Berbagai upaya terus dilakukan untuk mengembangkan sektor perikanan budidaya di Indonesia. Di saat bersamaan, agar pengembangan bisa terus berjalan, segala potensi yang bisa menghambat juga terus dipelajari dan dicarikan solusi. Salah satunya, adalah penyakit udang yang selalu menjadi hal yang menakutkan bagi pembudidaya di Nusantara.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penyakit udang bisa meningkatkan kematian pada udang saat masih berada di dalam tambak hingga 100 persen. Kondisi itu, bisa mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi pembudidaya dan itu sangat ditakutkan jika terjadi. Dan, penyakit udang yang dimaksudkan, adalah penyakit bintik putih (white spot syndromeI/WSS) dan penyakit karena bakteri vibrio.
Kedua penyakit itu, diakui Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Sjarief Widjaja beberapa waktu lalu, adalah penyakit mematikan pada udang. Biasanya, udang yang sudah terpapar penyakit bintik putih, pada prosesnya akan langsung menyerang organ lambung, insang, kutikula epidermis, dan jaringan ikat hepatopankreas.
“Jika udang sudah terjangkit penyakit berat, maka berikutnya akan muncul bintik-bintik putih pada lapisan dalam eksoskeleton dan epidermis. Jika sudah demikian, maka udang tidak mau makan, dan berikutnya akan terancam kematian,” jelasnya beberapa waktu lalu di Jakarta.
baca : Udang Vaname Breeding Indonesia, Penyelamat dari Bahaya Wabah
Menyadari ancaman tersebut, BRSDM terus mencari formula untuk menghadang penyakit tersebut. Cara tersebut, di antaranya melalui pemanfaatan tanaman mangrove sebagai obat penyakit tersebut. Sejak 2013, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) Maros, Sulawesi Selatan, mulai melakukan penelitian mencari formula tersebut.
Pemilihan mangrove sebagai penawar obat penyakit udang, dilakukan karena Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan tanaman tersebut. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015 sudah menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara di dunia yang memiliki ekosistem mangrove terluas dengan cakupan mencapai 3.489.140,68 hektare.
“Ini menjadi menjadi peluang besar dalam fungsi sosial ekonomi bagi pembudidaya udang,” tutur dia.
Peneliti BRPBAP3 Muliani menjelaskan, pencarian formula dari mangrove untuk obat penyakit udang, saat ini sedang dilakukan melalui penelitian bersama tim khusus. Tim yang bergerak sekarang, fokus untuk meneliti jenis mangrove yang mengandung anti vibrio dan anti WSS sebagai alternatif pencegahan penyakit udang yang lebih ramah lingkungan dari pada penggunaan antibiotik.
“Kita memulainya pada 2013 dengan melakukan screening tanaman mangrove sebagai penghasil antibakteri. Pengambilan sampel mangrove untuk screening berasal dari Kabupaten Maros, Pangkajene Kepulauan, Luwu Timur, Takalar, Barru, dan Bone,” ungkapnya.
Menurut Muliani, dari 182 sampel yang sudah dilakukan screening, 103 sampel atau 56,60 persen dinyatakan positif mengandung anti Vibrio harveyi. Dari 103 sampel tersebut, 22 sampel berasal dari Maros, 38 sampel dari Pangkep, 20 sampel dari Luwu Timur, 6 sampel dari Takalar, dan 17 sampel dari Bone.
“Adapun jenis mangrove yang paling potensial mengandung anti Vibrio harveyi adalah Sonneratia alba, S. caseolaris, S. lanceolata, Bruguiera gymnorrhiza, dan Rhizophora mucronata,” paparnya.
baca juga : Marguiensis, Udang Asli Indonesia Pelengkap Udang Vaname
Ekstrak
Muliani memaparkan, pada 2014, tim kembali melanjutkan penelitian untuk melihat potensi ekstrak mangrove setelah difraksinasi serta toksisitasnya terhadap benih udang windu. Kemudian, pada 2015, penelitian dilanjukan untuk mengaji metode pemberian ekstrak mangrove yang lebih efektif dan efisien pada udang.
Caranya, adalah dengan sistem perebusan tepung mangrove dan mencampur hasil ektraksi metanol dan fraksinasi ke dalam pakan udang. Setelah itu, pada 2016, penelitian dilanjutkan untuk mengkaji perbedaan konsentrasi ekstrak mangrove dalam pakan baik untuk penanggulang penyakit bakteri maupun untuk WSSV.
Dari hasil penelitian yang kontinu itu, Muliani mengatakan, didapatkan hasil bahwa telah terjadi peningkatan sistem imun udang secara signifikan setelah menggunakan ekstrak mangrove dalam pakan. Dari hasil itu, dia meyakini, pencegahan WSSV menggunakan ekstrak mangrove dinilai lebih efektif melalui penyuntikan dibanding dengan melalui pakan dan perendaman.
“Namun metode ini sulit diaplikasikan di tambak dan hanya cocok diaplikasikan untuk induk udang,” ujarnya.
Setelah mendapatkan hasil menggembirakan, pada 2017 penelitian kembali dilanjutkan untuk mengkaji sistem ekstraksi dengan perebusan daun mangrove yang masih basah dan tidak lagi menggunakan hasil tepung daun mangrove. Melalui metode ini, para petani diharapkan bisa mengaplikasikannya pada kegiatan budidaya, khususnya kegiatan budidaya udang di tambak.
Sampai saat ini, Muliani mengaku, penelitian tetap difokuskan untuk penggunaan di tambak udang. Dia berharap, dengan penggunaan mangrove sebagai penawar penyakit udang, ada dua manfaat sekaligus yang bisa didapatkan untuk Indonesia. Selain bisa mengobati penyakit udang, di saat bersamaan juga bisa dilaksanakan pelestarian mangrove.
“Kelestarian mangrove tetap terjaga dan mari kita galakkan kembali penanaman mangrove pada daerah-daerah yang tidak ditanami,” tegasnya.
menarik dibaca : Budidaya Udang Percontohan dari Kawasan Perhutanan Sosial, Seperti Apa Itu?
Selain udang, KKP mengkonfirmasi saat ini komoditas andalan lain juga sedang terancam, yaitu rajungan (Portunus sp.). Tetapi, berbeda dengan udang yang terancam karena penyakit, rajungan menerima ancaman karena ulah manusia melalui praktik perikanan tidak bertanggung jawab. Praktik seperti itu, bukan saja merusak alam, tapi juga menurunkan populasi rajungan di alam secara bersamaan.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSDPKP) KKP Rifky Effendi Hardijanto mengatakan, Indonesia harus bisa menjaga keberlanjutan (sustainability) dari bisnis perikanan yang ada sekarang. Termasuk, dalam bisnis komoditas rajungan yang nilainya sudah mencapai 7 persen dari total ekspor Indonesia sekarang.
“Rajungan itu salah satu kontributor di dalam nilai ekspor kita yang signifikan. Biasanya rajungan diekspor dalam bentuk yang sudah diambil dagingnya,” ungkapnya.
Menurut Rifky, penerapan prinsip bertanggung jawab tidak boleh dibantah oleh siapapun sekarang, karena itu bisa menyelamatkan populasi rajungan di alam. Kata dia, jika prinsip keberlanjutan dilaksanakan, maka nelayan akan memastikan rajungan yang ada di alam sudah melalui proses berkembang biak yang cukup.
baca : Tidak Hanya Pulihkan Mangrove, Kelompok Tani dan Nelayan Ini Swadaya Budidaya Udang
Pemijahan
Jika belum cukup, Rifky menuturkan, maka nelayan sudah seharusnya membiarkan rajungan untuk melakukan pemijahan hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, pelaku usaha rajungan dan nelayan akan membiarkan biota laut tersebut untuk melakukan perkawinan di habitat tanaman bakau (mangrove) yang menjadi lokasi favorit mereka.
“Memang sangat disayangkan bisnis rajungan saat ini masih mengandalkan pada penangkapan dari alam liar. Padahal, saat ini sudah sulit ditemukan rajungan dalam ukuran besar. Untuk itu, agar ekspor produk rajungan bisa tetap dilakukan, maka harus ada kombinasi hasil tangkapan dan budidaya,” jelasnya.
Adapun sentra penghasil rajungan yang masih mendominasi di Indonesia, adalah sepanjang pantai utara Jawa di Pulau Jawa dan Lampung Timur di Pulau Sumatera. Di kedua kawasan tersebut, rajungan yang masuk kelompok krustasea, dieksploitasi sejak lama dari alam, yang membuat stok yang ada diperkirakan tidak akan bisa bertahan lama.
“Stok tidak akan bertahan jika laut terus dikeruk dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti trawl,” tegasnya.
Untuk menjaga bisnis rajungan ini tetap bisa menjadi komoditas ekspor yang cukup signifikan dan tumbuh, Rifky mengatakan, perlu ada penataan supaya praktik perikanan bertanggung jawab (responsible fisheries practices) bisa diterapkan. Tujuannya, untuk memastikan kelestarian rajungan tetap tumbuh dan bisa panen.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto sebelumnya pernah mengatakan, berbagai upaya untuk menyelamatkan rajungan di alam bebas terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satunya, adalah dengan menerapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.52/2016. Peraturan tersebut bisa menjadi perangkat untuk melakukan tindakan preventif bagi perlindungan rajungan.
“Ini tujuannya untuk menjaga perikanan budidaya tetap lestari, namun masyarakat juga tetap bisa menikmati potensinya secara bersama,” jelasnya.
baca juga : Rajungan di Alam Bebas Terancam Hilang?
Selain menerapkan peraturan, Slamet mengatakan, upaya untuk menjaga stok di alam bisa tetap terjaga, adalah dengan melakukan penyebaran benih di sejumlah kawasan perairan laut. Namun, untuk bisa melakukan itu, perlu dilakukan inovasi teknologi budidaya untuk membuat produksi benih secara massal.
“Melalui teknologi, kita bisa buktikan bahwa perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan nilai ekonomi dapat dilakukan secara simultan,” ucapnya.
Untuk melaksanakan produksi massal tersebut, Slamet menyebut, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar Sulawesi Selatan menjadi tempat yang pas. Hal itu, karena di Indonesia saat ini baru balai tersebut yang dinyatakan sudah mampu memproduksi benih rajungan secara massal.
Kepala BPBAP Takalar Nono Hartono tak membantah bahwa pihaknya sudah berhasil melakukan produksi massal untuk benih Rajungan. Menurut dia, keberhasilan tersebut tidak diraih dengan gampang, namun dilalui dengan berbagai upaya perekayasaan pembenihan.
“Semua benih yang diproduksi akan digunakan untuk kegiatan budidaya dan restocking,” tutur dia.
Dengan keberhasilan memproduksi benih rajungan, Nono berharap para pembudidaya bisa menerapkan perikanan budidaya berkelanjutan. Dengan demikian, keberlangsungan komoditas rajungan di masa mendatang akan tetap terjamin.
“Benih yang diproduksi massal sekarang akan memenuhi kebutuhan benih untuk masyarakat. Sehingga, nantinya kebutuhan benih tidak perlu lagi harus dipasok dari alam. Biarlah alam dijaga untuk masa yang lama,” ungkapnya.