Dalam dua bulan terakhir, ramai diberitakan adanya pembalakan liar kayu sonokeling dari hutan negara yang ada di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh beberapa perusahaan.
Dari ramainya pemberitaan tersebut, akhirnya berujung penjelasan dan kesepakatan antara pihak lembaga pemerintah terkait, setelah Gubernur NTT mengeluarkan perintah pencabutan surat aturan izin edar dan angkut kayu sonokeling untuk beberapa perusahaan tersebut.
Kesepakatan itu diambil dalam pertemuan antara Sekda Pemprov NTT, Dinas Kehutanan NTT, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT dan Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (AMPUH) di Kantor Gubernur NTT di Kupang, Senin (17/9/2018). AMPUH sendiri merupakan aliansi LSM yang berada di NTT seperti Walhi, PIAR, Lakmas, FAN dan IRGSC.
Bagaimana cerita utuhnya?
Sebelumnya, AMPUH menyebut adanya pembalakan liar kayu sonokeling kawasan hutan Negara sejak 2016. Padahal, kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) termasuk dalam daftar Appendiks II CITES, yang berarti dapat terancam punah bila perdagangannya terus berlanjut tanpa adanya pengaturan dan regulasi yang cermat.
baca : Laporan UNEP: Indonesia Salah Satu Sarang Kejahatan Terorganisir Illegal Logging
Ditengarai kayu yang keluar dari hutan negara di TTS dan TTU sejak 2016 sampai 2018 sekitar 10 ribu ton. Total jumlah kayu tersebut campuran antara yang dirambah dari hutan dan dibeli dari masyarakat.
“Berdasarkan investigasi AMPUH, pengiriman kayu sonokeling tidak mengantongi izin resmi dan berada di dalam kawasan cagar alam, dan bukan hutan hak,“ jelas Umbu Tamu Ridi, Kepala Divisi Advokasi dan Pembelaan Walhi NTT kepada Mongabay-Indonesia, pada Senin (24/9/2018).
Pengiriman kayu itu, lanjut Umbu, berpotensi melanggar pasal 17 ayat (1) dan pasal 33 (b) UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah No.28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
Juga berpotensi melanggar pasal 50 UU No.41/1999 tentang Kehutanan tentang larangan menebang, memanen, atau memungut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat berwenang, serta pasal pasal 78 tentang ketentuan pidana bagi para pelaku pidana lingkungan yang melanggar pasal 50 UU No.41/1999.
“Praktek illegal logging yang terjadi merupakan bentuk pidana lingkungan yang berimbas pada kerusakan hutan, yang mempengaruhi menurunnya fungsi hutan di TTU lewat perusakan masif,” jelas Umbu.
baca juga : Penelitian: Pengujian DNA Kayu Akan Jadi Senjata Atasi Pembalakan Liar
Sedangkan berdasarkan Keputusan Menhut No.SK.41/Menhut-II/2012 menetapkan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) model Mutis Timau Unit XIX di kabupaten Kupang, TTS dan TTU seluas ± 115.380 hektar merupakan hutan lindung seluas ± 97.005 hektar dan hutan produksi terbatas seluas 18.375 hektar.
Umbu menambahkan koalisi AMPUH telah menyampaikan semua bukti pembalakan liar oleh 4 perusahan, yang telah merambah kawasan Hutan Oemenu, Maol Nefomnasi, Nu’manu Aijao, Fatufuel Sumolo, Fatufuel Nefomnasi yang berada di Kecamatan Kota Kefa, NTT saat rapat bersama Sekda NTT.
Izin Saling Bertentangan?
Umbu menuding pemicu dari pembalakan liar yang terjadi adalah surat aturan izin angkut dan edar yang dikeluarkan oleh BBKSDA NTT bernomor SK 80/K.5/BIDTEK/KSA/6/2017 pada April 2017.
Dalam surat itu BBKSDA menerbitkan izin bagi 7 perusahaan, yakni CV Inrichi, UD Bersaudara, CV Bumi Membangun, UD Sahabat Setia, CV Timur Bumi Makmur, CV Fortuna 17 dan UD Multazam di tiga kabupaten yaitu Belu, TTU dan TTS.
“BBKSDA mengeluarkan surat izin tetapi tidak mengetahui status hutan dan potensi jenis kayu sonokeling di NTT, sehingga dari hasil dengar pendapat yang dilakukan dibenarkan adanya penerbitan izin yang bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku,” sebut Umbu.
Dia menyebut surat edar BBKSDA bertentangan dengan surat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan NTT bernomor DK 577/5850/II/2017 tertanggal 2 Februari 2017 perihal penghentian pengangkutan dan pengantarpulauan kayu sonokeling.
menarik dibaca : Teknologi: Wow, Ternyata Belum Semua Jenis Kayu yang ada di Indonesia Diketahui Manfaatnya
Sementara Kabid Wilayah I BBKSDA NTT, Agustinus Krisdijantoro, yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Sabtu (29/9/2018) mengatakan selama ini ada kesan publik bahwa izin edar sonokeling yang diterbitkan BBKSDA menjadi penyebab maraknya terjadi pembalakan liar. Padahal, izin edar sonokeling menjadi urusan KSDA sejak bulan Januari 2017, atau sejak spesies kayu ini ditetapkan masuk dalam Apendix II CITES.
“Pertanyaannya apakah sebelum adanya izin edar dari KSDA NTT, sonokeling telah beredar? Sangat mungkin sekali, dan itu diluar monitor KSDA NTT sebab belum masuk kewenangan KSDA saat itu,” ungkapnya.
Dia pun menyebut izin yang diberikan oleh BBKSDA tidak serta merta diberikan, tetapi petugas BBKSDA telah lakukan turun ke lapangan untuk melakukan cross check dokumen dan sumber kayu yang diambil.
“Ini dilakukan justru untuk menghindari kayu sonokeling diambil dari kawasan hutan. Dengan adanya izin edar harapannya agar lebih tertib dan kayu sonokeling yang ditebang bukan berasal dari hutan negara,” tegasnya.
Dengan izin edar, maka kayu-kayu yang ke luar dari NTT hanya diperbolehkan diambil dari luar kawasan hutan negara. Verifikasi dilakukan mulai dari dokumen, nota angkutan, surat keterangan asal usul sampai lacak balak ke tonggak.
“Kalau kayu setelah dilakukan lacak balak berasal di luar kawasan hutan, maka tidak menjadi kewenangan BBKSDA NTT,” jelas Agustinus.
baca : Naik Haji Dari Merawat Hutan, Cerita Kesuksesan HKm Santong
Dia pun menyebut pihaknya, pernah menangani dua kasus dimana hasil pemeriksaan terhadap kayu sonokeling milik dua perusahaan. Salah satunya adalah milik CV Inrichi. Atas permintaan perusahaan, BBKSDA melakukan lacak balak kayu. Hasilnya, ditemukan sebagian besar kayu yang ada di gudang perusahaan berindikasi berasal dari kawasan hutan negara.
Pihak BBKSDA pun lalu membuat berita acara, dan suratnya dikirim ke perusahaan tersebut, dengan tembusannya kepada Polres TTU, UPT KPH sedaratan Timor dan Polda NTT.
“Apabila berdasarkan lacak balak ternyata ditemukan kayunya terindikasi berasal dari hutan negara maka prosesnya diteruskan ke penegak hukum setempat dalam hal ini ke Polres TTU,” terangnya.
Kasus kedua, jelas Agustinus, adalah CV Cendana Jaya di Kabupaten TTS tidak memiliki izin edar dan terindikasi memiliki kayu di gudangnya berasal dari hutan negara di Lelogama. Saat ini BBKSDA sedang melakukan pengumpulan bahan dan keterangan. BBKSDA NTT, kata Agustinus, telah mengirim surat ke Polres TTS agar dilakukan penyelidikan.
“Namun sampai sekarang surat-surat saya belum ada responnya, sehingga saya menyurati lagi menanyakan tentang perkembangan proses penyelidikan dua kasus ini,” ungkapnya.
Kabid Humas Polda NTT Kombes Polisi Jules Abraham Abast saat dihubungi Mongabay Indonesia pada Jumat (28/9/2018) mengaku belum bisa memberikan pernyataan soal kasus yang dilaporkan.
“Kalau ditemukan harusnya diproses oleh mereka, tetapi nanti saya cek dulu seperti apa. KSDA kan juga punya penyidik. Kalau ditemukan ada pelanggaran mereka juga bisa proses. Kami akan cek dulu apakah benar, sebab kewenangan soal ini kan (sebenarnya) ada di BBKSDA,” tuturnya.
Sesuai aturan, menurutnya, jika perusahaan melanggar maka izinnya dapat dicabut oleh BBKSDA.
Sepakat Ditertibkan
Charles Usboko dari CV Inrichi saat dihubungi oleh Mongabay Indonesia, Senin (29/9/2018) membenarkan bahwa perusahaan itu miliknya, namun tak lagi dikelolanya secara langsung. Dia merasa bingung dan mengakui tidak tahu kasus yang melibatkan perusahaannya apalagi perihal surat asli izin edar.
“Ada dugaan pengambilan kayu di lokasi hutan negara saya juga tidak tahu. Yang kelola (kayu) ini sebenarnya suplier kecil. Di gudang saya ada belasan kontainer kayu sonokeling,” tuturnya.
Kalau memang melanggar aturan, Charles menyebut perusahaannya siap dibekukan dan kayu-kayu yang katanya diambil dari hutan negara silakan untuk disita, “Daripada jadi masalah.”
Charles pun tak memungkiri banyak pengusaha yang mengambil kayu dari dalam kawasan hutan. Padahal melalui lacak balak, seharusnya dapat diketahui jumlah kayu yang diangkut dari kawasan hutan negara.
“Saya sepakat izin edar perusahaan yang berurusan dengan kayu sonokeling semua dibekukan dan diterbitkan izin baru,” ungkapnya.
Sedangkan Yopino Untoro dari UD Sahabat Setia berbeda pendapat. Dia menyebut tak adil jika semua pengusaha disamaratakan sebagai pelaku illegal logging. Dia meminta kejelasan dari pemerintah tentang batasan kawasan hutan negara, hutan hak ataupun hutan adat.
“Kalaupun ada ilegal logging harus diteliti dulu sebab kemungkinan besar itu ulah oknum. Janganlah semua perusahaan disamaratakan,” harapnya.
Selama ini, pihaknya membeli kayu sonokeling dari masyarakat. “Kalau digeneralisir semua kayu yang diambil perusahaan dikatakan ilegal, nanti dulu. Saya setahun hanya mengirim di bawah 10 kontainer saja, dimana satu kontainer berkisar antara 15 sampai 16 kubik,” ungkap Yopino.
Aparat Terlibat?
Judith Desiana Lorenzo Taolin, seorang jurnalis televisi yang kerap melakukan investigasi dan terlibat dalam AMPUH menyebut adanya oknum penegak hukum yang bermain, menjadi sebab penebangan kayu di kawasan hutan negara terjadi. Bahkan kayu sonokeling dengan mudah diantarpulaukan ke luar NTT.
Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa, kata Judith, sebab perusahaan masuk ke dalam lokasi hutan bersama aparat. Bahkan kasus-kasus lama yang selama ini terjadi, proses hukumnya mandek di aparat penegak hukum.
“Ada tersangka yang dilepas, padahal pelaku sudah tertangkap tangan langsung. Tersangkanya pun dilepas tahun 2017. Pada 2018 tersangka beroperasi lagi,” ungkapnya.
Selama melakukan investigasi, dia tak jarang ditakut-takuti oleh oknum aparat. Dirinyapun pernah dilaporkan oleh seorang pengusaha, terkait pencemaran nama baik.
“Saya dilaporkan terkait pemberitaan. Saya temukan kayu-kayu di dalam hutan negara sudah dibeli dan dicat dengan nama perusahaan tersebut,” jelas Judith.
Sedangkan Deta Salem dari UPT KPH Kabupaten TTU saat dihubungi Mongabay-Indonesia pada Senin (15/10/2018) mengatakan pihaknya telah menerima surat Dinas Kehutanan Pemprov NTT tertanggal 8 Oktober 2018 terkait penghentian peredaran kayu Sonokeling. KPH TTU sendiri, kata Deta, tidak pernah mengeluarkan izin bagi perusahaan sebab izin itu dikeluarkan BKSDA NTT.
“Kita rencanakan akan membuat surat ke Dinas Kehutanan provinsi NTT agar jangan menghentikan izin edar tapi mencabut izin perusahaannya saja agar perusahaan tidak bisa beroperasi lagi,” tegasnya.
Bagi Dinas Kehutanan, penghentian izin edar dan tampung oleh Gubernur NTT dianggap sebagai berita baik. Hal ini dianggap sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat model pengawasan hutan.
“Selama ini kami melakukan pengawasan saja dan kami tidak pernah mengawasi secara detail soal sonokeling sebab menjadi kewenangan KSDA. Kami setuju izinnya dicabut agar hutan aman dan tidak terjadi erosi dan banjir akibat adanya ilegal logging,” tambahnya.