Jumlah jenis burung di Indonesia pada 2018 ini sebanyak 1.771 jenis. Jumlah ini bertambah dua jenis, yang satu jenisnya merupakan khas/endemis Indonesia, bila dibandingkan pada 2017 yaitu sebanyak 1.769 jenis.
Jenis endemis yang teridentifikasi sebagai jenis baru ini adalah myzomela rote (Myzomela irianawidodoae). Burung ini hanya ditemukan di Pulau Rote, kawasan Nusa Tenggara Timur yang dideskripsikan oleh tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2017. Myzomela tergabung dalam famili Meliphagidae yang dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
“Artinya, jenis burung yang dilindungi saat ini sebanyak 436 jenis. Keseluruhan, jenis burung endemis Indonesia yang telah teridentifikasi berjumlah 513 jenis,” terang Ria Saryanthi, Head of Communication & Institutional Development Burung Indonesia. “Selain myzomela rote, satu jenis burung baru yang teridentifikasi adalah paok papua (Erythropitta macklotii),” tambahnya.
Untuk burung terancam punah secara global, berdasarkan Daftar Merah Badan Konservasi Dunia (IUCN Red List) yang tercatat di Indonesia, ada pergeseran status. Ada tiga jenis yang status keterancamannya meningkat yaitu dara-laut alaska (Onychoprion aleuticus) yang sebelumnya berisiko rendah terhadap kepunahan (Least Concern/LC) menjadi Rentan (Vulnerable/VU).
Berikutnya, myzomela bacan (Myzomela batjanensis) yang sebelumnya berstatus mendekati terancam punah (Near Threatened/NT) naik ke Rentan; dan punggok sumba (Ninox sumbaensis) yang sebelumnya berstatus mendekati terancam punah, kini justru Genting (Endangered/EN).
Baca: Cerita Dewi Prawiradilaga Menamai Burung Temuan dengan Iriana Widodo
Berbagai temuan baru ini, menurut Ferry Hasudungan, Biodiversity Conservation Specialist Burung Indonesia, harusnya memnggugah kepedulian kita akan kekayaan alam Indonesia. Peluang bertambahnya jensi burung terbuka lebar dengan intensifnya penelitian yang dilakukan.
“Kita harus menjaga bersama alam Indonesia. Jangan sampai, di masa mendatang berbagai jenis burung yang ada hanya dikenal dalam literatur saja karena memang sudah tidak ada lagi,” jelasnya.
Kajian dalam jurnal Nature Climate Change 2014 menjelaskan, pada 2012 hutan primer di Indonesia telah hilang sebanyak 840.000 hektar. Jumlah ini sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain, bahkan melampaui Brazil yang kehilangan 460.000 hektar hutannya. Perlu diketahui, luas hutan Amazon Brazil sekitar empat kali luas hutan-hutan Indonesia.
Keberadaan hutan tentunya terkait dengan kehidupan dan keberlangsungan berbagai jenis burung. Karena hutan merupakan tempat burung bersarang, hidup, berlindung dan bereproduksi. Ketika kerusakan hutan terjadi, dampaknya terasa pada kemampuan burung untuk bertahan hidup.
Burung yang menjadi agen pengendalian berbagai jenis hama, melakukan penyerbukan berbagai tanaman, dan juga menyebarkan biji-bijian yang kemudian tumbuh menjadi tumbuh-tumbuhan di hutan dan alam liar akan kesulitan menjalankan fungsi itu semua.
Baca juga: Opini: Pelepasliaran Burung dan Cara Bijak Melakukannya
Ancaman nyata
Adanya penemuan jenis baru di Indonesia apakah diikuti dengan ancaman kepunahan?
Pada 2016, Nijman dkk melakukan penelitian di 12 pasar burung di Jawa Barat, yang berfokus pada empat jenis burung berkicau terancam punah dan termasuk endemis Jawa dan Bali. Ada jalak bali (Leucopsar rothschildi), jalak putih (Acridotheres melanopterus), ekek geling (Cissa thalassina), dan poksai kuda (Garrulax rufifrons).
Hasil penelitian Nijman dkk yang diterbitkan dalam BirdingASIA 2017, itu menunjukkan bahwa dari 12 pasar burung, lima diantaranya menjual empat jenis burung tersebut. Diantaranya Pasar Pramuka, Pasar Jatinegara, Pasar Barito, Pasar Sugahaji, dan Pasar Cikurubuk.
“Ada 127 individu burung jalak bali, jalak putih, ekek geling, dan poksai kuda yang berhasil kami jumpai di pasar burung. Ada satu individu ekek geling yang dijual, masih terlihat bulunya yang hijau. Kami menduga baru ditangkap, karena tidak ada cincin pada kaki yang biasanya digunakan dalam penangkaran,” jelas Nijman.
Punahnya burung di alam, utamanya disebabkan perburuan dan perubahan habitat. Di beberapa tempat, pengamat burung harus masuk lebih ke dalam hutan bila ingin mendengar atau melihat burung. Imam Taufiqqurahman dari Yayasan Kutilang Indonesia menyatakan, di beberapa lokasi pengamatan burung di Yogjakarta, masih ditemui burung meski kadang tidak banyak.
Daerah sekitar Merapi masih ada hutan yang menyediakan habitat untuk burung, sehingga masih mudah dijumpai. Namun, ada juga jenis-jenis burung umum yang dulu sering terlihat di pekarangan yang sekarang sudah mulai hilang. Jenis seperti perenjak coklat (Prinia polychroa) dan perenjak jawa (Prinia familiaris) sudah tidak terlihat lagi.
“Sekitar tahun 2004, saya masih bisa melihat jenis perenjak coklat atau perenjak jawa di kampus dan pekarangan. Sekarang sudah sulit. Jenis burung seperti kacamata (Zosterops sp) juga begitu. Saya melihat sekarang burung kacamata hidupnya soliter, padahal jenis ini termasuk berkelompok,” terangnya.
Imam menambahkan, salah satu cara mengurangi ancaman burung di alam yaitu dengan meningkatkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat, dari anak-anak hingga dewasa. Di Jogja saat ini ada fenomena menarik, yaitu sudah adanya peraturan desa atau kesepakatan bersama untuk menjaga alam sekitar.
“Artinya, inisiatif sudah tumbuh dan kita perlu mendorong dengan penegakan hukum yang benar. Kita pastikan juga, perdes atau kesepakatan itu tetap berlangsung,” jelasnya.
Dewi Malia Prawiradilaga, senior ornithologist dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menambahkan, peneliti dan konservasionis di Indonesia harus melakukan sesuatu guna mengurangi kepunahan jenis burung di Indonesia.
“Kita masih perlu melakukan penilaian dari wilayah persebaran, populasi, tipe habitat, bioekologi, hingga status perlindungan. Bila suatu jenis memiliki sifat adaptasi yang mudah, maka bisa dilakukan penangkaran atau eksitu,” tandasnya.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Referensi:
Nijman, V., Sari, SL., Siriwat, P., Sigaud, M., Nekaris, KAI. Records of four critically endangers songbirds in the marjets of Java suggest domestic trade is a major impediment to their conservation. BirdingASIA 27 (20-25).