baik, dapat menjamin daya hidup bibit dan pertumbuhan mangrove.”
Pada April ini, WWF-ID bersama PT. Bomar dan ACC menargetkan penanaman mangrove se-Sulselbar sebanyak 10.000 pohon, yang dimulai dari Pangkep 2000 pohon, dilanjutkan di Maros 3000 pohon Desa Bonto Bahari, Maros, dan pada akhir April sebanyak 5000 pohon di pesisir Dusun Gonda, Kec. Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
baca juga : Begini Pemberdayaan Nelayan Sekaligus Pelestarian Mangrove Dengan Ekominawisata di Lantebung. Seperti Apa?
Wisata Mangrove
Hutan mangroveDewi Biringkassi sendiri saat ini menjadi salah satu ikon wisata di Kabupaten Pangkep, khususnya Desa Bulu Cindea. Apalagi lokasinya tak jauh dari ibukota kabupaten.
Pemerintah desa setempat telah membangun tracking mangrove dan gazebo. Tracking tersebut diberi cat warna warni sehingga menjadi tempat berfoto selfie untuk pengunjung. Adanya pohon mangrove yang besar dan lebat, yang kemungkinan telah berumur 20 tahun, membuat sejumlah spot di kawasan tersebut terasa sejuk.
“Kalau sore hari biasanya banyak yang datang untuk selfie.Bisa juga melihat nelayan menangkap ikan dan kepiting,” ungkap Darwis, seorang warga setempat.
Made Ali, Kepala Desa Bulu Cindea, mengakui adanya kawasan wisata tersebut tidak sekedar untuk kepentingan wisata, namun juga komitmen pemerintah desa setempat dalam mengampanyekan pelestarian lingkungan dan mempertahankan ekosistem mangrove yang ada.
“Kami akan terus membenahi tempat ini tidak hanya mengandalkan dana desa, tetapi juga dari pemerintah daerah dan swasta. Ini bisa memberi tambahan penghasilan bagi warga.”