Upaya untuk memasyarakatkan konsumsi makan ikan secara nasional, terus dilakukan Pemerintah Indonesia. Selain untuk memeratakan konsumsi gizi dengan harga terjangkau, kampanye konsumsi makan ikan juga membawa misi khusus untuk menurunkan angka stunting (tubuh pendek) di Indonesia. Pada 2018, konsumsi makan ikan ditargetkan bisa mencapai 50,56 kilogram per kapita.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan, sejak pertama kali dikampanyekan pada 2014 atau empat tahun lalu, angka konsumsi makan ikan secara perlahan terus meningkat. Pada 2016, angka konsumsi makan ikan mencapai 43,94 kg per kapita. Kemudian, pada 2017 meningkat menjadi 47,34 kg per kapita.
“Pada 2019, kita targetkan konsumsi makan ikan naik lagi menjadi 54,49 kilogram per kapita,” ucap dia saat hadir pada peringatan Hari Ikan Nasional (Harkannas) 2018.
baca : Konsumsi Makan Ikan Per Kapita Didorong Capai 50 Kilogram, Caranya Bagaimana?
Nilanto mengatakan, kampanye peningkatan konsumsi makan ikan secara nasional terus dilakukan Pemerintah, karena didasarkan pada berbagai pertimbangan. Di antaranya, Indonesia saat ini sedang menghadapi persoalan gizi yang sangat serius. Persoalan tersebut, memunculkan beragam masalah yang bermula dari kesehatan hingga ke kehidupan secara umum.
Dengan pertimbangan tersebut, menurut Nilanto, konsumsi makan ikan bisa mendukung upaya Pemerintah dalam mengentaskan persoalan kekurangan gizi pada balita yang akan menjadi generasi penerus untuk Indonesia. Terlebih, ikan mengandung gizi yang tinggi karena ada omega 3 di dalam tubuh ikan.
“Ikan sangat relevan dalam rangka mendukung gerakan sehat di masayarakat. Ikan memiliki peran penting di dalam gerakan tersebut. Saat ini, Indonesia masih menghadapi masalah gizi dan terbukti angkanya mencapai 17 persen di seluruh Negeri,” jelas dia.
baca juga : Kala Presiden RI Cari Koki untuk Makan Ikan
Nilanto memaparkan, ikan juga dipilih Pemerintah Indonesia untuk ikut mengentaskan persoalan kekurangan gizi, selain harga yang terjangkau, juga karena komoditas tersebut masih bisa dijumpai dengan mudah. Hal itu, karena ketersediaan ikan di Indonesia jumlahnya diperkirakan mencapai 12,54 juta ton dengan 6,9 ton di antaranya berasal dari sektor perikanan tangkap.
Pasokan Merata
Dengan fakta seperti itu, Nilanto menyebutkan, Pemerintah berupaya keras untuk menyuplai kebutuhan ikan di seluruh daerah di Indonesia secara merata dengan harga yang sama terjangkau. Upaya tersebut, pada akhirnya terkoneksi dengan segala program pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di segala lini dari hulu ke hilir.
“Kita bebaskan Indonesia dari persoalan kekurangan gizi. Kita bawa Indonesia menjadi bangsa yang sehat, maju, dan terdepan,” tutur dia.
Sementara, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Rifky Herdijanto menjelaskan, ikan mengandung omega 3 yang tinggi, sehingga memiliki peran penting dalam mendukung peningkatan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan bayi dan anak-anak di bawah umur dua tahun.
“Itu bisa membentuk kualitas sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing,” sebut dia.
Di antara upaya memasyarakatkan konsumsi makan ikan, menurut Rifky, paling efektif dilakukan mulai dari rumah, yaitu melalui menu masakan harian. Untuk melaksanakan itu, orang paling tepat adalah ibu rumah tangga, karena dia yang mengatur menu harian secara langsung, baik dimasak langsung ataupun melalui bantuan orang lain.
Menurut dia, ibu rumah tangga dalam keseharian selalu memegang peranan penting dalam memilih dan mengolah bahan makanan yang akan disajikan sebagai bahan santapan keluarga. Karena itu, dia meminta ibu-ibu rumah tangga di seluruh Indonesia untuk mengurangi konsumsi makanan berbahan dasar impor.
“Kita mengajak ibu-ibu untuk menyajikan menu makanan ikan di rumahnya,” kata dia.
baca juga : Masyarakat Indonesia Semakin Suka Makan Ikan?
Selain mengonsumi ikan, Rifky mengajak ibu-ibu rumah tangga untuk bisa kreatif mengolah makanan dari bahan ikan. Dengan demikian, anggota keluarga yang mengonsumsi ikan tidak akan merasa bosan dan justru akan semakin tinggi minatnya.
“Mari kita ciptakan menu-menu baru. Ikan itu kalau di rumah biasanya hanya digoreng, maka ayo kita ciptakan menu-menu baru yang membuat resep ikan bervariasi,” imbuh dia.
Rifky menjelaskan, ikan juga menjadi makanan penuh gizi dan bisa membantu untuk mengurangi angka stunting di Indonesia dari 37,2 persen pada 2017 menjadi 30,8 persen pada 2018. Penurunan tersebut, berhasil dicapai dengan paduan makanan yang tepat dan bergizi, salah satunya ikan.
Saat ini, dari proporsi gizi sangat pendek dan pendek menurut provinsi, angka paling tinggi dipegang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mencapai 42,6 persen. Sementara, provinsi terendah untuk proporsi tersebut, dipegang DKI Jakarta dengan angka 17,7 persen.
“Selain dari perikanan tangkap, potensi ikan untuk konsumsi nasional juga berasal dari perikanan budidaya yang luasnya mencapai 83,6 juta hektare,” jelasnya.
Akan tetapi, menurut Rifky, dengan peran yang penting tersebut, upaya peningkatan konsumsi ikan nasional, tidak hanya menjadi tanggung jawab dari KKP saja, namun juga menjadi tugas bersama semua pihak. Dengan cara itu, misi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan percepatan pembangunan industri perikanan nasional, bisa dilakukan secara bersamaan.
Berkaitan dengan stunting, pada awal 2018 organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk. Penetapan status tersebut, salah satu indikatornya adalah faktor stunting pada anak-anak yang diketahui di Indonesia mencapai sekitar 35 persen dari total jumlah kanak-kanak berusia bawah lima tahun (balita).
menarik dibaca : Indonesia Kaya Ikan, Tapi Warganya Rendah Konsumsi Ikan. Kenapa?
Negara Stunting
Dari prosentase tersebut, WHO menyebutkan lebih rinci, 18 persen di antaranya masuk kategori stunting dengan tubuh sangat pendek dan 17 persen masuk kategori tubuh pendek. Fenomena balita bertubuh pendek, bisa ditemukan di semua provinsi yang ada di Indonesia, terutama di provinsi seperti NTT, Sulawesi Tengah (Sulteng), dan Sumatera Utara (Sumut).
Mengetahui kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia tak mau tinggal diam. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah menargetkan penurunan stunting dari angka status awal pada 32,9 persen menjadi 28 persen pada 2019 mendatang.
Diketahui, faktor utama masih tingginya angka stunting di Indonesia, di antaranya karena asupan gizi yang sangat buruk sejak janin masih ada dalam kandungan dan berlanjut setelah lahir, hingga berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dua tahun pertama itu, bisa menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki lagi di masa berikutnya.
Dengan kata lain, stunting adalah masalah kurang gizi yang kronis dan ditandai dengan tinggi badan anak lebih rendah dari standar tinggi badan usia anak-anak sebayanya. Tak hanya itu, stunting juga akan memicu terjadinya gangguan kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit menular dan tidak menular, serta penurunan produktivitas.
Fakta seperti itu, menurut Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo harus bisa menjadi penyemangat bagi masyarakat Indonesia untuk sama-sama berjuang mengeluarkan Indonesia dari pemegang status salah satu negara dengan stunting terbanyak di dunia. Untuk itu, keterlibatan masyarakat secara umum menjadi kunci penting dalam pengentasan hal tersebut.
“Stunting itu ciri khasnya adalah dari tinggi badan (yang pendek) dan otak. Yang bahaya itu, selain badannya pendek, otaknya juga kena. Ini bahaya sekali,” jelas dia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan, Indonesia adalah negara nomor empat di dunia yang memiliki angka stunting tertinggi di dunia. Dia menyebut, anak dengan stunting jumlahnya sudah mencapai 9 juta dan jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah jika tidak ada penananganan yang serius dari semua pihak.