Seteru warga RT09, Padang Birau dengan PT Charitas Energi Indonesia (Charitas) dan PT Karya Bumi Baratama (KBB) memasuki babak baru. Setelah empat kali mediasi menemui jalan buntu, gugatan warga RT09 berlanjut ke pengadilan.
Baca juga: Pencemaran Air, Udara dan Masalah Lain Muncul Setelah Tambang Batubara Masuk Padang Birau
Selasa (30/10/18) sidang gugatan warga pertama kali digelar di Pengadilan Negeri Sarolangun, Jambi. Sidang dipimpin Hakim Ketua, Philip Mark Soetpiet itu dimulai sekitar pukul 11.00.
Dalam sidang gugatan, warga diwakili kuasa hukum Dhoni Martien menuntut perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Kelurahan Gunung Kembang, Kecamatan Sarolangun, Kabupaten Sarolangun itu bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan.
Sunaryono, Ketua RT09 Padang Birau, bilang, putusan sidang adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan sengkarut antara mereka yang memanas sejak awal 2018.
“Karena barang (masalah) ini diulur-ulur terus masyarakat makin resah, sementara kita dalam proses ini (penyelesaian) perusahaan masih tetap beroperasi,” katanya.
Hujan yang turun akhir-akhir ini membuat derita warga Padang Birau, makin dalam. Sunaryono bilang, air limbah tambang batubara mengalir deras ke perkebunan warga.
“Fakta di lapangan air limbah tambang batubara tu menyebar ke mana-mana, warna coklat kayak kopi susu,” katanya.
Sunaryono meminta warga tak terpancing emosi hingga bertindak gegabah. Dia ingin, pencemaran lingkungan ini selesai tanpa melanggar hukum. “Kita tetap ikuti prosedur.”
Dhoni Martien, yakin akan menang dengan gugatan ini. “Membela masyarakat itu berarti membela orang yang teraniaya,” katanya, usai persidangan.
Perusahaan diwakili kuasa hukum, Ahmad Zulfikar mengaku siap memberi jawaban dari semua gugatan warga.
“Ini masuk proses persidangan tinggal menjawab esepsinya. Artinya, harus kita jawab apa yang jadi persoalan dari gugatan ini,” katanya.
Sidang akan dilanjutkan pada 12 November 2018, dengan agenda pembacaan esepsi dari perusahaan.
Charitas, adalah kontraktor tambang untuk KBB yang memegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), seluas 10.211 hektar, di Sarolangun. Perjanjian diteken pemerintah Indonesia dan perusahaan pada Oktober 1999.
Hampir separuh konsesi merupakan kawasan hutan produksi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin 609,73 haktar untuk eksploitasi bahan tambang batubara, dari total konsesi di hutan produksi seluas 4.792 hektar. Sebanyak 5.419 haktar, di areal penggunaan lain.
Sekitar akhir 2017, perusahaan membebaskan lahan warga untuk jalan sepanjang enam kilometer menuju lokasi penambangan. Mereka juga membuat tempat penumpukan (stockpile) batubara sekitar 500 meter dari pemukiman penduduk atau satu kilometer dari jalan lintas Sumatera yang menjadi jalur pengangkutan batubara.
Gangguan
Setelah lima bulan ketegangan antara warga dengan Charitas dan KBB di Padang Birau, sempat mereda, kini, kembali memanas. Warga RT09 mengeluhkan aktivitas di stockpile sekitar 200 meter dari pemukiman warga.
Baca juga: Protes Warga Padang Birau, Pengangkutan Batubara Setop Sementara
Berita Mongabay, sebelumnya, warga mengeluhkan antara lain, pencemaran sungai, udara dan aktivitas pengangkutan di jalan tambang mengganggu maupun getaran alat yang merusak rumah-rumah mereka. Dari KBB sempat mengeluarkan surat agar aktivitas pengangkutan batubara lewat jalan tambang setop sementara.
“Pertama perusahaan masuk, kita anggap sebagai warga baru. Saya juga sebagai pemangku adat ya assalamualaikum, kek ramah tamah dengan masyarakat yang lama. Jadi ada harmonisasi. Kalau dengan cara perusahaan seperti ini, saya pribadi juga merasa terjajah,” kata Sunaryono.
Dia bilang, sejak ada stockpile, warga yang bejumlah 150 keluarga terganggu.
“Biasa kita bisa tidur nyenyak, dengan kegiatan stockpile kita tak bisa tidur nyenyak. Kalau musim kemarau debu bertebaran ke mana-mana.”
Saat musim hujan, lumpur dari ban truk pengangkut batubara sampai ke jalan lintas Sumatera. Dia khawatir membahayakan warga yang mengendarai sepeda motor.
“Kalau ini tidak kita urus, kita tetap dijajah.”
Sunaryono bilang, sejak Maret lalu, warga telah berkomunikasi dengan perusahaan, namun tak ada tanggapan, sampai muncul aksi penutupan jalan tambang awal Mei lalu.
“Maka, saya sebagai ketua RT berkewajiban mengayomi warga saya, ini tanggung jawab saya,” katanya. “Bakal ada konflik besar, kalau tidak saya urus.”
Yudha, warga Kabupaten Muara Bungo, mengaku punya lima hektar kebun karet tercemar air bekas galian tambang Charitas. Katanya, ada kebun karet milik empat orang lain, ikut tercemar limbah tambang batubara.
“Mati (pohon karet) sudah, kayu itu mati sudah.”
Sebelum gugatan ke pengadilan, dia coba menghubungi perusahaan lewat kenalannya yang bekerja di Charitas, tetapi tak direspon.
“Sepertinya mereka ini menganggap persoalan ini sepele. Mungkin kita ini orang kampung, mereka pengusaha-pengusaha dari luar, dari Jakarta, dari Korea, jadi apa yang kita lakukan itu ditengok kecil.”
“Malah saya dulu pernah ditantang, laporkan aja ke polisi,” kata Yudha.
Subarno, koordinator lapangan, mengatakan, yang terdampak tambang Charitas ada tiga RT09, RT10 dan RT12. RT09, paling terganggu, karena lokasi sangat dekat stockpile.
“Berisik, kemarau debu, musim hujan, lumpur dari ban itu sampai ke jalan aspal, jadi anak-anak kita kalau mau sekolah mau ngaji siang, ibu-ibu itu jatuh. Sudah ada yang jatuh. Berisiknya 24 jam, yang paling terdengar itu kalau malam. Malam mau istirahat, terganggu.”
Mongabay mengunjungi rumah Imam, di RT09. Rumah berdinding batako itu di kelilingi tanaman kelapa, dan beberapa pohon liar lain tumbuh subur. Ia berjarak sekitar 200 meter dari lokasi stockpile Charitas. Kala malam, jelang waktu istirahat, Imam mengaku terganggu dengan suara bising dari aktivitas di stockpile. Untuk debu, dia belum merasa sampai ke rumahnya.
Sepanjang jalan menuju stockpile dan lokasi tambang, banyak kebun karet warga. Kata Subarno, getah (latek) dari karet yang disadap cepat berhenti karena terkena debu tambang batubara.
“Bidang sadap kalau sudah kemasukan debu batubara, latek itu gak mau keluar lagi.”
Sidang mediasi
Selasa, (16/10/18) PN Sarolangun, menggelar sidang gugatan class action warga Padang Birau pada Charitas dan KBB sebagai pemegang konsesi. Sidang dengan nomor perkara 10/PDT.G/2018/PN-SRL ini sudah ketiga kalinya.
Dalam sidang yang digelar tertutup itu, warga menuntut perusahaan Rp59,9 miliar sebagai ganti rugi dampak pencemaran lingkungan. Sebesar Rp9,9 miliar untuk kebun karet tercemar air tambang, dan Rp50 miliar untuk pencemaran lingkungan, terutama RT09.
Pertemuan berlanjut pada 23 Oktober 2018, namun sidang mediasi di PN Sarolangun itu menemui jalan buntu. Dhoni Martien, kuasa hukum warga mengancam akan melaporkan dugaan pencemaran lingkungan perusahaan ke Bareskrim dan Dirjen Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Jadi ia (perusahaan) berdalil benar dan kita juga berdalil kita benar. Kalau semua, benar kan [seperti] nggak ada yang salah,” katanya.
Dhoni menganggap, mediasi buntu lantaran perusahaan tidak mengerti tujuan mediasi atas dasar asas kemanfaatan. Warga, katanya, hanya ingin ketemu dan berkomunikasi dengan perusahaan, karena mereka khawatir pencemaran limbah.
“Kehadiran perusahaan tak berdampak baik bagi masyarakat, hingga masyarakat berontak.”
Ahmad, kuasa hukum perusahaan, ingin warga dan perusahaan punya pemahaman sama. Bahkan, dia ingin seorang ahli didatangkan agar warga mengerti dasar mereka menggugat. Alasan Ahmad, aktivitas tambang KBB telah sizin negara.
“Kita minta persamaan persepsi dulu, tapi yang diminta damai, apa yang mau didamaikan? Masalahnya tidak tahu.”
“Kita satukan dulu pandangan hukum dari persoalan yang dihadapi, baru bisa cerita, berapa ganti rugi, berapa sepantasnya.”
Perusahaan tak menginginkan ada kekacauan. Dia klaim perusahaan telah menjalankan semua kewajiban. Bahkan, rumah warga yang retak seperti keluh RT09 telah diganti.
Data yang diperoleh Mongabay, ada delapan rumah warga mendapat ganti rugi: rumah Zulhitmi, A.Rhasyid, Sidiq, Roni, Siswoyo, Agus, Triwati, M.Hasan. Besaran ganti rugi bervariasi, mulai Rp1 juta untuk kerusakan ringan, dan Rp3 juta kerusakan sedang.
Sekarang, masalah masuk ke ranah hukum, kata Ahmad, kedua pihak tinggal membuktikan siapa yang benar.
Kecewa
Erick Abdillah, kuasa hukum Pemkab Sarolangun, yang ikut dalam mediasi itu sedikit kecewa dengan perusahaan yang tak menawarkan solusi saat mediasi. Menurut dia, dalam mediasi seharusnya ada tawar menawar dari kedua pihak, hingga terjadi kesepakatan.
“Perusahaan dengan tegas, dan angkuh mengatakan, ‘kami tidak mau mediasi’ lha ini yang kita sayangkan dari pemerintah, karena yang menggugat ini masyarakat kita.”
Dia membenarkan, kalau pemerintah daerah perlu investasi termasuk dari sektor pertambangan, namun hak-hak warga sekitar tambang harus tetap terjamin karena mereka yang akan terkena dampak aktivitas tambang.
Menurut Erick, sesuai Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016, dalam mediasi tak bicara pokok perkara, tidak bicara bukti, dan tak perlu keterangan ahli. Masing-masing pihak harus menawarkan solusi.
“Nah, perusahaan ini menawarkan saja tidak. Deadlock. Itu kan bukan sikap kebijaksanaan.”
Keterangan foto utama: Lokasi penimbunan batubara yang tak jauh dari pemukiman. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia